Jangan Ganggu Mbah Kung di Bulan Oktober

Ferry Herlambang
Chapter #4

Bab 2: Siapa Tuan, Siapa Suruhan

Mantra kami tuah perbuatan. Tanah kami terlindungi do’a dan kebajikan.


Di rumah Simoweling, suara petir salah musim masih meninggalkan sisa berupa pucat pasi di wajah Katemi. Mati-matian dia menenangkan istrinya. Tubuh besar Katemi–yang tak kalah besar dengan suaminya–berguncang-guncang. Simoweling berusaha memeluk tetapi perut mereka saling tumbuk.

“Pergilah ke rumah judi, tenangkan dirimu di sana,” kata Simoweling sambil memadatkan tembakau di rokok klobotnya. Dia tahu, Katemi selalu tenang berada di rumah judinya, tapi tidak kali ini.

“Petir tadi, pertanda apa itu, Kang?” suara Katemi masih bergetar. Simoweling hendak menimpali ketika mendengar suara derap kaki kuda dan teriakan di jalanan depan rumahnya. Dari ruang tamunya, Simoweling melihat debu beterbangan, tebal berputar seperti diterjang angin besar. Dari sela-sela debu yang mulai menghilang, bermunculan prajurit-prajurit yang berusaha menenangkan kuda mereka.

“Prajurit Kepatihan, Kang,“ kata Katemi lirih, dia hapal seragam mereka, “seperti tergesa-gesa, apa yang terjadi?”

“Entahlah, Ni,” Simoweling berdiri, tangannya menunjuk pada salah satu prajurit berkuda yang dikenalnya, “itu Wiroboyo ada bersama mereka.”

“Pertanda tadi. Mereka tahu yang kita lakukan, Kang. Mereka akan menangkap kita!” bergetar suara Katemi. Simoweling diam tak menanggapi.

Wiroboyo–prajurit dan “teman usaha” mereka–masuk ke pekarangan rumah, meloncat turun dari kuda lalu berjalan ke ruang tamu menemui Simoweling.

“Kami membutuhkan halaman rumahmu,” suaranya memerintah, “kosongkan segera, suruh buruhmu memindahkan semua tembakau dan barang-barang ke belakang.”

“Ada apa, Ndoro?” Simoweling mencoba bertanya.

“Lakukan perintahku, jangan bertanya!” teriak Wiroboyo.

Simoweling menciut, semakin kecut ketika melihat dua tentara Belanda berkuda masuk ke halamannya. Simoweling meletakkan rokok klobotnya lalu berteriak pada buruh-buruhnya. Sekejap saja semua tumpukan tembakau dan semua barang dipindahkan ke gudang belakang.

Kediaman Simoweling berubah menjadi tangsi sementara. Tenda, meja-meja dan pos jaga berdiri sebelum tengah malam. Para prajurit Belanda pergi, meninggalkan Wiroboyo dan anak buahnya.

Satu kompi, dua puluh lima orang jumlah mereka.


ooOOoo


Panden Panggulu berada di tepi jalan utama, pekarangannya luas ditumbuhi tanaman tua di mana-mana. Sebagian besarnya randu alas berusia ratusan tahun yang lingkar batangnya melebihi dekapan dua orang dewasa. Di sela-selanya tumbuh trembesi yang usianya tak kalah tua, begitu juga besar batangnya. Bagian depan halaman–yang mencolok mata–berdiri dua pohon sawo kecik di sisi kanan dan kiri.

Panden berada di bagian tengah pekarangan, mengisyaratkan pentingnya bangunan itu bagi pemilik rumah, sedangkan rumah utama berada di bagian belakang. Keduanya dipisahkan oleh pagar bata setinggi dada dan tersambung oleh jalan setapak. Komplek rumahnya tak berpagar, Panggulu tak pernah khawatir ada orang jahat memasuki tanahnya. Kata orang, tanah itu telah bercampur dengan banyak do’a dan kebaikan nenek moyangnya.

Malam ini Panggulu masih berada di ruang gambar, catatan di depannya berisi coretan banyak laporan dan rencana. Sehari setelah penyerangan kediaman Kanjeng Pangeran, beberapa orang datang menemuinya dengan banyak perintah dan permintaan. Kabar berdatangan, simpang siur oleh paniknya keadaan. Panggulu harus menata ulang dan merapikannya. Dia memiliki kemampuan untuk menyederhanakan rumitnya keruwetan dan merapikan sulur-sulur yang berantakan.

Tak salah jika Demang Joyomenggolo memilih dirinya sebagai pusat lalu-lalang bagi orang-orang perlawanan pendukung Kanjeng Pangeran Diponegoro.

