Juan sudah berhasil menghubungi temannya, saat ini pemuda itu tengah menunggu Murti menjemput di simpang masuk perkebunan kelapa sawit milik sebuah PT.
Terlihat spanduk dengan tulisan PT. Andalas di simpang itu, membuat Juan yakin kalau dirinya sudah berada di tempat yang betul.
"Tunggu di sana aja kali ya?" Juan yang baru saja turun dari ojek, memilih menunggu di warung kecil sambil memakan cemilan.
Cukup lama Juan menunggu, ia bahkan ngobrol banyak hal dengan pemilik warung. Pemilik warung itu begitu ramah, Juan bahkan mendapat beberapa tips tentang cara memanen buah sawit.
Meski tantangan ke depan lebih sulit, tapi Juan sangat bersemangat.
"Juan!" panggil Murti yang sudah sampai di warung itu. "Sudah lama?"
Juan langsung berdiri, entah mengapa melihat Murti adalah hal terindah baginya saat ini. Rasa lelah dari Lampung akhirnya terbayarkan sudah.
"Murti!" Juan langsung memeluk temannya itu.
"Gimana perjalanannya?" tanya Murti antusias membalas pelukan Juan. Ia pun bercanda, "Nggak nikah di Lampung aja?"
Juan melepas pelukannya pada Murti, seketika pemuda itu tertawa sambil meraba luka lebamnya yang masih terasa sakit.
"Ternyata jodohku bukan bocah setan itu. Alhamdulillah ...." Juan geleng kepala mengingat kejadian kemaren.
Juan memang sudah menceritakan semuanya pada Murti melalu ponsel tadi.
"Untunglah gadis itu bukan jodohmu," timpal Murti bergidik ngeri membayangkan kalau seandainya Juan jadi nikahin Erika.
"Yang ada hidupku bakal nelangsa dunia akhirat." Tanpa disuruh, Juan sudah naik ke atas motor temannya itu. Juan menepuk bahu Murti sambil berteriak, "Berangkat!!!"
Murti menggeleng kecil, tingkah Juan kadang masih pecicilan. Murti mulai melajukan motor bebek miliknya.
"Jangan kaget ya, kita bakal masuk ke hutan." Murti memberi aba-aba agar Juan tidak terkejut dengan tempatnya nanti.
Benar saja, saat ini mereka menempuh jalan setapak yang di kiri kanannya dipenuhi pohon sawit. Entah berapa ribu hektare perkebunan milik PT itu.
Hingga dua jam lamanya mereka akhirnya sampai. "Ini namanya mess tempat tinggal para pekerja, anggap saja kau sedang bertukar nasib."
Juan manggut-manggut mendengar penjelasan Murti. Ia melihat cukup banyak rumah dari papan kayu, tapi ada satu yang lebih besar dibanding yang lain.
"Itu kenapa bangunannya lebih besar? tunjuk Juan.
"Karena itu tempat tinggal para jomblo seperti kau. Yang lainnya tempat tinggal pekerja yang punya istri," terang Murti.
Juan memonyongkan bibirnya, masih melihat-lihat keadaan sekitar. Rumah-rumah itu cukup layak untuk tempat berteduh.
"Kita temui Bang Tio dulu!" ajak Murti begitu mereka turun dari motor. "Dia mandor yang akan mengurus pekerjaanmu."
"Kemana?" Juan tidak melihat keberadaan seorang pun di mess itu.
"Di sana!" tunjuk Murti pada mess yang paling depan.
Murti melangkah mendekati mess itu, langkahnya begitu cepat hingga Juan kesulitan mengimbangi. Murti mengambil handy talky yang tersimpan di celah tiang yang juga terbuat dari kayu.
Murti mendekatkan alat itu ke mulutnya lalu berbicara, "Bang Tio, saya Murti. Ganti."
"Penimbangan arah Blok B, Mur," jawab seseorang di handy talky itu dengan suara bariton mirip suara Frans.
Seketika Juan berpikir. 'Apa suara semua mandor harus seperti itu?'
Murti tidak membalas ucapan Tio lagi, ia mengembalikan handy talky ke tempat semula.