BARU tiga tahun lebih bertugas sebagai dokter umum di salah satu rumah sakit di Kota Gorontalo, Jesia Amsyani akhirnya mendapat mutasi atas permintaan sendiri untuk tugas di tempat lain. Kali ini, ia harus bertugas dalam suasana yang lebih menantang dan tentu saja sangat sarat dengan pengabdian.
Ia diposisikan sebagai kepala Puskesmas di salah satu desa terpencil, di daerah pegunungan yang tak bisa ditembus dengan mobil, bahkan motor pun sangat sulit menempuh perjalanan karena harus melalui jalan bebatuan serta berlubang, dan juga menyeberangi sungai dengan jembatan kayu yang hanya berukuran lebar satu meter lebih. Jaringan telekomunikasi dan listrik di desa ini, bahkan belum mampu dinikmati secara memadai di desa yang bernama Suri Tani ini.
Dan meski sangat jarang dikunjungi oleh pejabat-pejabat pemerintahan, namun desa yang kerap mengalami banjir di kala hujan itu, merupakan desa penopang kebutuhan pangan terbesar, seperti beras dan berbagai macam tanaman hortikultura serta buah-buahan.
Sayangnya, di desa ini tak sedikit orang-orang dari luar melakukan penebangan kayu secara liar (illegal logging). Mereka mengangkut kayu-kayu hutan tersebut melalui arus sungai yang bermuara di salah satu desa lainnya, lalu diselundupkan ke sejumlah daerah-daerah luar dengan menggunakan truk-truk yang sudah disiapkan di darat. Anehnya, warga Desa Suri Tani yang hampir seratus persen bergelut di bidang pertanian itu tak satu pun yang berani bersuara, apalagi menegur para pelaku illegal logging tersebut agar berhenti menebang pohon-pohon kayu di hutan secara liar.
Awalnya, dokter Jesia yang baru saja menjabat sebagai kepala Puskesmas di desa itu, juga tak mau ambil pusing dengan kegiatan illegal logging itu. Ia hanya bertekad dan berupaya maksimal untuk mempersembahkan pelayanan terbaik bagi warga desa melalui Puskesmas yang dipimpinnya itu. Apalagi Salman Bino selaku Kepala Desa Suri Tani sejauh ini sama sekali juga tak ada reaksi, dan tampak seolah tak mau peduli dengan aksi para pelaku deforestasi secara liar yang telah berlangsung bertahun-tahun di desanya itu.
Dokter Jesia mulai berpikir untuk mencari cara agar deforestasi liar itu bisa segera dihentikan. Yakni, ketika ia banyak mendapatkan keluhan gangguan kesehatan dari warga dengan penyakit yang berkaitan pada kerusakan ekologi hutan, seperti Demam Berdarah, Malaria, penyakit Elefantiasis (Kaki Gajah), Schistosomiasis, HIV/AIDS, dan bahkan beberapa warga terdeteksi reaktif dari hasil Rapid Test Virus Corona (Covid-19).
Upaya pertama yang ditempuh dokter Jesia, adalah melakukan sosialisasi dengan memberikan pemahaman kepada warga tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup, termasuk hutan. Ia menjelaskan hubungan antara kesehatan manusia dengan hutan tropis, memiliki hubungan yang sangat erat dan tak bisa dipisahkan karena dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk pola makan, kemiskinan, perubahan iklim, dan kegiatan pemanfaatan lahan.
Sebagai seorang dokter umum, Jesia sangat menyadari bahwa hutan tropis memengaruhi kesehatan manusia, baik yang tinggal di dalam maupun di luar hutan. Sehingga itu, setiap warga yang menyempatkan diri memeriksakan kesehatannya ke Puskesmas, dokter Jesia senantiasa memberikan pemahaman dan mengajak untuk memiliki kesadaran besar terhadap eksistensi hutan. Sebab, betapa pentingnya hutan sebagai penyedia pangan, obat-obatan dan bahkan bahan bakar bagi jutaan manusia.
Tak hanya warga, dokter Jesia pun tak jarang sengaja mengunjungi kediaman Kepala Desa Suri Tani, Salman Bino. Bukan untuk menanyakan tentang mengapa penebangan hutan secara liar di desa ini begitu sangat leluasa, melainkan ia hanya langsung mencoba mengajak agar sama-sama memerangi illegal logging. Sebab, dampaknya sangat berakibat fatal bagi lingkungan hidup dan juga bagi kesehatan makhluk hidup, terutama manusia.
