Janda Cerai Mati

Via Vandella
Chapter #20

Bab 20. Surat Undangan

Hari ini Frans sengaja menyibukkan diri dengan ikut bekerja bersama para kuli. Frans berusaha keras agar pikirannya tidak buntu karena patah hati.

Alhasil malam harinya pria itu tertidur sangat nyenyak, bahkan lupa mengisi daya ponsel. Tapi tidur Frans kali ini membawannya bertemu sang ayah yang sudah dua puluh tahun pergi.

"Ayah?" Frans berjalan melewati jembatan yang tidak terlalu besar. Dapat dilihatnya dengan jelas seorang pria yang sangat dirindukan tengah tersenyum lebar menyambut kedatangannya.

"Sinilah, Nak!" Pria berpakaian serba putih itu menyambut Frans yang sampai di ujung jembatan.

Frans merasa sedikit aneh dengan suaranya yang terdengar seperti suara bocah. Tak hanya itu, ternyata pria yang dipanggil ayah malah dengan enteng menggendongnya.

Tempat itu terasa sejuk dengan angin yang bertiup sepoi dan juga berembun.

"Ayah!" Frans masih saja mengucapkan kata ayah. Kata yang sudah lama sekali tidak pernah diucapkannya dengan lisan, tapi selalu tersemat di doa.

"Ayah bangga sekali padamu. Putra ayah selalu bisa diandalkan," ucap pria itu seketika membuat hati Frans merasa bangga.

Tak ada yang lebih membanggakan bagi seorang anak laki-laki selain pujian dari ayahnya.

Mimpi singkat itu berakhir begitu saja, Frans mengedipkan matanya yang terasa berat. Air mata lolos tanpa bisa dicegah, tapi Frans tidak mengahapusnya sama sekali.

"Frans, bangun! Sudah pagi ini." Tharmizi membangunkan Frans sambil mengguncang bahunya.

Tharmizi yang mendengar nafas Frans sangat tidak beraturan tiba-tiba khawatir, tangannya terulur untuk menyentuh dahi pria itu.

"Kamu demam?" tanya Tharmizi sedikit lebih keras hingga semua yang ada di situ mendekati tempat tidur Frans.

"Bang Frans kenapa? Kita bawa ke rumah sakit!" ujar teman yang lainnya.

Mereka setuju untukembawa Frans ke rumah sakit segera.

Akhirnya Frans dibawa ke rumah sakit terdekat. Demamnya begitu tinggi hingga sampai tengah hari, Frans masih berada di ruang UGD.

Tharmizi bersama seorang teman lainnya menjaga Frans di rumah sakit.

Meski merasa kasihan, Tharmizi tidak bisa berbuat banyak. Ia tidak berani mengabari Elma perihal keadaan Frans saat ini.

Sore harinya Frans sudah diperbolehkan pulang, bukan, lebih tepatnya Frans yang memaksa untuk pulang.

"Pak, tolong ambilkan ponsel saya." Frans meminta bantuan Tharmizi untuk mencari ponselnya yang entah berada di mana.

Tharmizi sudah memeriksa sekitar tempat tidur Frans, tapi ponsel itu benar-benar tidak ada. Tharmizi juga sudah bertanya pada beberapa orang lainnya tapi juga tidak ada.

"Mungkinkah hilang?" tanya Tharmizi pada Frans yang bahkan membuka mata dengan sempurna saja tidak bisa.

Tidak ada jawaban dari Frans, karena memang dia sendiri tidak tahu meletakkan ponsel itu di mana. Entah dicuri seseorang atau tertinggal di lapangan.

Lihat selengkapnya