Jangan Ganggu Mbah Kung di Bulan Oktober

Ferry Herlambang
Chapter #2

Bagian I: 1825

Usiaku belum sepuluh tahun ketika rasa penasaran menuntunku masuk dan berjalan ke arah pojok gandhok[1]. Di bagian sudut–disangga semacam rak kayu berlubang–aku melihat tombak berdiri. Panjangnya melebihi tinggiku, bagian atasnya ditutupi beludru tebal berwarna merah yang warnanya mulai memudar. Tali pengikatnya terbuat dari kulit binatang berwarna coklat. Aku lepaskan tali pengikatnya dan kain penutup itupun terbuka.

Ujung tajam tombak terlihat, terbuat dari logam berwarna kuning dengan bintik-bintik kecil berwarna hitam di sekujur bagiannya–aku melihatnya seperti karat yang putus asa sebagai penanda usia tua. Di bagian bawah ujung tombak yang menjadi pengikat pada gagangnya, terlihat ukiran berbentuk padma[2] dan matahari. Gagang kayunya berupa kayu lonjong berwarna coklat kehitaman.

Bagian paling bawah gagangnya tak rata, bergerigi seperti dipatahkan dengan sembarangan dan tergesa. Aku mengamati tiap lekuk tombak sebelum menutup dan mengikat kembali kain merahnya. Di usia itu aku tak ingin tahu pada asal muasal tombak. Aku hanya penasaran pada keberadaannya yang seperti disembunyikan, juga gagangnya yang membentuk patahan tak beraturan.


ooOOoo


Bertahun-tahun aku melupakan tombak itu, apalagi setelah menikah dan memiliki anak, aku tak pernah masuk gandhok lagi. Sampai ketika anakku, Sikas Dipanagara–lima tahun usianya–membantu ibunya membersihkan gandhok dan mendapati tombak itu.

“Aku nemu tombak, Yah,” cerocos Sikas, “di gandhok, panjangnya segini,” katanya sambil membentangkan tangan, seolah tangan mungilnya mampu menyamai panjang tombak.

Aku memandang istriku, dia segera menyahut omongan putraku, “Dia hanya memegang tongkatnya, tak aku ijinkan membuka kain penutup ujungnya.” Aku lega, khawatir runcingnya ujung tombak melukai anakku.

Saat itulah aku teringat pada tombak patah. 

Lihat selengkapnya