Di majelis judi, harga diri dijatuhkan, dikubur dalam-dalam di perut bumi.
Wiryo bukannya tak tahu berterima kasih. Bertahun-tahun yang lalu ketika dirinya masih menjadi lelaki dengan harga diri, penampilannya berwibawa layaknya priyayi. Banyak hal dimilikinya; rumah besar, puluhan tumbak[1] sawah, ternak-ternak dan banyak kuda hebat. Saat itu dia sering bertandang ke rumah Sidrap, bercengkrama sampai larut malam, berbagi cerita dan membuat banyak rencana.
Dari Sidrap, Wiryo belajar cara membuat jaringan dan mendapatkan banyak uang, sayangnya dia tak pernah belajar cara mengaturnya. Wiryo lebih menyukai kesenangan sesaat daripada berpikir tentang masa depan apalagi urusan akhirat. Saat Sidrap menghadiri kumpulan dan pengajian, Wiryo lebih menyukai hadir di majelis judi.
Pelahan-lahan harga dirinya menguap hilang ketika kesukaannya pada judi menjadi tak tertahankan. Sekejap saja rumah besar, sawah luas, hewan ternak dan kuda-kudanya hilang. Mengalir deras berpindah ke meja-meja judi. Wiryo segera mendapati dirinya sebagai lelaki telanjang yang tak memiliki apa-apa.
Pertemuan terakhirnya dengan Sidrap saat menjual kuda kecil yang baru lahir. Dia tak berharap ada yang mau membeli kuda itu, tetapi Sidrap mengambil dan membayarnya seharga kuda dewasa. Sidrap paham kesulitan sahabatnya.
“Aku beri nama Gagak Carang,” kata Sidrap saat itu, “penanda bagi bulu hitam dan luka-luka karena goresan carang[2] di sepanjang tubuhnya.”
Gagak Carang lahir di barongan[3] bambu. Mbrojol[4], berguling dan terbelit semak lalu tergores tajamnya duri carang. Luka-luka menggurat di sepanjang tubuhnya. Saat itu Wiryo telah kehilangan segalanya, hanya tersisa seekor kuda bunting yang anaknya dibeli Wiryo.
Setelah itu, Wiryo tak pernah menemui Sidrap lagi. Bukan karena tak tahu terima kasih, tetapi dia malu dengan keadaan dirinya. Bertahun-tahun setelah pertemuan terakhir itu dia mendapati dirinya semakin terpuruk.
Tetapi sekarang–untuk kedua kalinya–dia tak punya pilihan lain. Hanya pada Sidrap-lah dia berharap mendapat pertolongan. Wiryo semakin telanjang, harga dirinya terasa hilang.
ooOOoo
Ruang gambar di Panden Panggulu tak lagi terbuka. Dia memasang grendel besar di pintunya, isyarat jelas agar tak sembarang orang masuk ke dalamnya. Pagi ini Panggulu memanggil Rekso masuk ke dalam.
“Aku telah mengatur banyak hal,” kata Panggulu, “mulai sekarang tugasmu bukan di panden. Kau dibutuhkan di banyak tempat.”
“Apapun yang Kang Panggulu perintahkan, saya siap,” sahut Rekso.
“Semalam Demang Joyomenggolo menemuiku,” lanjut Panggulu sambil mencari-cari sesuatu di antara catatan yang berserakan di atas meja.
Rekso tak menyangka Demang datang tanpa mengutus orang. Sekarang dia paham betapa besar urusan yang ditanggung Panggulu. Rekso menahan diri untuk tak bertanya, khawatir melewati batas sopan santun sebuah rahasia.
“Beliau menyuruhku membuat alat-alat biasa yang bisa diubah menjadi senjata,” lanjut Panggulu. Dia mengambil sebuah catatan berisi banyak gambar lalu menunjukkannya pada Rekso, “aku telah membuat rancangannya.”
Rekso melihat gambar itu, dia tak meragukan kemampuan saudaranya. Sekilas saja dia mampu memahami cara kerja alat di gambar itu.
“Hari ini aku akan memulainya, membuat di sela-sela pekerjaan lain untuk menghindari kecurigaan orang Kepatihan,” lanjut Panggulu.
“Apa tugasku sekarang, Kang?” tanya Rekso.
“Pergilah ke jalanan atau hutan-hutan, cari kabar tentang Kanjeng Pangeran. Kumpulkan juga berita-berita dari jalanan dan teman-temanmu. Berita apa saja.”
