"Kemana, Wan? Bayar dulu!" seru Tami yang tidak tahu apa yang ingin dilakukan Juan.
Juan mengangkat dagunya, tidak mengindahkan ucapan Tami di belakang sana, tetap maju ingin membatalkan acara lamaran itu.
Baru beberapa langkah Juan berjalan, tiba-tiba langsung berhenti, sebab melihat beberapa orang mulai keluar dari rumah.
"Apa acaranya sudah selesai? Jadi aku benar-benar terlambat?" gumam Juan dengan lesu.
Pandangan Juan begitu fokus pada rumah itu. Ia melihat, Frans sedang berbicara dengan seorang pria yang cukup tampan.
"Pasti itu calon suami Yunita," cetus Juan dengan lirih.
Juan merasa kalah telak, sebab dari keempat mobil yang terparkir di depan pagar rumah itu, tak satu pun yang berharga murah. Semua mobil pengeluaran terbaru dengan harga fantastis.
Dapat Juan pastikan kalau calon suami Yunita pasti kaya raya. Apalah dirinya yang baru tiga bulan ini menjadi kepala teknisi di sebuah pabrik.
"Mungkinkah aku harus menunggu Yunita menjadi janda lagi." Juan menelan rasa kecewa sendirian.
Pemuda itu pulang ke rumah dan mengurung diri di kamar. Sungguh ia sudah bertekad tidak akan menikahi wanita mana pun di dunia ini selain Yunita. Juan tidak peduli kalau pun harus menunggu Yunita menjadi janda lagi dan lagi.
Juan tersenyum getir menatap langit-langit kamar dengan tangan diletakkannya di atas dahi. Pemuda itu persis seperti orang gila, sesekali juga terkekeh tiada arti.
"Sakit banget!" Juan mengusap pelupuk mata agar air kesedihan itu tidak jadi menetes. Perjuangannya di Pulau Sumatera sudah tiada arti lagi.
Keesokan paginya, Yunita berbelanja ke warung Tami.
"Bu, beli—" ucapan Yunita terputus tak kala kakinya menedang sebuah kaleng.
"Astaghfirullah," kaget Yunita dan Tami bersamaan.
Bunyi yang dihasilkan cukup keras, hingga Yunita memilih menunduk untuk memungut kaleng minuman itu.
"Maaf, Nit. Baru mau ibu sapu," celetuk Tami yang merasa tidak enak sebab warungnya masih kotor.
Warung itu baru saja buka, Yunita yang datang berbelanja terlalu pagi dan Tami belum sempat menyapu.
"Nggak apa, Bu. Sabun cucinya dua ya," ucap Yunita
Setelah memungutnya, Yunita mengangkat kaleng itu ke atas. Ia heran melihat kaleng yang tidak hanya penyok tapi sudah tidak berbentuk.
"Kalengnya kok bisa jadi begini, Bu?" tanya Yunita seraya berjalan hendak membuang kaleng itu.
"Oh, itu kemaren si Juan yang bikin ulah. Mana buang sampah sembarang, nggak dibayarnya pula," keluh Tami tentang kelakuan Juan kemaren siang. Tangannya sibuk mengambilkan sabun cuci untuk Yunita.
"Juan?" sentak Yunita heran.