Malam yang tanpa suara terusik oleh suara lembut, seperti pasir yang digerus pelan. Panggulu menegakkan kepala, memasang telinga ketika mendengar derap lembut kaki kuda, penanda sang pengendara sedang berhati-hati pada kehadirannya.

Pelahan-lahan dia berjingkat ke arah depan, mengintip dari sela-sela dinding bambu. Dari tempatnya berada, Panggulu dapat melihat seorang laki-laki–tinggi besar dengan blangkon yang mencolok–duduk di atas punggung kuda. Berdiri beberapa depa[1] di depan pintu.

Panggulu mencabut kerisnya. Pintu terbuka dan dia segera berhadapan dengan lelaki yang masih berada di punggung kuda. Panggulu tercekat, badannya terasa kaku dan tangannya yang memegang keris meluruh layu.

Panggulu mengenali lelaki itu.


ooOOoo


Hampir subuh ketika Karto Sidrap selesai menggosok punggung Gagak Carang, kuda hitamnya. Surai di sepanjang punggung kepalanya telah disisir rapi dan masih basah oleh sisa air. Berkali-kali Gagak Carang meringkik tanda senang. Pelana dan tali kekang telah dipasang padanya.

Bagi Sidrap, Gagak Carang bukan sekedar kuda peliharaan. Dia seperti teman baginya. Sidrap mendapatkannya dari temannya Wiryo sebagai kuda kecil yang hampir mati. Kurus kering dengan sinar mata yang menyedihkan. Lalu dia dan Lasmi merawatnya dengan sepenuh hati, begitu pula Ratri. Mereka tak menyangka bayi kuda itu tumbuh menjadi segagah sekarang. Sinar matanya terang, luka-luka di sekujur tubuhnya tersisa sebagai guratan tak beraturan, menambah gagah penampilannya.

Dari Gagak Carang-lah Sidrap paham cara menyayangi dan memperlakukan kuda. Sidrap seperti memiliki kemampuan berbicara dengannya. Tak heran, saat berkumpul di Tegalrejo beberapa kali dia diminta menginap untuk merawat Kyai Gentayu, kuda kesayangan Kanjeng Pangeran Diponegoro.

“Apa yang harus kita lakukan, Kang?” tanya Lasmi yang tiba-tiba berada di belakangnya. Ratri menyusul di belakangnya, membawa rinjing[2] untuk ramban[3] sayuran di kebun.

“Kita tunggu kabar, Ni. Sehari dua hari ini, setelah itu aku akan ke Jogja melaporkan apa yang terjadi di sini,” jawab Sidrap.

“Aku paham, Kang,” sahut Lasmi, “kalau kau mengijinkan, aku ingin bergabung dengan laskar keputrian,” lanjut Lasmi.

“Aku juga, Kang. Aku ingin bergabung kalau kau mengijinkan,” sahut Ratri. Perempuan yang baru tumbuh dewasa ini nyalinya sebesar singa.

“Tak semua prajurit harus berada di garis depan,” kata Sidrap, matanya bergantian menatap ke arah Lasmi dan Ratri sebelum melanjutkan, “pergerakan membutuhkanku sebagai mata-mata, dan aku membutuhkan kalian di sini.”


ooOOoo


“Kanjeng Demang …,“ ucap Panggulu sambil menghaturkan sembah. Demang Joyomenggolo berada di hadapannya, gagah berwibawa di atas kuda hitamnya. Panggulu pernah bertemu dengannya di Tegalrejo. Hanya sekali dan itupun dari kejauhan, setelahnya dia hanya mendengar nama dan reputasinya saja. Bertemu dengannya dari jarak sedekat ini, Panggulu merasakan wibawa yang luar biasa.

Demang Joyomenggolo turun dari kuda, lembut tanpa suara seperti hantu yang melayang. Panggulu sedilit mundur memberi ruang pada Demang.

“Kita bicara di dalam, Kang,” kata Demang sambil menambatkan tali kuda, lalu melangkah ke arah dalam. Sikapnya sopan tetapi tegas tak bisa ditolak. Panggulu mengikutinya, seolah Demang-lah tuan rumahnya.

“Aku punya banyak tugas buatmu, Kang,” kata Demang setelah mereka berada di dalam.

“Apapun, Kanjeng. Saya akan laksanakan.”

“Aku tahu kamu mampu membuat apa saja, mampu menjadikan sebutir pasir besi menjadi sabit paling tajam. Aku sering mendengarnya,” lanjut Demang. “Sekarang aku ingin kau membuat alat-alat bersawah, tetapi bukan alat yang biasa.”

“Inggih, Kanjeng. Alat macam apa yang Kanjeng inginkan?”

Lihat selengkapnya