Saat Mbah Kung ada, Oktober menjadi bulan paling muram bagi keluarga kami. Singup[1], sunyi dan semua kegembiraan disembunyikan dalam-dalam dari penglihatan Mbah Kung. Aura rumah berubah, gula tak semanis biasanya dan semua bentuk kesenangan kami tahan sebisanya.
Sehari sebelum Oktober, Mbah Uti menyuruh aku keluar dari rumah utama dan pindah ke rumah depan, memberi ruang bagi Mbah Kung untuk menempati dunianya sendiri. Aku tak ingat sejak kapan kebiasaan ini berawal, Uti dan kedua almarhum orang tuaku tak pernah bercerita.
Rumah kami cukup besar, berada di bagian tengah pekarangan yang luas dan dipagari semak kemangi setinggi pinggang orang dewasa. Rumah utama–rumah tua peninggalan buyut–berada di bagian belakang sedangkan rumah kedua dibangun kemudian di area depan.
Di depan rumah tambahan masih tersisa pelataran luas, ditanami dua pohon sawo kecik di sisi kanan dan kiri, menjadi semacam gerbang ucapan selamat datang yang mencolok mata. Entah berapa usia kedua sawo itu, tetapi Mbah Kung pernah bercerita sawo itu ditanam oleh buyutku sebelum rumah utama ada.
Di bulan Oktober, kami melayani apapun keinginan Mbah Kung. Aku tak bertanya apa-apa, demikian pula Uti. Kami hanya datang ketika Mbah Kung memanggil, dan menjawab ketika Mbah Kung bertanya. Kami tahu–meski Mbah Kung tak pernah bercerita–ada beban berat yang disangga oleh bahu tuanya. Beliau tak pernah berkata apa-apa tentang bebannya.
Pundak tua Mbah Kung menjadi sandaran bagi hilir sejarah keluarga. Sejarah itu sekarang menggumpal menjadi sakit hati, berdiam di tubuh Mbah Kung selama puluhan tahun. Beliau memanggul dan menanggungnya sendiri.
“Kenapa Kung tak pernah bercerita padaku, Uti?” tanyaku suatu hari.
“Beliau lahir sabtu legi, Le. Pasaran[2] tinggi, orang terhormat yang pantang berbagi beban pada siapapun,” jawab Uti.
Dulu–sewaktu aku berumur tujuh atau delapan tahun–hampir tiap saat Mbah Kung bercerita tentang sejarah keluarga. Menjelang tidur, saat duduk di pangkuannya atau sambil mendekap erat kepalanya ketika dipanggul, aku mendengarkan cerita-cerita kepahlawanan buyut-buyut seperti mendengarkan petualangan ke negeri-negeri asing, berperang melawan musuh, raksasa jahat dan makhluk-makhluk dongeng.