Niki tidak mau terkecoh lagi. Ia yakin suara itu bukan memanggil dirinya seperti yang sudah-sudah.
“Nik, ada yang manggil tuh!” Anggi menunjuk belakang Niki. Wajahnya berseri-seri. “Cowok, Nik!”
Dian menoleh ke belakang dan Vera ikut heboh dengan memukul-mukul meja ketika melihat orang yang dimaksud Anggi.
“Ganteng, Nik! Kamu kapan kenalannya?” Mata Vera berbinar-binar.
“Ih, Niki, udah kenal sama cowok ganteng, masih pura-pura juga!” protes Dian.
Gerah dengan ocehan teman-temannya, Niki pun menoleh untuk melihat siapa yang memanggil. Memang, di belakang mereka ada seorang anak laki-laki sedang berlari mendekat. Meski terlihat marah, ia tetap tampan. Namun, Niki sama sekali tidak mengenalnya.
“Aku nggak kenal,” ujar Niki sambil berbalik, tetapi teriakan yang sama membuatnya kembali menoleh.
Sama halnya dengan teman-teman Niki. Tatapan mereka tertuju pada bangku kantin di pojok dekat pintu. Dua orang pemuda sedang berdiri berhadapan.
“Nik! Kamu ini gimana sih? Laporanmu belum selesai, main ngacir aja! Tuh, yang lain pada marah!”
Seperti dugaan Niki, orang itu bukan memanggilnya. Omelan itu ditujukan pada seseorang yang hanya terlihat punggungnya saja. Sepertinya, ia adalah orang yang sama dengan yang dilihatnya tadi di balik pohon.
“Nah, udah liat sendiri, ‘kan? Dia bukan panggil aku,” kata Niki sewot. Ia kembali menghadap meja kantin. Makanannya sudah habis, menyisakan teh botol yang tinggal separuh.
“Yaaah … sayang …,” sahut Vera lesu. “Kalau Niki kenal, kita ‘kan bisa kenalan juga.”
“Eh, ada ya, cowok di sini yang panggilannya ‘nik’?” Anggi tampak heran. “Kayaknya aku baru denger sekarang kalau ada cowok yang panggilannya sama kayak Niki. Atau aku mainnya kurang jauh?”
“Nah! Aku juga mikir gitu! Dari kemarin-kemarin nggak ada ‘kan yang namanya mirip?” cetus Niki merasa ada yang sependapat dengannya. “Aku udah kenalan sama semuanya, dan nggak ada yang sama.”
“Siapa, ya, kira-kira? Kakak kelas mungkin?” Dian tampak berpikir.
“Cuma keliatan punggung aja, jadi nggak tau,” cetus Vera.
“Ah, udahlah!” Niki menggeleng seakan tidak peduli lalu menghabiskan isi botolnya.
“Benik? Denik? Nycta Gina? Eh, itu cewek. Atau, malah Niki versi cowok?” Anggi membulatkan matanya.
“Whoaa! Bisa-bisa! Kayaknya asyik tuh, ada Niki versi cewek dan cowok!” Vera girang sambil bertepuk tangan.
“Atau, Niko?” celetuk Dian.
Niki memutar mata dengan malas mendengar tebak-tebakan tidak jelas itu. Ia sudah sangat bosan dengan kejadian salah panggil beberapa hari ini. Jangan sampai benar-benar ada anak yang memiliki nama mirip atau sama di sekolah bahkan di kelasnya nanti.
“Terserahlah! Aku nggak peduli,” katanya kesal. “Ayo, ke lapangan lagi! Tugas terakhir udah menanti sebelum pulang.”
Meski terlihat tidak peduli, Niki sebenarnya penasaran dengan anak laki-laki yang memiliki panggilan sama dengannya. Gestur punggung anak itu belum pernah ia lihat selama masa orientasi ini. Mungkin ucapan Anggi benar, mainnya kurang jauh.
Acara penutup sudah dibuka oleh Ketua Panitia. Ia sedang berdiri menghadap adik-adik kelasnya dengan mikrofon di tangan.
“Nah, untuk tugas terakhir hari ini, mudah sekali! Kalau kalian benar-benar mengamati sekolah selama MPLS, pasti bisa menjawabnya. Masing-masing kelompok akan mendapat lima pertanyaan yang harus dijawab. Jika itu adalah benda yang ada di sekitar kalian, bawa ke kelompok kalian. Beberapa benda jumlahnya terbatas. Jadi, siapa cepat dia dapat. Mengerti?”