Selepas isya, Rahmat makan malam bersama Emak seperti biasa. Setelah beres mengisi perut, keduanya menyaksikan tayangan di televisi di ruang tengah sambil bercakap-cakap hal ringan. Dua hari lalu sepulang mengantar Fatma, dia hendak menanyakan apa yang Fatma dan Emak bicarakan sebelum dia pulang bekerja. Namun, dia urung karena tak mau Emak curiga. Pasalnya, selama ini dia tidak pernah menanyakan maksud kedatangan Fatma. Kalau ada perubahan yang tak sengaja terlihat, dia khawatir Emak bisa menerka-nerka bahwa tengah terjadi perang batin antara dia dan Fatma. Dia tak mau Emak jadi sedih karena tahu perkara itu. Maka, dia menunggu sampai hari ini, tapi dia harus berbasa-basi dulu.
“Besok saya pulang setengah hari, Mak,” kata Rahmat. “Besok Emak perlu kontrol ke dokter lagi, ‘kan?” Dia ingat jadwal Emak ke dokter karena memang dia yang selama ini lebih sering mengantar Emak berobat.
“Kamu gak usah bolos atau izin gak masuk kerja karena mau nganter Emak ke dokter,” sahut Emak. “Jangan memaksakan diri kalo gak bisa. Kamu ‘kan masih karyawan kontrak. Kalo kebanyakan izin, nanti kamu susah diangkat jadi karyawan tetap,” sambungnya menjelaskan.
“Besok tuh Sabtu, Mak, emang saya kerja setengah hari. Jadwal Emak ke dokter ‘kan sehabis asar, jadi saya bisa nganter Emak kayak biasa.” Rahmat tersenyum dengan wajah meyakinkan.
“Oh gitu.”
“Iya, Mak.”
“Tapi kalo kamu gak bisa, Emak juga bisa diantar sama Fatma atau Arif, kok,” ucap Emak lagi membuat Rahmat menelan ludah yang mendadak kelu.
“Jangan, Mak,” sahut Rahmat cepat. “Kak Fatma ‘kan lagi hamil, jadi perlu banyak istirahat biar kondisinya bagus saat lahiran. Kalo Bang Arif ‘kan udah berumah tangga, biarlah waktu liburnya dia habiskan sama Mbak Ratna dan Andin. Kalo urusan nganter Emak biar saya aja.” Dia terkekeh karena kali ini kehamilan Fatma ternyata bisa juga dijadikan alasan agar dia bisa semakin dekat dengan Emak.
“Ya udah kalo gitu.”
Rahmat meraih cangkir berwarna putih di meja. Diseruputnya minuman kopi itu secara perlahan dengan perasaan yang tenang. “Ngomong-ngomong, waktu Kak Fatma datang, dia ngomongin apa, Mak? Soal kehamilan?” tanyanya kemudian seraya menaruh cangkir kopi kembali ke tempat semula. Pertanyaan ‘Soal kehamilan?’ adalah pilihan yang tepat agar Emak tidak curiga bahwa sebenarnya dia tengah mencurigai obrolan Emak dan Fatma. Kalau Emak menjawab tidak, dia akan bertanya lagi. Jikalau Emak mengiakan, dia tak mau memperpanjang pertanyaan.
“Iya, sejak datang itu dia cuma tanya-tanya soal kandungan. Kamu tahu sendiri, dia baru pertama kali hamil.” Emak tersenyum semringah. Dia membayangkan wajah Fatma yang bahagia setelah memiliki seorang anak. Dia pun kembali mendapatkan seorang cucu, dan dia berharap itu laki-laki.
Rahmat kemudian menduga Emak akan kembali membicarakan Fatma yang sedang hamil. Dari ucapan Emak barusan, dia khawatir Emak mengungkapkan keinginan untuk menemani Fatma, terlebih menyampaikan mau menginap di rumah kakaknya itu. Maka kemudian dia mengalihkan topik pembicaraan. “Emak lambungnya masih sakit, gak?” tanyanya kemudian.
“Enggak, kok,” jawab Emak. “Tapi obatnya emang mau habis. Terakhir besok.”
“Gak apa-apa,” kata Rahmat cepat. “Emak harus tetap kontrol ke dokter biar lambung Emak diperiksa dan Emak punya persediaan obat,” jelasnya.