“Jika penebangan hutan benar-benar bisa dilakukan dengan bijak, maka itu akan sangat mampu mendatangkan perbaikan dan manfaat untuk kehidupan manusia, misalnya menebang pepohonan di hutan untuk diubah menjadi ladang atau kebun yang produktif. Namun jika deforestasi dilakukan secara liar dan ugal-ugalan, maka selain menyebabkan masalah-masalah lingkungan, juga dipastikan menyebabkan hilangnya pangan alami dan memicu timbulnya penyebaran penyakit. Penyakit yang berasal dari luar wilayah hutan dapat menembus masuk ke hutan karena dibawa oleh orang-orang luar, sehingga memberikan dampak yang serius bagi penduduk di sekitar hutan.”
Kalimat-kalimat yang dilontarkan dokter Jesia itu, membuat Salman Bino tampak hanya bisa lebih banyak terdiam dan mengangguk-angguk sambil tersenyum, namun dengan tatapan mata yang seolah hampa ke arah dokter Jesia. Dan setiap kali dokter Jesia mengunjunginya, kepala desa yang berumur sekitar 50 tahun itu pasti selalu didampingi istrinya yang sangat jelas bermuka judes. Tak ada ide, apalagi jalan keluar yang mampu diberikan oleh Salman Bino selain hanya bisa berkata, “ya, ya, yaa, itu akan kita kondisikan.”
Tak hanya merasa tidak puas, jawaban Salman Bino tersebut tentu saja juga membuat bingung. Sehingga memancing pikiran dokter Jesia untuk mengejar berbagai asumsi tentang sosok Salman Bino yang sangat nampak bermasa bodoh dengan kegiatan illegal logging di desanya.
“Ada hubungan apa Pak Salman dengan para.......? Ah, sudahlah!” dokter Jesia menghentikan praduga-praduga yang mulai bermunculan di benaknya.
Dan sejak itu, dokter Jesia mulai membatasi diri untuk tidak lagi secara sengaja menemui Salman, apalagi untuk mengajak berkomunikasi dan bertukar pikiran, guna membahas seputar orang-orang dari berbagai daerah luar yang leluasa masuk dan menebang kayu di Desa Suri Tani. Ia pun melalui hari demi hari dengan berpura-pura seolah tak lagi memikirkan kondisi sekarat, yang terjadi di wilayah tugasnya itu.
Kendati demikian, dokter Jesia diam-diam mencoba mendekati salah seorang perawat di Puskesmas itu. Namanya Selmi Yusuf. Dokter Jesia berharap, melalui Selmi yang juga selaku Ketua karang taruna di desa ini, persoalan illegal logging yang sangat berpotensi membawa wabah penyakit termasuk Covid-19 itu, bisa pelan-pelan diatasi.
Selmi adalah gadis desa, berusia sekitar 27 tahun. Ia lulusan akademi perawat yang kini membantu tugas-tugas dokter Jesia di Puskesmas. Selmi saat ini sudah menjadi seorang yatim piatu. Ayahnya meninggal sekitar delapan tahun silam akibat malaria. Dan ibunya juga akhirnya wafat pada akhir Maret 2020, diduga kuat positif Covid-19. Masih sebatas dugaan, karena di saat menjelang maupun setelah kematiannya, ibunya Selmi tidak sempat dilakukan Swab Test dengan menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction), karena terkendala dengan kondisi desa yang sangat terpencil.
Mengetahui kondisi Selmi seperti itu, dokter Jesia pun merasa Selmi adalah orang yang tepat dijadikan teman untuk menggugah warga. Yakni, agar dapat bangkit bersama untuk memperbaiki moral dan perilaku para pelaku yang terlibat dalam kegiatan illegal logging tersebut. Dan dokter Jesia sama sekali tak mampu untuk mendiamkan apalagi membiarkan terjadinya perusakan hutan di desa ini. Sebab, selain dapat mendatangkan bencana dan malapetaka, deforestasi secara liar juga dipastikan hanya mengundang munculnya banyak penyakit.
Olehnya itu, dokter Jesia pun berencana agar setiap saat sepulang dari Puskesmas tidak langsung menuju rumah kontrakannya, melainkan harus mampir di rumah Selmi untuk berdiskusi, dan juga berupaya sama-sama mencari cara agar mampu menghindarkan warga Desa Suri Tani dari berbagai penyakit yang timbul dari akibat illegal logging itu. Dan tak menghitung waktu seminggu, rencana itu pun dilakukan dokter Jesia.
----*****----
Selmi yang baru saja menyisir rambut keponakannya di dalam kamar, tiba-tiba dikagetkan dengan suara salam dari seseorang dengan ketukan di balik pintu depan rumah. Ia beranjak diikuti keponakannnya menuju ke ruang tamu. Namun Selmi tidak langsung membuka pintunya, ia lebih dahulu menengok ke jendela. Selmi bertambah kaget ketika melihat sosok tamu di teras rumahnya itu adalah atasannya, dokter Jesia Amsyani.