Arif menyambut Rahmat dan Fatma yang baru saja tiba di rumahnya. Sambil tersenyum bahagia, dia mengajak kedua adiknya itu menuju pekarangan belakang. Di sana mereka duduk melingkar di dalam gazebo. Di depan mereka sudah ada makanan ringan dan minuman yang disediakan seorang pembantu. Semalam, Arif menghubungi Rahmat dan Fatma untuk datang ke kediamannya. Lelaki berumur 36 tahun ini mengatakan ada hal penting yang mau disampaikan terkait ibu mereka.
Sementara Ratna—istri Arif—sengaja tidak bergabung dengan mereka. Dia tahu apa yang hendak disampaikan Arif kepada Rahmat dan Fatma. Perempuan berusia 34 tahun ini tidak mau mencampuri urusan keluarga Arif, meski semalam dia menyetujui apa yang diutarakan oleh suaminya itu. Kini, perempuan berkulit putih dan berjilbab ini hanya duduk di bangku kayu di teras belakang.
Setelah menyeruput kopi hitamnya, Arif kembali tersenyum dengan semringah. Pria berkulit putih dan berkacamata ini begitu percaya diri, bahwa Rahmat dan Fatma pasti setuju dengan keinginannya. “Jadi begini,” katanya memulai percakapan. “Semalam saya udah bicara sama Ratna. Dia setuju sama apa yang mau saya sampaikan sekarang sama kalian.” Dia diam sejenak.
Sementara itu, Fatma menunggu Arif kembali bicara. Perempuan berkulit putih dan berjilbab ini mencoba bersabar meski rasa penasarannya semakin membesar. Sedangkan Rahmat sedang meminum teh manis hangatnya sambil menanti apa yang hendak dikatakan oleh Arif.
“Saya mau ajak Emak hidup di sini,” cetus Arif disudahi dengan senyuman kebahagiaan. Dalam benaknya, dia sudah membayangkan bagaimana nanti Emak tinggal di rumahnya.
“Maksudnya, Bang?” Rahmat menaruh gelas kembali ke meja. Lelaki berusia 32 tahun ini mengerutkan keningnya.
“Saya mau mulai minggu depan, atau kalo bisa secepatnya, Emak bisa tinggal sama saya di rumah ini,” jelas Arif. “Biar saya yang mengurus Emak.”
Rahmat menggeleng-geleng. “Gak bisa, Bang,” timpal lelaki berkulit sawo matang ini. Dari ketiganya, dia satu-satunya orang yang warna kulitnya seperti almarhum Bapak.
Wajah senang Arif memudar. “Apa maksudmu gak bisa?” tanyanya dengan mimik bingung.
“Selama ini Emak baik-baik aja, kok, tinggal sama saya,” jawab Rahmat. “Kenapa Abang mendadak mau ngajak Emak tinggal di sini? Gak masuk akal!” lanjutnya dengan suara yang lebih keras daripada sebelumnya.
“Gak masuk akal gimana? Dia juga Emak saya, Mat!” ujar Arif tak kalah tegas. “Saya punya hak untuk mengurus hidup Emak. Lagian, Emak akan jauh lebih terjamin hidup bersama saya di sini.”
Rahmat tak mau kalah. “Gak bisa!” katanya sambil menggebrak meja. “Saya udah bilang, hidup Emak baik-baik aja tinggal sama saya. Walau kerjaan saya cuma buruh pabrik, tapi Emak gak pernah kekurangan, Bang!”
“Emak gak mungkin bilang sama kamu kalo kebutuhannya gak tercukupi. Emak gak akan mau nyakitin perasaanmu, Mat! Justru itu, kamu yang harus sadar bahwa kamu sebenarnya gak bisa mencukupi semua kebutuhan Emak. Kamu gak cukup bisa bahagiain Emak. Udahlah! Biar saya aja yang menjamin hidup Emak.” Rahang Arif mengeras. Kekesalan tampak terpancar dari wajahnya.
“Kenapa baru sekarang, Bang? Kenapa gak dari awal Abang ajak Emak hidup di sini?”
“Mat, alasannya barusan udah saya kasih tahu. Dan satu hal lagi, sekarang saatnya Emak hidup sama saya. Gantian, dong! Kamu ‘kan udah cukup lama mengurus Emak, sekarang giliran saya.”