Musang kalah perang. Ekornya terselip di sela-sela kaki belakang.
Betapa rapuhnya manusia ketika berhadapan dengan dunia.
Wiryo pernah berada di gunung tinggi, hidup nyaman dengan banyak pelayan. Lalu jatuh ke lubang bumi. Saat ini, dia tak peduli dengan letak dan posisi, Wiryo hanya bersemangat menjalani, melebihi hari-hari ketika dirinya tenggelam di rumah judi.
Bagi Wiryo, tak ada pekerjaan yang sulit di tempat Simoweling, hanya hal-hal sederhana yang menguras tenaga. Entah berapa lembar tembakau telah dirajang dan diikat, tak terhitung pula ikatan yang telah diangkat dan ditumpuknya. Otot di tubuh Wiryo membengkak, kulitnya terasa panas dan telapak tangannya mulai kebas. Sebelum tengah siang, Wiryo telah terbiasa dengan pekerjaan kasarnya, mulai paham arti teriakan Simoweling dan tahu cara menikmati makan siang yang tak sedap di lidahnya.
Meski begitu, uluran tangan Sidrap sangat berarti baginya. Wiryo tak peduli kasarnya pekerjaan yang dia jalani sekarang ini. Setidaknya dia mampu mengangkat dagu, kembali menjadi lelaki dengan harga diri. Kehormatan tertinggi baginya menjadi bagian dari perlawanan, meninggalkan judi yang membuatnya berhutang dan kehilangan nilai sebagai laki-laki.
Untuk semua naik turun kehidupannya, Wiryo berterima kasih pada Sidrap.
ooOOoo
Sidrap berangkat menuju Panden Panggulu tepat setelah salat subuh. Gagak Carang berlari seperti terbang dan sebelum keramaian datang, Sidrap telah berada di depan Panggulu, menceritakan banyak peristiwa dan tentang masalah tanahnya.
“Ini bukan sekedar tanah, Kang,” kata Panggulu setelah mendengar cerita Sidrap. “Aku melihat hal yang lebih besar.”
“Apa yang luput dari penglihatanku, Kang?” tanya Sidrap.
“Siasat perang. Jalanan di depan rumahmu menjadi jalur bagi lalu-lalang kaum pergerakan. Rekso-pun sering melalui jalan itu,” terang Panggulu.
Sidrap takzim mendengarkan. Panggulu memang hebat urusan strategi, tak diragukan lagi. Selain Rekso, pasti banyak kegiatan pergerakan yang melewati depan rumahnya tanpa dia ketahui.
“Saat ini, rumahmu menjadi keunggulan bagi kami. Kami bisa mengawasi pos mereka. Apalagi setelah kau menanam mata-mata di rumah Simoweling, keuntungan kita berlipat ganda,” lanjut Panggulu, “kalau mereka sampai membeli tanahmu dan membangun pos di sana, keuntungan akan berbalik.”
Sidrap mulai paham, tetapi memilih diam menunggu Panggulu meneruskan omongannya.
“Aku perlu menemui Ki Demang Joyomenggolo. Beliau yang akan menangani Wiroboyo. Aku mengenal keduanya, merekapun saling kenal. Aku yakin Ki Demang mampu menekan Wiroboyo.”
Sidrap melihat harapan. Wiroboyo terlalu besar untuk dilawan olehnya, tetapi tidak bagi Demang Joyomenggolo.
“Aku mengerti, Kang,” timpal Sidrap.
“Aku memiliki catatan, aku memetakan semua jalur-jalur perlawanan. Untuk saat ini, tanah dan rumahmu tak boleh lepas. Terlalu berharga untuk perlawanan ini, Kang,” tegas Panggulu.
Sidrap tak menyangka, Panggulu telah mengatur begitu banyak orang dan urusan. Menata rapi dalam catatan dan mengatur tiap gerak perlawanan.
“Inggih, Kang. Apa yang harus aku lakukan untuk saat ini?”
“Urusan tanahmu, kau tak perlu melakukan apa-apa lagi. Biarkan Ki Demang yang membereskannya. Lanjutkan kegiatanmu seperti biasa, temui mata-matamu setiap hari dan kumpulkan omongannya yang berguna.”
Sidrap mengangguk. Keteraturan perlawanan membuatnya merasa tenang.
“Kalau tak ada urusan lagi, kau boleh pergi,” lanjut Panggulu, nadanya tegas, matanya masih tertuju pada banyak catatan yang berserakan di atas mejanya.
“Inggih, Kang. Terimakasih sudah membantu urusanku,” sahut Sidrap, ”aku pamit sekarang.”
Sidrap keluar dari panden Panggulu dengan perasaan tenang. Dia memacu kudanya dan berencana menemui Wiryo di perjalanan pulang.
ooOOoo
Bagi Simoweling, urusan keinginan menjadi hal yang harus dipenuhi segera. Seperti pagi ini, sesaat setelah Katemi pergi menuju rumah judi, dia bergegas menuju kediaman Sidrap. Sekedar melintasi jalan membuat napasnya tersengal, dia menghitung langkah sebelum sampai di depan pintu dan mengetuknya.