Omongan Panggulu seperti perintah. Rekso paham dan tak membantah, dia segera membereskan barang-barang dan tak lama kemudian kudanya melesat menuju jalanan.
ooOOoo
Wiryo sampai di jalanan utama desa saat pagi masih gelap dan kabut masih menggantung. Dari jalan utama, dia berbelok ke jalan setapak lalu menerobos semak-semak melewati beberapa tegalan sebelum sampai di belakang rumah Sidrap.
Agak lama Wiryo berdiri di depan pintu belakang, ada rasa segan tetapi tak ada pilihan lain selain mengetuk pintu yang telah bertahun-tahun tak dikunjunginya. Wiryo merasa dirinya sedang pulang.
“Assalamualaikum …. “ panggilnya pelan. Tak ada jawaban, Wiryo mengulanginya lebih keras. Lalu suara langkah kaki terdengar. Wiryo merasakan gugup yang tiba-tiba datang.
“Wa’alaikum salam,” suara perempuan, Wiryo menduga itu suara Lasmi. Entah apa yang akan dikatakannya ketika pintu terbuka.
Seorang perempuan muda membukakan pintu. Bukan Lasmi, Wiryo hampir tak mengenalinya ketika akhirnya sadar perempuan muda itu adalah Ratri, bocah kecil yang dulu sering diajaknya keliling naik kuda. Wiryo memutuskan untuk menjadi orang asing bagi Ratri.
“Cari siapa, Kang?” sapa perempuan itu pelan. Suaranya lembut sopan.
“Kangmas-mu ada? Kangmas Sidrap,” jawab Wiryo. Matanya senang melihat gadis kecil itu tumbuh dengan kesopanan, persis seperti Sidrap.
Ratri memandang lelaki di depannya. Dia segera mengenali lelaki itu. Penampilannya jelas berbeda tetapi suara Wiryo akrab bagi telinganya.
“Kang Wiryo? Astagfirullah, Kang. Aku hampir tak mengenalimu,” Ratri setengah berteriak, tubuhnya berjingkrak tanda senang. Persis seperti dulu ketika Wiryo bertandang dan membawakannya jajanan.
Wiryo merasa lega, Ratri masih mengenalinya. Tetapi dalam hatinya dia berharap mereka bertemu di kondisi yang berbeda.
“Masuk, Kang. Aku panggilkan Kang Wiryo,” sahut Ratri yang segera berbalik ke arah dalam meninggalkan Wiryo. Dulu, Wiryo akan segera masuk ke dalam tetapi sekarang ada perasaan segan. Wiryo memilih menunggu di depan pintu.
Tak lama muncul seorang lelaki. Sidrap berjalan ke arahnya, tersenyum, membuka tangan lalu memeluk Wiryo yang masih berdiri di depan pintu.
“Apa kabarmu, Kang?” Wiryo membalas pelukan Sidrap dengan erat. Ada perasaan hangat yang tiba-tiba datang.
“Baik, Kang. Apa kabarmu?” balas Sidrap dengan pelukan yang sama eratnya. Sidrap merasakan sesuatu yang berbeda, bau wangi sahabatnya telah hilang. Sidrap paham Wiryo sedang mengalami kesusahan.
“Kenapa berdiri di depan pintu? Masuk!” Seru Sidrap tak dapat menahan rasa gembiranya. “Ratri, buatkan kopi buat kangmasmu.”
“Di sini saja, Kang,” balas Wiryo. Mereka segera duduk di lincak bambu.
“Itu Gagak Carang?” tanya Wiryo, jarinya menunjuk kuda hitam yang sedang merumput di pinggir tegalan. Sidrap mengangguk. Gagak Carang merasa dirinya sedang diperhatikan, dia menengok dan meringkik pelan.
Mereka saling menanyakan kabar. Ratri datang dengan senampan panganan dan seteko kopi, uap dan harumnya menebar. Ratri berbicara sebentar sebelum kembali ke dalam.
“Kamu sungguh berubah, Kang Wiryo,” kata Sidrap. “Aku tak ingin bermaksud kurang ajar, tapi sebagai teman dan saudara aku ingin tahu apa yang terjadi denganmu selama ini? Kau seperti hilang tak ada kabar.”
Wiryo terdiam, bagian tersulit baginya adalah datang meminta bantuan.
“Jangan ragu, Kang. Kau bisa bercerita apa saja padaku,” sambung Sidrap.
Wiryo mulai bercerita. Panjang lebar, sesekali menyeruput kopi dan melahap jajanan. Sidrap mendengarkan penuh perhatian. Wiryo kembali terdiam, belum mampu melanjutkan pokok cerita.
“Sekarang, Kang. Katakan padaku, apa yang bisa aku bantu?” desak Sidrap sesaat setelah mereka saling diam.
Wiryo menarik tubuhnya ke belakang sebelum melanjutkan omongan.