Juan mengedarkan pandangan pada semua warga di luar rumah. Mereka semua tampak menghakimi pemuda itu dengan tatapan benci.
Tak lama dua orang pria berbadan kekar terlihat membawa balok kayu, masuk ke rumah Arnes.
Mereka berdua tampak emosi sambil berteriak-teriak, "Mana pemuda itu?"
Istrinya Arnes menyambut mereka sambil menghadang dengan tangannya. "Sudah, jangan main hakim sendiri, kita tunggu Pak Taher datang. Ok?"
Kedua pemuda itu terlihat masih tenang, tapi mata mereka tertuju pada Juan yang saat ini duduk di sofa.
Juan juga sama, ia menoleh pada kedua pria itu. Pemuda itu menggaruk pelipisnya yang tiba-tiba menjadi gatal saat melihat balok kayu yang cukup besar di tangan mereka.
"Jadi Erika akan dinikahkan langsung, Kak?" tanya salah seorang diantaranya.
Istrinya Arnes mengangguk mantap pada kedua adiknya itu. Sementara Juan mengerlingkan matanya dengan malas. Entah sudah berapa kali dia katakan kalau itu bukanlah hasil perbuatannya.
Juan berdiri dari duduknya, ia menghadap pada kedua pria yang baru saja sampai itu.
"Maaf, Bang. Tapi itu bukan perbuatan saya! Saya tidak akan menikahi Erika," tolak Juan dengan halus.
Meski mereka berdua memegang balok kayu, tapi Juan merasa harus menyampaikan kalau dirinya tidak bersedia menikahi Erika.
Mendengar penolakan Juan membuat salah satu pria itu langsung meradang. Ia bahkan tidak peduli dengan kakaknya yang tengah menghadang mereka.
"Apa katamu?" hardiknya dengan suara menggelegar.
Pria itu melangkah lebar menghampiri juan. Seketika baju di bagian leher Juan ditarik hingga mereka saling berhadapan.
"Kau tidak akan menikahi ponakan saya? Begitu?" Pria itu bicara dengan sinis. Bola matanya terlihat memerah dengan geraham berbunyi saling beradu.
"Karena memang bukan anak saya!" tegas Juan seraya mendorong tangan pria itu dari leher bajunya.
Arnes hanya duduk bersila di lantai, tangan pria paruh baya itu menyanggah kepala yang terasa pusing. Arnes tengah menahan malu dan marah di saat yang bersamaan.
"Sepertinya dia memang perlu dihajar," ucap pria yang satunya.
Pria itu menarik Juan hingga berada di luar rumah. Tak ayal mereka berdua berniat menganiaya Juan dengan balok kayu.
"Apa-apaan ini?" teriak Juan saat tanganya dikunci di belakang punggung.
Seorang yang berada di depan Juan menyeringai dan melayangkan pukulan. "Rasakan ini pemuda kurang ajar!"
Juan yang baru saja dipukul Arnes, kini mulai mendapat pukulan lagi beberapa kali. Kali ini bahkan dengan balok kayu yang lebih keras dari pukulan Arnes tadi.
"Nggak usah pakai kayu, tangan kosong saja," saran pria yang mengunci pergerakan Juan.
Wajah Juan sudah tak berbentuk lagi. Beberapa lebam dan luka seperti terkoyak menghiasi wajahnya.
Tak satu pun warga yang melerai, karena mereka juga merasa juan bersalah dan harus diberi pelajaran.
"Dia memang pantas dipukul, pendatang saja berani berbuat hal buruk! Ditambah lagi menolak tanggung jawab!" Mereka semua menyalahkan Juan, tidak satu pun menyalahkan Erika.
Saat ini tidak hanya kedua paman Erika yang memukul Juan, beberapa warga yang lain bahkan juga ikut melayangkan tinju.
Mereka semakin semena-mena terlebih saat mengetahui Juan tidak punya sanak saudara di tempat itu.
Juan coba melawan tapi tenaganya tidak berarti sama sekali. Akhirnya pemuda itu pasrah menyerahkan wajah, punggung dan bahkan perutnya menjadi samsak.
"Ya Allah beri hamba kemudahan agar bebas dari fitnah ini!" lirih Juan yang tidak dapat di dengar siapa pun. "Hamba hanya akan menikahi Yunita."