Janda Cerai Mati

Via Vandella
Chapter #14

Bab 14. Fitnah Gadis Kecil

Juan merasa hidupnya di Lampung sudah tidak aman karena ulah anak gadis bosnya itu. Saat ini tangan Juan memegang jaket yang ditinggalkan Erika.

"Pasti gadis itu akan berbuat nekat nanti!" Melintas dibenak pemuda itu bagaimana Erika bahkan berani melepas jaket dan mempersilahkan Juan untuk menyentuhnya.

Sepanjang malam yang masih tersisa, Juan hanya beralih duduk dengan gelisah. Rasanya ingin sekali pergi dari rumah Arnes dan melanjutkan perjalanan ke Sumatra Barat. Tapi uang yang diperoleh baru terkumpul tujuh ratus ribu.

"Apa aku jual saja kalung ibu?" Pemuda itu meraih tas dan membuka lipatan kertas. Kalung yang tidak terlalu besar, tapi kalau dijual akan sangat cukup untuk ongkos dan bertahan hidup beberapa minggu.

Juan merasa itu adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan uang, ia juga berencana membeli ponsel nantinya.

Bukankah ayahnya berpesan agar menggunakan kalung itu saat kesulitan tidak ada uang. Jadi seharusnya memang Juan menjualnya, bukan? Tapi masalahnya hanya satu, yaitu Juan merasa tidak tega.

Pemuda itu menyimpan kembali kalung dalam lipatan kertas. "Aku harus mencari cara untuk menghubungi Murti."

Juan berniat meninggalkan Lampung, sebelum gadis kecil tadi berbuat lebih nekat lagi padanya.

"Ya, esok sore aku harus pamit pada Pak Arnes." Juan mengangguk beberapa kali semakin yakin kalau dirinya memang harus pergi dari rumah orang itu walau harus menjual kalung.

Setelah membulatkan tekad, Juan memutuskan untuk tidur. Saking lelahnya, kali ini Juan tidak mendengar suara ayam berkokok. Pukul delapan, cahaya matahari yang lewat melalui celah atap, membuat mata Juan silau.

Juan terbangun dan langsung duduk sambil mengucek matanya.

"Sepertinya aku melewatkan salat subuh." Pemuda itu bangkit memaksakan diri berjalan ke kamar mandi di belakang kedai. Ia pun membuang jaket Erika di semak-semak belakang kamar mandi.

Setelah selesai mandi, Juan melangkah ke halaman rumah Arnes. Ia akan pamit pada orang yang sudah sangat baik itu.

"Maaf, Pak. Aku terlambat," sesal Juan.

Kepala pemuda itu terasa begitu berat, Juan berdiri di samping Arnes yang sudah standby di halaman.

"Kau terlihat lelah, mau kerja atau istirahat dulu?" tanya Arnes penuh perhatian.

Semenjak bertemu Juan, entah mengapa Arnes merasa begitu peduli.

"A-aku ingin—" Belum sempat Juan menjawab, terdengar suara keributan dari dalam rumah Arnes.

"Jawab ibu, ini punya siapa?" pekik istri Arnes begitu keras, seakan mampu memecahkan gendang telinga.

"Jawab Erika!" tambahnya dengan suara keras.

Seketika Arnes dan Juan saling pandang. Tanpa kata, mereka kompak berlari mendekat ke pintu rumah untuk mengetahui apa yang terjadi.

Tiba-tiba suasana yang biasanya damai, kini terlihat kacau balau.

"Kenapa, Bu?" tanya Arnes begitu terkejut melihat istrinya mendorong Erika ke lantai dengan sangat kuat.

"Aduh," lengguh Erika.

Erika sudah terduduk bersimpuh di lantai, gadis itu menangis tergugu. Erika terlihat memeluk perutnya dengan sangat erat.

Wanita yang memakai daster hijau itu mengacungkan sebuah alat tes kehamilan.

"Pak, anak kita hamil!" Wanita itu menangis dengan wajah memerah menahan emosi. Seakan tidak ada yang lebih menyakitkan dari pada hal ini.

Arnes mengambil langkah lebar, meninggalkan Juan yang masih mematung di depan pintu.

"Siapa yang menghamili kamu?" sergah Arnes dengan suara yang menggelegar.

Seketika Arnes berubah seperti monster yang sangat menakutkan. Ia bahkan tega menarik rambut Erika ke belakang, hingga kepala anaknya itu hampir menyentuh lantai.

Air mata Erika semakin deras saja, ia masih belum bicara sepatah kata pun.

Lihat selengkapnya