Jangan Ganggu Mbah Kung di Bulan Oktober

Ferry Herlambang
Chapter #8

Bab 6: Trah

Di tengah hiruk-pikuk perang dan kematian, kabar menyenangkan sesekali datang.


Pagi hari menjadi waktu yang tak menyenangkan bagi Lasmi. Baru saja dia memetik sayuran dan menyiapkan air siraman, tiba-tiba sesuatu yang tak mengenakkan mendorong ulu hatinya. Mendesak-desak memaksa keluar. Rasanya menyebalkan, baru akan terasa lega setelah dia berhasil memuntahkan isi perutnya, sampai bersisa air, kadang hanya lendir kuning.

Sialnya kejadian seperti itu tidak hanya terjadi hari ini, tetapi setiap hari dan makin menjadi-jadi, muncul di waktu pagi tepat setelah Lasmi membuka mata. Rasa mualnya datang dan pergi tak berkesudahan.

Beruntung Ratri selalu ada di sampingnya, sigap mengurutkan minyak rempah ke punggung dan lehernya. Berulang kali Ratri bertanya, “Kau tidak apa-apa Yu? Wajahmu pucat sekali.”

Lasmi hanya menggelengkan kepala. Sejujurnya dia pun tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan dirinya. Lasmi hanya bisa menduga, “Sepertinya aku masuk angin, Nduk.”

Meskipun ada juga sebentuk curiga di hatinya. Tanda-tanda ini semakin jelas setelah datang bulannya berhenti beberapa bulan belakangan. Hanya saja dia tidak ingin mendahului takdir Tuhan, “Jangan sampai Kangmas-mu tahu aku begini, kasian dia bisa kepikiran, sementara dia sedang mengurusi banyak urusan.”

Tetapi rupanya Ratri memiliki kecurigaan yang sama, “Kurasa sudah ada janin di perutmu, Yu,” ucapnya lembut. Cepat-cepat Lasmi melekatkan telunjuknya di bibir, lalu tersenyum, dan menganggukkan kepala pelan.

Lasmi memberi tanda pada Ratri, agar menyimpan berita ini sampai dia merasa pasti.


ooOOoo


Hari-hari di tempat Simoweling menjadi berbeda setelah kedatangan Wiryo. Lelaki itu cerdas, cakap dan memiliki sikap layaknya priyayi. Wiryo selalu datang paling pagi, menyiapkan pekerjaan, menata peralatan dan mampu menghitung selesainya sebuah pekerjaan.

Wiryo pulalah yang menata ulang cara menumpuk tembakau, membuat gudang terasa lebih lapang. Ruang penyimpanan menjadi lebih lega dan terang. Udara dan cahaya terang menghindarkan tembakau-tembakau Simoweling dari serangan jamur dan kutu hitam.

Tak perlu waktu lama bagi Wiryo mendapatkan kepercayaan. Gembok gudang dipercayakan padanya, begitu pula catatan-catatan barang dan berkali-kali pengiriman telah dilakukannya. Simoweling memiliki lebih banyak waktu luang dan bersenang-senang dengan banyak penganan.

Pada setiap rasa lelah dan keringat yang dikeluarkannya, Wiryo hanya berusaha mencari jalan menuju keberadaan tombak pusaka Sidrap. Dia telah mendapatkan kunci ke arah sana, dalam bentuk kepercayaan Simoweling. Pada setiap kesempatan pula, dia mencuri dengar dan memasang mata pada gerak Wiroboyo dan pasukannya.

Hanya menunggu waktu sebelum Wiryo mendapatkan apa yang dia mau.


ooOOoo


Di tengah hiruk-pikuk perang dan kabar duka, kabar menyenangkan sesekali datang.

Ketenangan terasa di rumah Sidrap malam ini. Pintu-pintu ditutup rapat, lampu di ruang tamu menyala terang dan kehangatan menjalar dalam bentuk obrolan panjang. Ratri lebih ceria dari biasanya, demikian pula Lasmi, mukanya tertutupi cahaya yang tak terang.

“Tak ada lagi gangguan dari Kang Simoweling, dia tak akan berani lagi macam-macam pada kita,” kata Sidrap.

“Kita masih ada urusan yang belum selesai, Kang,” sahut Lasmi.

“Tombak pusaka keluarga? Tentu aku ingat, Ni,” sahut Sidrap, “hanya soal waktu sebelum aku mendapatkannya lagi.”

Hening, lalu terdengar suara Ratri.

“Katakan, Yu. Berita gembiramu,” Ratri tersenyum lebar. Sidrap tak paham, pikiranya masih terbelah dengan urusan perlawanan.

“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Sidrap.

Lasmi mendekat ke arah Sidrap, “Sepertinya aku hamil, Kang,”

Sidrap hampir meloncat. Dia menatap lekat pada Lasmi. Lasmi memegang tangan Sidrap lalu menarik lembut ke perutnya. Berputar-putar sampai Sidrap merasakan sesuatu bergerak lembut. Jabang bayinya!

Sidrap melongo, mata dan bibirnya hanya bisa membulat, tak bisa berkata apa-apa. Lasmi dan Ratri tertawa melihat muka Sidrap.

“Kau segera menjadi bapak, Kang,” kata Lasmi tersenyum lebar.

Sidrap hampir meloncat karena girang, dia menciumi perut Lasmi lalu memeluknya erat. Bahagianya membuncah, tubuhnya seperti terbang.

“Jalan empat bulan, Kang,” lanjut Lasmi, Sidrap masih mengusap-usap perut istrinya, tak bisa berkata apa-apa selain menikmati rasa gembiranya.

Sidrap sadar, perjuangan dan masalah-masalah telah menyesap perhatiannya pada keluarga. Berulangkali dia melihat Lasmi lebih pucat dari biasanya, berulangkali pula Lasmi mengeluh mual dan sakit kepala tapi Sidrap tak tanggap.

Sekarang ada yang harus dia lakukan; memberikan waktu tambahan pada keluarga dan memastikan Lasmi dan jabang bayinya baik-baik saja.


ooOOoo


Di rumah judi Katemi, judi dadu mendapatkan tempatnya.

Sekat-sekat dipasang di pojok rumah judi, menjadi ruangan baru untuk judi dadu. Katemi tak menyangka, ruang dadunya penuh di hari pertama. Tak ada sempat tersisa, riuhnya mengalahkan sabung ayam yang telah lama ada. Katemi gembira, sirih dan kapur di mulutnya yang bergantian tanpa jeda menjadi penanda.

Beberapa penjudi ayam berhenti lalu berpindah judi dadu, mungkin mereka ingin mencoba atau bosan dengan adu ayam.

Mata Katemi tak lepas dari satu penjudi, perawakannya tinggi besar dengan kebiasaan tertawa lebar. Tak ada yang tak lucu bagi lelaki itu, semua hal ditertawakannya, tak peduli menang atau sedang sial. Bahkan setelah gembolan uangnya habis, dia tetap tertawa seolah tak terjadi apa-apa. Keesokan harinya dia akan mucul kembali, dengan gembolan yang besarnya selalu sama dengan hari-hari sebelumnya. Lelaki itu seolah datang hanya untuk menghabiskan uang. Dia datang hanya untuk bersenang-senang, tak peduli pada habisnya uang.

Lelaki itu tak pernah sekalipun datang meminjam uang pada Katemi. Katemi penasaran dengan pelanggannya itu.

“Siapa orang itu?” tanya Katemi pada salah satu penjaga, tangannya menunjuk ke arah lelaki yang membuatnya penasaran, “bercelana gombrong tak memakai baju dengan rajah walet di dadanya.”

Lihat selengkapnya