“Nik!”
Niki otomatis menoleh dan menyadari kesalahan yang telah berulang kali terjadi. Anak laki-laki itu bukan memanggil dirinya, melainkan seseorang yang tidak terlihat karena tertutup pohon.
Perasaan kemarin nggak ada anak yang dipanggil dengan nama itu deh, pikir Niki heran. Ia sudah mengenal dan menghapal nama teman-teman seangkatannya. Sejauh ingatannya, hanya dirinya yang memiliki nama dengan panggilan itu.
“NIK! Woi, Nik! Jangan kabur!” Si anak laki-laki tadi sekarang berlari mengejar seseorang yang dipanggil ‘nik’ itu.
“Kayaknya aku harus ganti nama deh.” Niki bergumam kesal. Ia lalu melanjutkan kegiatannya menulis hasil pengamatan di hari terakhir MPLS ini dengan dahi berkerut dan bibir cemberut.
“Kenapa, Nik?” tanya Dian yang ikut menulis di samping Niki.
“Nggak kenapa-kenapa,” jawab Niki lalu menatap tiga teman kelompoknya yang semuanya perempuan. “Kalian udah selesai?”
“Belum. Dikit lagi nih,” jawab Dian.
“Coba liat punyamu, Nik.” Anggi mengulurkan tangan.
Niki menyerahkan buku catatannya. Ketika Dian, Anggi, dan Vera kompak berebutan membacanya, ia pun mendengus.
“Gimana sih kalian ini? Masa kalian contek semua hasil pengamatanku? Nanti kalau ketauan gimana?” omelnya.
“Nggak bakalan. Aku ubah dikit-dikit kok kalimatnya. Toh, intinya sama aja,” sahut Vera cuek.
“Iya. Aku ada yang kelupaan. Untung liat punyamu, jadi bisa kutambahin deh.” Anggi ikut menyahut.
“Yes! Selama MPLS ini, catatanmu yang paling lengkap, Nik. Nggak kayak mereka.” Dian melirik Anggi dan Vera yang kompak mencubit pipi Dian.
Niki tertawa.
“Sayangnya, kita belum tentu sekelas. Kalau sekelas sama Niki ‘kan enak. Setuju, Gengs?” Dian mengarahkan pulpennya pada Anggi dan Vera yang mengangguk bersamaan.
“Yeee … enak di kalian dong!” Niki cemberut, sementara tiga temannya tertawa.
Niki benar-benar menikmati masa sekolahnya. Selain teman-temannya yang unik dan seru, kakak-kakak kelasnya cukup ramah tanpa acara bentak-bentak dan hukuman keras. Tugas-tugas yang diberikan tidak begitu sulita bisa menyelesaikannya dengan baik. Sejauh ini, tidak ada masalah dalam proses adaptasinya di sekolah baru.
Suara bel dari pengeras suara di koridor terdengar nyaring. Puluhan anak berseragam putih abu-abu bergerak dari tempat kerja kelompoknya masing-masing menuju ke tengah lapangan. Di sana, panitia dan guru pengawas MPLS sudah menunggu. Niki dan teman-teman mengambil tempat sesuai nomor kelompoknya.
Tiga kali ketukan pada galon kosong, mengalihkan atensi para murid baru ke depan. Seketika suasana menjadi sunyi. Ketua panitia mengambil mikrofon dan mulai berbicara.
“MPLS ini sudah berlangsung selama tiga hari. Saya harap kalian sudah mengenal lingkungan tempat kalian menimba ilmu. Laporan yang kalian buat tadi bisa diserahkan ke panitia di sana. Karena ini hari terakhir, setelah memgumpulkan laporan, saya berikan waktu bebas. Kalian bisa istirahat atau menggunakan waktu ini untuk saling berkenalan lebih dekat. Mau kenalan dengan kakak kelas juga boleh kok, mumpung banyak yang jomlo. Termasuk saya.”
Dua kalimat terakhir bernada gurauan itu disambut gelak tawa yang lain. Segera saja murid-murid kelas satu itu saling berebut menyerahkan laporan lebih dulu lalu membaur dengan yang lainnya. Begitu juga dengan Niki.
Waktu bebas seperti ini adalah saat yang paling ia tunggu karena bisa mencoba aneka jajanan di kantin. Baru saja ia hendak berbalik setelah membayar kentang goreng dan sosis bakar, lengannya tertarik ke samping. Beruntung, makanannya tidak jatuh, tetapi tetap membuatnya menggerutu.
“Apa sih?” Ia menoleh pada sosok di sampingnya.
“Nik, yang itu enak nggak?” Dian menunjuk tumpukan donat di etalase kantin.
“Enak kok. Kemarin aku udah nyobain,” jawab Niki santai.
“Kalau itu?” Ganti Vera menunjuk roti lapis pesanan anak lain yang sedang dibuat.
“Enak juga.”