Rahmat memarkirkan sepeda motor matic-nya di depan rumah. Sore ini, dia yang baru pulang bekerja itu tampak lelah. Namun, dia merasa lebih capek memikirkan niatan Arif dan Fatma ketimbang aktivitas pekerjaannya. Setelah melepaskan helm dan menaruhnya menggantung di setang motor, dia lantas menuju pintu yang terbuka.
“Assalamu’alaikum,” Rahmat mengucapkan salam setelah melepaskan sepatunya.
“Wa’alaikumussalam,” sahut dua perempuan berbarengan dari ruang tengah.
Rahmat terkejut. Dia hafal betul suara dua perempuan itu. Kalau saja tiga hari lalu tak ada perkara memperebutkan Emak, dia tak akan sekhawatir ini. Sambil menenteng sepatu, dia melangkah ke ruang tengah. Ditaruhnya sepatu hitam itu ke rak yang berada di sudut ruangan. Didapatinya Emak dan Fatma sedang duduk di sofa di ruangan itu.
Dengan gelisah Rahmat menghampiri Emak dan Fatma. Dia mencium punggung tangan kanan kedua perempuan itu. “Sejak kapan main ke sini, Kak?” tanyanya kemudian. Dia ingin tahu selama apa Fatma sudah bersama Emak, terlebih apa yang dibicarakan Fatma dengan Emak.
“Saya nyampe sekitar jam satu siang,” jawab Fatma. “Kenapa?” tanyanya dengan wajah yang seolah berkata, Saya berhak main ke sini untuk bertemu dengan Emak.
“Gak apa-apa.” Rahmat tersenyum tipis. “Kalo gitu saya mau mandi dulu.” Dia berlalu ke kamarnya yang berada di ruang belakang.
Rahmat tahu dan paham, bagaimanapun Fatma punya hak untuk bertemu dengan Emak. Dia tidak bisa melarang Fatma bertandang ke rumah ini. Sebelum perseteruan itu pun Fatma sesekali menjenguk Emak. Karena perkara itulah kali ini Rahmat jadi waswas, jangan-jangan Fatma tengah berupaya menanamkan pemahaman melalui kata-kata, sehingga Emak mau tinggal bersama Fatma.
Menjelang jam lima sore, Rahmat selesai membersihkan diri. Dia mengendap-ngendap menuju tembok pembatas ruang tengah dan ruang belakang. Dia menguping pembicaraan Emak dan Fatma.
Apa, sih, yang diomongin? batin Rahmat bertanya.
“Emak kapan-kapan nginap di rumah saya dong, Mak,” kata Fatma pada perempuan berusia 58 tahun itu. “Apalagi, sekarang saya lagi hamil gini, rasanya pengin dekat-dekat sama Emak,” lanjutnya dengan nada yang manja.
Emak terkekeh pelan. “Ya, nanti Emak nginap, deh.” Perempuan berkulit putih dengan wajah banyak kerutan ini pun melanjutkan, “Kamu emang sebaiknya gak boleh sendirian di rumah.”
Mendengar ucapan Emak, kedua mata Fatma berbinar senang. “Justru itu, Mak. Saya juga pengin ditemanin sama Emak,” timpalnya pada perempuan yang juga berjilbab itu. Dilihatnya tubuh Emak yang ringkih.