Jangan Ganggu Mbah Kung di Bulan Oktober

Ferry Herlambang
Chapter #3

Bab 1: Tandak Bersenjata Tombak

Di tengah bara api, Kami menari-nari, menandak-nandak mengangkat tombak.


Tegalrejo, 1825

Di Tegalrejo, kemarau telah datang tetapi hujan masih enggan hilang. Datangnya kemarau hanya ditandai oleh mendidihnya darah Kanjeng Pangeran Diponegoro ketika patok-patok jalan tertancap di tanah makam leluhurnya. Orang-orang Kepatihan memasangnya tiba-tiba, tanpa ijin dan tanpa bicara apa-apa. Bagi orang yang terbiasa membaca tanda dan memahami tata krama, tindakan mereka mengisyaratkan sikap kurang ajar yang disengaja.

Semula patok-patok itu serupa garis lurus melintas dari Jogja ke arah Magelang melewati Muntilan. Tetapi Patih Danurejo membelokkannya ke arah tanah leluhur Kanjeng Pangeran. Niatnya terbaca, memberi arah pada runcingnya masalah.

Kanjeng Pangeran Diponegoro telah menahan sabar di sepanjang masa dewasanya, patok-patok di tanah leluhurnya jelas tindakan yang tak bisa diterima. Patok-patok segera dicabut, diganti tombak yang berdiri tegak, berderet-deret dengan ujung tajam menantang langit. Saatnya bagi Tegalrejo untuk membuka dada, menantang perang pada Belanda dan Kraton yang diwakili Kepatihan. Ujung tajam tombak itu menjadi isyaratnya.

Tak butuh waktu lama, bara yang terperam dalam sekam akan segera menyala, berkobar menjadi api yang menghanguskan pulau Jawa. Permusuhan Diponegoro dan Belanda tak dapat disembunyikan lagi. Sudah saatnya nanah di bisul yang memerah dikeluarkan, permusuhan harus segera diselesaikan.

Rabu, 20 Juli 1825. Langkah pertama pihak kraton dan Belanda membumihanguskan kediaman Diponegoro di Tegalrejo akan membuat Jawa tenggelam oleh darah, api dan air mata.


Begitu pula keluarga kami, sejarah panjangnya ditandai dari peristiwa ini.


ooOOoo


Panden besi, tepian Jogja

Suara besi ditempa, desisan besi menyala yang tersiram air dan teriakan para pandai besi menandai sibuknya panden[1] milik Panggulu. Panden di pinggiran kota Jogja itu tak pernah sepi. Sinem Panggulu–turunan kesebelas pande utama raja–mewarisi panden itu dari kakek moyangnya. Turun temurun berupa tempat yang dimantrai, tanah yang menumbuhkan berkah dan keterampilan menempa besi yang tak tertandingi.

Panggulu masih menyiapkan paron[2] ketika melihat seseorang datang–mengenakan udeng[3] rapat dan celana gombrong hitam–berjalan cepat menuju ke arahnya. Langkahnya tergesa melewati para penempa yang sedang membentuk besi. Lelatu[4] yang memercik seperti kembang api tak dihiraukannya, melentik mengenai punggung dan udeng yang melilit kepalanya. Dari tempatnya berdiri, Panggulu melihat lelaki itu seperti keluar dari gerbang api.

Panggulu segera mengenalinya lalu memberi tanda agar berjalan menuju belakang panden. Mereka memiliki ikatan saudara dan memiliki urusan yang orang lain tak boleh tahu.

“Ada kabar apa, Le?” tanya Panggulu setelah mereka duduk berhadapan.

“Semakin gawat, Kang,” jawab Rekso, napasnya terengah-engah sebelum meneruskan, “perang sepertinya tak terhindarkan.”

“Akupun berpikir begitu sejak awal. Sejak orang-orang dari Kepatihan memintaku membuat banyak ladam[5] dan memasangkannya pada kuda tempur mereka,” lanjut Panggulu.

“Bukan hanya di pandenku, beberapa panden lain juga mendapat pesanan yang sama. Setidaknya ada 50 ladam yang mereka minta. Aku telah memberitahu Kang Sidrap soal itu, apakah Kanjeng Pangeran telah menerima beritanya?” tanya Panggulu melanjutkan.

“Sudah, Kang. Setelah mendengar berita darimu, Kanjeng Pangeran segera mengungsikan para wanita, anak-anak dan orang tua.”

“Ada kejadian apa sekarang?”

