Jangan Ganggu Mbah Kung di Bulan Oktober

Ferry Herlambang
Chapter #6

Bab 4: Mufakat Musang dan Ular

Bagi Simoweling dan Katemi, meja tak boleh kosong oleh tumpukan makanan. Seperti pagi ini dan pagi-pagi sebelumnya, meja ruang tamunya berdesakan oleh nampan-nampan berisi penganan, sela-sela kosongnya dijejali cangkir-cangkir minuman.

Sejak pagi keduanya duduk berdampingan di kursi panjang sambil menatap pelataran, melihat meja-meja ditata dan senjata-senjata yang disita Wiroboyo dijajar di belakangnya.

Setengah penganan di mejanya hampir habis ketika penduduk mulai datang menghadap Wiroboyo, mengambil senjatanya lalu pulang. Wiroboyo berada di meja utama pos penjagaan, angkuh menjalankan kuasanya. Tak lama penduduk berdatangan, duduk bersimpuh membentuk antrian.

“Itu Kang Sidrap datang …,“ bisik Katemi pada Simoweling, jari besarnya menunjuk ke arah Sidrap yang sedang berjalan lalu duduk bersimpuh di deretan paling belakang.

Simoweling tak menjawab, mulutnya sibuk mengunyah penganan.


ooOOoo


Antrian memaksa Sidrap duduk beralas tanah. Tak ada yang lebih menjengkelkan bagi Sidrap selain duduk bersimpuh pada musuh. Sejak semula, Sidrap telah menandai Wiroboyo sebagai kaki tangan Kompeni. Pun pada Simoweling, dia menandai mereka berasal dari kumpulan yang sama.

Pagi hampir hilang ketika Sidrap mendapatkan giliran, dia segera berdiri dan duduk di depan Wiroboyo.

“Keperluanmu?” tanya Wiroboyo singkat.

“Saya ingin mengambil pusaka keluarga, Ndoro,” jawab Sidrap, “tombak dengan hiasan bunga padma dan matahari di bagian pengikatnya.”

Wiroboyo menoleh pada prajuritnya, “Ada tombak yang kalian sita?”

Dua prajurit di belakangnya memeriksa barang-barang sitaan lalu menjawab hampir bersamaan, ”Tak ada tombak di sini, Ndoro.”

Sidrap terkesiap, kepalanya mendongak. Mereka pasti kurang teliti, batinnya.

“Kemarin Ndoro sendiri yang membawa tombak keluarga saya …,“ ucapan Sidrap terhenti ketika Wiroboyo berdiri, mendelik dan meninggikan nada suara, “Kau menuduh prajurit kepatihan mencuri tombakmu?”

Sidrap menata duduknya mencoba bersikap tenang. Mustahil Wiroboyo melupakan tombak yang disitanya. Sidrap segera paham, seseorang sedang mengakalinya. Pikirannya bermuara pada dua orang; Wiroboyo atau Simoweling.

“Tidak, Ndoro,” sahut Sidrap, sudut matanya mencoba melihat tumpukan barang sitaan. Hanya tumpukan keris dan senjata-senjata pendek. Tombaknya pasti akan terlihat mencolok jika berada di sana.

“Beruntung tombak itu tidak ada di sini,” lanjut Wiroboyo, “kalau aku menemukan tombak itu, aku tak segan-segan menyeretmu ke Kepatihan dan mengganduli kakimu dengan bola besi!”

“Sekarang pulanglah, tak ada lagi yang bisa kau lakukan di sini,” lanjut Wiroboyo. Suaranya tajam seperti mengancam.

Tak ada pilihan, Sidrap segera balik badan dan kembali ke rumahnya. Otaknya berputar-putar mencari kemungkinan keberadaan tombak pusaka keluarganya. Merangkai semua cerita yang terjadi sebelumnya.

Tak perlu waktu lama, Sidrap dapat menduga siapa pelakunya.


ooOOoo


“Kang Sidrap pulang,” kata Katemi setengah berbisik. Dia melihat Sidrap berjalan keluar dari pos jaga, berjalan tergesa kembali ke arah rumahnya.

“Aku melihatnya, Ni,” balas Simoweling dingin, tangannya memilin-milin klobot agar tembakaunya padat.

“Langkahnya seperti orang marah,” lanjut Katemi.

“Apa yang kau harapkan? Dia kehilangan tombak pusaka keluarganya,” enteng suara Simoweling. Mulutnya mengekeh aneh.

Katemi mengikik menyahuti, tangannya ringan mencubit perut suaminya, “kau cerdik, Kang. Sekarang pikirkan cara mengambil tanah mereka.”

“Aku sudah memikirkannya. Kemarin aku sudah memberikan omongan pembuka pada Lasmi, hari ini aku akan bicara langsung pada Kang Sidrap.”

“Aku percaya padamu,” kata Katemi sambil mengangkat tubuh besarnya dari kursi, “Aku berangkat ke rumah judi sekarang. Bisa-bisa uangku hilang kalau tak diawasi.”

Pagi ini hari yang menyenangkan bagi Simoweling dan Katemi. Rencana-rencana mereka berjalan seperti seharusnya.


ooOOoo


Belum pernah Lasmi melihat air muka suaminya seperti ini. Campuran antara marah, sedih dan berusaha tabah.

“Tombak itu tak ada di tumpukan barang sitaan mereka, Ni,” kata Sidrap, suaranya bergetar. Dia terduduk lemas di kursi ruang tamu.

“Bagaimana bisa, Kang? Jelas-jelas mereka menyitanya kemarin,” sahut Lasmi.

“Mereka tak mengakuinya,” lanjut Sidrap, “aku menduga mereka memang sengaja mengambilnya.”

“Untuk apa? Prajurit Kepatihan mempunyai ratusan tombak yang lebih bagus dari punya kita,” sergah Lasmi.

“Bukan orang kepatihan yang mengambilnya ….“ sahut Sidrap, “ada orang di balik semua tindakan mereka.”

“Siapa kang?” Lasmi penasaran.

“Simoweling,” lanjut Sidrap, “dia pernah berniat membeli tombak itu.”

Wajah Lasmi memerah. Ketidaksukaannya pada lelaki itu tak tertutupi lagi. Di depan Sidrap, Lasmi berusaha menekan dalam-dalam kemarahannya.

“Untuk apa, Kang?” Lasmi belum mengerti.

Lihat selengkapnya