Suara langkah kaki terdengar lalu Lasmi muncul di depannya, “Ada apa, Kang? Kang Sidrap sedang pergi ke kota,” tinggi suara Lasmi menunjukkan rasa tak suka.
“Aku ingin membicarakan tentang tanah, Yu,” kata Simoweling, suaranya bergantian dengan engahan yang mengganggu kuping.
“Kau tahu aku tak bisa memberimu keputusan apa-apa soal itu, kau tunggu saja kang Sidrap.”
“Aku tahu, aku hanya ingin mengingatkan saja tentang kerasnya Wiroboyo menginginkan tanahmu,” lanjut Simoweling. “Boleh aku duduk, Yu?” tanya Simoweling, dia tak menunggu jawaban ketika menyeret tubuh tambunnya ke arah lincak[1] panjang dan menghempaskan tubuhnya di sana.
Lasmi tak ingin berlama-lama bicara dengan Simoweling, dengan enggan dia duduk di kursi bambu di seberang Simoweling, dipisahkan meja kayu.
“Katakan, Kang,” lanjut Lasmi, “aku sedang menyirami tegalan, keburu panas datang dan airnya tak bisa dihisap tanaman.”
“Begini, Yu,“dengus napas Simoweling menderu, “Wiroboyo bicara padaku semalam, mereka membutuhkan tanahmu untuk pos prajurit kepatihan. Kalian setuju atau tidak, mereka akan tetap mengambil tanahmu.”
Lasmi sudah mendengar kalimat-kalimat itu sebelumnya, dia tak menanggapi dan memilih menunggu Simoweling melanjutkan omongannya.
“Katakan pada Kang Sidrap, jika dia mau menjualnya sekarang, mereka akan membayarnya dengan harga yang pantas. Tetapi jika Kang Sidrap keberatan, maka status tanah akan menjadi tanah sitaan, dan ganti ruginya tak seberapa.”
“Nanti aku sampaikan pada Kang Sidrap soal itu,” sahut Lasmi, “sekarang aku harus melanjutkan pekerjaanku, kasihan Ratri bekerja sendirian.”
Simoweling tersenyum, tujuan utamanya pagi ini berbicara tentang Ratri. Lasmi membuatnya melihat ada celah, dia tinggal melanjutkan ucapan Lasmi tentang Ratri.
“Tentang Ratri, apa kabarnya Cah Ayu itu, Yu?” sela Simoweling, tak peduli pada bahasa tubuh Lasmi yang memberi tanda tak senang.
Lasmi mendengus lagi, memberi jawaban sekenanya, “Baik, Kang.”
“Aku ingin berterus terang padamu, Yu. Tentang Ratri,” Simoweling telah mengumpulkan nyali, sekarang saatnya untuk memberanikan diri, “tak terpikirkan olehmu usianya sudah layak menikah?”
Jantung Lasmi berdetak kencang, ucapan Simoweling seperti suara petir.
“Kalau kau dan Kang Simo tak keberatan, aku ingin meminang Ratri,” lanjut Simoweling.
Jantung Lasmi terasa berhenti. Darahnya memanas lalu mukanya memerah. Lasmi menganggap permintaan Simoweling sebagai sikap kurang ajar yang keterlaluan. Lasmi menarik napas panjang, mengumpulkan kesabaran yang mulai hilang.
“Soal itu, Kang. Bicaralah dengan Kang Sidrap,” balas Lasmi, dia berdiri sekarang, “sekarang aku harus melanjutkan pekerjaanku sebelum matahari semakin tinggi dan tanaman di tegalanku meranggas mati.”
“Sampaikan saja pada Kang Sidrap soal Ratri, aku akan menyambungnya nanti,” kata Simoweling sambil berdiri, kedua tangannya menumpu meja dan pelan-pelan tubuh tambunnya berdiri.
“Aku pamit, Yu. Matursuwun,” Simoweling meninggalkan Lasmi. Lasmi tak peduli, dia segera masuk rumah dan menutup pintu.
Bau tubuh Simoweling selalu membuat Lasmi mual.
ooOOoo
Malam pertama setelah seharian bekerja, Wiryo merasa badannya remuk. Ototnya belum terbiasa bekerja sekeras ini. Seharian dia merajang, mengikat lalu menumpuk ikatan daun tembakau. Bertumpuk-tumpuk jumlahnya. Tak berhenti hampir tanpa jeda sejak pagi. Hari ini dia harus mengatur ulang cara bergerak dan berjalan.
Wiryo menerima takdirnya, dia menganganggap sedang membersihkan diri. Tawaran Sidrap telah mengembalikan sedikit kehormatan yang hilang darinya. Wiryo ambruk di pembaringannya dan hampir memejamkan mata ketika mendengar ketukan di pintu rumahnya.
“Siapa?” teriaknya.
“Aku, Kang. Sidrap.”