Janda Cerai Mati

Via Vandella
Chapter #22

Bab 22. Rencana yang Gagal

Malam ini Juan tidak bisa tidur, teman yang lain juga masih ngobrol santai. Bukan Juan tidak mau berbaur, hanya saja mereka sering memakai bahasa daerah Batak. 

Juan yang tidak paham hanya bisa terdiam sambil senyum. Tapi saat bicara dengan Juan mereka memakai bahasa Indonesia.

"Gimana cara menghubungi ayah ya?" Juan duduk termenung di atas tikar. Tangan pemuda itu sibuk memutar ponsel beberapa kali.

Pemuda itu sudah tahu kalau untuk mendapatkan signal, harus naik ke sebuah bukit yang berada di blok lain, atau bisa juga saat ke pabrik nanti.

"Pabrik dan bukit sama jauhnya, ya ampun aku terjebak di tengah hutan," kesal Juan menahan air mata.

Sudah dua hari pemuda itu belum mengirim kabar lagi pada ayahnya. Juan merasa gelisah, setidaknya Mustofa harus tahu kalau dirinya sudah dapat pekerjaan dan berada di kawasan tidak ada signal.

"Pasti ayah mikirin aku! Kalau ayah sampai sakit gimana?" Juan menyanggah kepala dengan tangannya.

Ikatan batin ayah dan anak itu memang sangat kuat dari dulu. Beberapa kali Juan membuka ponsel masih terlihat tanda silang di bagian signalnya.

"Ngopi dulu, Wan," ajak pemuda yang seumuran dengan Juan.

"Eh, iya!" Juan membalas dengan senyum ramah.

Demi menghargai ajakan teman, Juan pun ikut duduk santai hingga larut malam.

Mess tempat tinggal Juan hanya dihuni oleh pria lajang saja. Sedangkan pekerja yang sudah punya istri disediakan tempat tinggal sendiri, namun masih berada di lokasi yang sama.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas. "Tidur yuk, sebentar lagi lampu kita mati," ajak pemuda yang lainnya.

Mess ini memakai penerangan mesin genset, hanya menyala hingga pukul sebelas saja. Setelah itu mereka memakai lampu minyak sampai pagi.

Juan dan yang lainnya sudah merebahkan diri di tikar masing-masing. Tak lama mesin genset benar-benar sudah mati, ruangan gelap seketika berganti dengan cahaya kuning dari lampu minyak.

Juan terus saja merubah posisi tiap sebentar. Seperti apa pun posisi tidur dia tetap tidak bisa tenang. Juan mengahadap kiri lalu mengahadap kanan, begitu terus hingga beberapa kali.

"Kalau mau cari signal besok aja, aku temani ke bukit," tawar Feri yang kebetulan tidur di tikar samping Juan, seakan pemuda itu paham apa yang dirasakan Juan saat ini.

"Benaran?" Juan duduk saking senangnya.

Feri mengangguk. "Iya, aku juga akan menelepon seseorang besok."

Juan tersenyum lebar, sangat berharap pada Feri. Tidak lama setelahnya pemuda itu sudah berada di alam mimpi.

***

Pagi harinya Yunita membuka kios dengan semangat, ada beberapa orderan yang harus selesai sore ini.

"Loh, mana potongan kain yang lain?" Yunita mengacak-acak rak tempat kain yang sudah diberi pola diletakkan.

Lihat selengkapnya