“Ish! Kok bisa sih aku malah nggambar dia?”
Niki masih mengomel ketika berjalan keluar dari rumah. Meski sudah beberapa hari berlalu, ia masih tak habis pikir mengapa tokoh webtun yang ia gambar bisa berubah jauh dari contohnya. Hasil gambarnya malah serupa dengan anak laki-laki yang ia temui di supermarket. Karena kesal, ia langsung merobek kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah.
Untuk menghibur diri, di hari Minggu siang, ia pergi ke toko buku. Ia ingat, serial komik favoritnya sudah terbit. Selain itu, ia ingin juga memanfaatkan hari terakhirnya sebagai anak SMP karena besok ia akan memulai hari barunya sebagai remaja SMA.
“Nik!”
Seorang gadis melambaikan tangan pada Niki dari arah depan. Otomatis tangannya terangkat hendak membalas, tetapi terhenti di udara. Segera ia menurunkan tangan ketika gadis itu justru berpelukan dengan sosok yang tiba-tiba berlari melewatinya.
Menyadari dirinya salah mengira, Niki berjalan lebih cepat. Namun, sekilas percakapan dan tawa dari dua gadis itu masih terdengar di telinganya.
“Itu siapa sih? Kamu kenal?”
“Nggak. Mungkin cuma salah liat aja.”
Cepat-cepat Niki memasuki toko buku langganannya. Di sana, ia menghabiskan waktu cukup lama untuk melihat beberapa judul buku baru yang menarik minatnya. Ia hanya membaca sekilas blurb buku itu lalu meletakkannya kembali. Ia memang tidak berniat membelinya karena tujuannya ke mari bukan itu.
Kaki kecilnya kini menuju rak komik. Pupil matanya bergerak cepat menyusuri deretan buku yang tertata rapi itu lalu mengambil salah satu judul yang sudah ia tunggu.
“Akhirnya bisa kebeli juga,” katanya sambil tersenyum dan membawa buku itu ke kasir. Baru saja ia mengeluarkan uang dari dompet, terdengar panggilan yang familier di telinganya.
“Nik!” Suara itu berasal dari pintu di belakang kasir tempat Niki berada.
“Iya, Pak?” Kasir yang melayani Niki menoleh dan seseorang yang seperti atasannya muncul. Mereka membicarakan sesuatu tentang stok di gudang. Ketika mereka sudah selesai, sekilas Niki membaca nama di tanda pengenal kasir itu, Monik.
Kenapa nggak dipanggil ‘Mon’ aja sih? Mon-mon, ‘kan lebih lucu.
Niki membuang napas kesal. Sudah kedua kalinya dalam hari ini ia salah mengira orang memanggilnya. Setelah membayar, ia segera menyambar bungkusan buku itu dan menatap tajam pada petugas kasir yang tidak tahu apa salahnya.
Sepanjang perjalanan pulang, Niki mengerutkan dahi. Apakah namanya se-pasaran itu? Ia merasa, nama dengan panggilan “nik” itu cukup jarang, selain Nunik, Nanik, Menik, Denik, Anik, Enik, Benik, Niki ….
Niki menggaruk kepalanya.
Ah, ternyata banyak juga. Kenapa sih Mama harus kasih nama kayak gini? Jadinya, sering salah paham deh. Coba kalau namaku jadi Valerie, Agatha, atau Lavi. Kan lebih keren, dan nggak pasaran lagi.