“Kepatihan telah bertindak melampaui batas, mereka memasang patok-patok jalan melewati makam leluhur Kanjeng Pangeran,” lanjut Rekso. Panggulu diam mendengarkan. “Patok-patok itu tak seharusnya berada di sana, orang-orang Kepatihan sengaja membelokkannya.”

“Danurejo terang-terangan menantang perang …,“ desah Panggulu.

“Jelas, Kang. Itu yang dirasakan orang-orang Tegalrejo. Sekarang, semua orang bersiap menunggu datangnya perang.”

“Mereka–kraton, Kepatihan dan Kompeni–telah merencanakannya, apapun yang dilakukan Kanjeng Pangeran, perang tetap akan terjadi.”

“Sudah saatnya tanah Jawa babaran[6], Ratu Adil di rahimnya harus segera keluar,” sahut Rekso.

“Apalagi yang bisa aku bantu, Le?” tanya Panggulu. Kesetiannya pada Pangeran Diponegoro tak diragukan lagi. Dia bukan prajurit utama apalagi kerabat Kanjeng Pangeran. Panggulu hanyalah pandai besi yang muak dengan tingkah polah Kraton yang diwakili Kepatihan dan tak tahan lagi pada tekanan Kompeni yang semakin menjadi-jadi.

“Aku menyampaikan pesan dari Demang Joyomenggolo, beliau meminta ijin menjadikan tempatmu sebagai tempat pertemuan. Kelak jika memang dibutuhkan.”

“Tentu saja. Sampaikan hormatku pada beliau,” sahut Panggulu. Tentu saja Panggulu mengenal Demang Joyomenggolo, pemungut pajak dari selatan Jogja. Jawara dari semua jawara, tak ada yang menandingi keberanian dan kemampuannya meracik mesiu, menggalang uang dan mengumpulkan banyak orang.

Tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Rekso berdiri dan hendak pergi ketika Panggulu menegaskan pesan padanya, “Aku telah mengatakan ini pada kang Sidrap, aku ulangi lagi agar jangan sampai terlewat. Sampaikan pada Kanjeng Pangeran. Setidaknya 50 pasukan berkuda akan datang menyerang.”

Rekso mengangguk, merapikan udeng di kepalanya lalu melangkah ke arah pintu keluar.


ooOOoo

 

Tegalrejo menjelang sore, kediaman Kanjeng Pangeran

Raden Tumenggung Sindunegoro II dan Mas Ario Manduro berdiri gagah di atas kudanya. Di belakangnya, 50 pasukan berkuda–25 dragonder[7] dari keraton dan 25 hussar[8] kompeni Belanda–sedang bersiap dengan senapannya. Hanya perlu sekedipan tanda, maka peluru-peluru akan melesat ke arah musuh mereka. Kuda-kuda tempur mereka meringkik menunggu aba-aba.

Di sisi yang berbeda, Asisten Residen Chevallier dan Letnan Kavaleri Jean Nicolaas de Thierry bersama 50 orang pasukan jalan kaki mengambil sikap yang sama, menunggu aba-aba untuk menarik pelatuk senapan yang sudah terarah pada lawan.

Kedua pasukan telah rapat mengepung kediaman Diponegoro. Arah utara, selatan dan timur telah ditutup rapat. Bagian barat berupa tembok tebal yang mustahil ditembus, Chevallier merencanakan tempat itu sebagai tempat untuk menyudutkan Diponegoro dan pasukannya. Perintah Patih Danurejo tegas dan jelas: tangkap Diponegoro!

Tanda itu-pun datang. Tumenggung Sindunegoro mengangkat pedang tinggi-tinggi lalu menyabetkannya ke arah bawah. “Tembak!”

Suara senapan menyalak, asap mesiu berwarna putih menyeruak membentuk rupa awan dan menutupi pasukan. Bau mesiu berubah menjadi bau kematian ketika terdengar jeritan dari arah pasukan lawan. Pelor-pelor itu telah menembus tubuh musuh.

Di pihak seberang, pasukan Diponegoro merangsek melompati pagar, menerobos tanaman dan merembes dari sela-sela tembok menyerbu ke arah para penyerang. Hari itu dua seteru bertemu, dengan bilah senjata di tangan. Pertempuran jarak pendek adalah peperangan paling kejam. Mereka dapat melihat beringasnya mata lawan sekaligus layunya mata itu menjelang ajal, mereka dapat mendengar jerit kesakitan, deru napas dan mencium bau tubuh lawan yang sedang sekarat.

Lihat selengkapnya