Jangan Ganggu Mbah Kung di Bulan Oktober

Ferry Herlambang
Chapter #9

Bab 7: Puasa di Ujung Perang Jawa

Pada perang Jawa, bulan puasa menjadi bulan paling tenang. Tak ada perang.


Hampir lima tahun perang Jawa berjalan, api perang yang pernah membesar perlahan-lahan padam, tapi bara-nya tetap menyala. Onggokan arang sisa perang berserakan dimana-mana, dalam bentuk terbakarnya harta benda dan hilangnya banyak nyawa. Suburnya tanah Jawa berubah menjadi kuburan bagi ribuan jiwa.

Kraton dan Patih Danurejo semakin merajalela. Kanjeng Pangeran mulai terdesak, tapi perlawanan harus diteruskan, kehormatan harus ditegakkan. Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi Ditohi Pati.

Tanah Jawa tak lagi sama. Api perlawanan masih menari-nari, sesekali menyala sesekali mati. Tetapi baranya menolak padam, kaum perlawanan masih melawan.

Sejarah keluarga kami bergerak mengikuti.


ooOOoo


20 Februari 1830, bulan puasa

Berkali-kali De Kock mengirimkan surat, berkali-kali pula Kanjeng Pangeran menolak membuka apalagi membacanya. Tubuh yang semakin kurus, deraan letih yang luar biasa dan ganasnya malaria tak mengubah kerasnya pendirian Kanjeng Pangeran. Bagi beliau, bulan puasa adalah bulan tenang. Tak ada pembicaraan tentang perang.

Penasehat spiritual-nya, Kiai Pekik Ibrahim-lah yang mampu mengubah pendirian beliau. Pada akhirnya Kanjeng Pangeran menuruti nasehatnya; membuka dan membaca surat dari musuhnya. Surat De Kock ditulis dengan rapi, penuh hormat dan isinya bersahabat.

Kanjeng Pangeran membaca adanya niat pertemanan dari musuhnya itu. Kehormatan dirinya sebagai seorang priyayi membuat Kanjeng Pangeran mengambil keputusan serupa, memberikan rasa hormat yang setara.

Pada tanggal 20 Februari, Kanjeng Pangeran bersedia menemui utusan belanda–Kolonel Jan Baptist Clereens–di Remokamal, di hulu sungai Cingcingguling. Tak ada kesepakatan, hanya pertemuan awal dan janji pertemuan berikutnya.

Kanjeng Pangeran hanya bersepakat dengan petinggi yang setara, Jenderal De Kock. Tapi tak ada pembicaraan tentang perang di bulan puasa, pembicaraan sesungguhnya akan dilakukan setelah lebaran. Clereens menyetujui apapun yang Kanjeng Pangeran minta, perwakilan Belanda itu telah mendapatkan mandat dari atasannya.

Janji dibuat, Kanjeng Pangeran akan bertemu De Kock di Magelang. Sambil menunggu kedatangan De Kock yang saat itu berada di Batavia, Kanjeng Pangeran dan rombongan akan menjalankan puasa di Menoreh. Tuan rumah dan Clereens berbicara seolah tak ada permusuhan di antara mereka. Dari kejauhan, orang-orang melihat gerak tubuh yang bersahabat sejak awal kedatangannya sampai saat mereka berpisah.

Sebelum utusan itu pergi, Kanjeng Pangeran memberikan pesan, “Pada kedatanganku nanti, Kau tak perlu memberi sambutan dengan salvo meriam. Sudah cukup seratus ribu peluru kau tembakkan padaku selama perang.”

Clereens tersenyum, dia paham Kanjeng Pangeran pasti orang yang tabah, berkemauan dan berhati keras. Tubuh kurus, kelelahan yang luar biasa dan serangan malaria tak menghilangkan selera bercandanya.


ooOOoo


Aryo Prawirotomo–putra semata wayang Sidrap–berusia lima tahun sekarang. Dia lahir di awal perang Jawa dan namanya adalah penanda bagi harapan orang tuanya. Wajahnya tenang cerah menyerupai romo-nya, pembawaannya perpaduan antara Sidrap dan Lasmi. Lelaki kecil ini tak mengenal takut pada apapun. Katak, ular, tikus ataupun jangkrik. Sidrap, Lasmi dan Ratri harus mengawasinya baik-baik.

Aryo tumbuh melebihi anak-anak seusianya, seolah paham tanah Jawa sedang tak punya waktu dan memaksanya segera tumbuh dewasa.

“Sebentar lagi puasa, Le,” kata Ratri pada ponakannya. Aryo sedang mengorek lubang di tanah, entah untuk apa.

“Gak boleh makan dan minum, Lek?” tanya Aryo tanpa menoleh, tangannya mengulik lubang yang semakin dalam, lidinya berulangkali patah, berulangkali pula Aryo menggantinya dari sapu lidi yang dipegang Ratri.

“Juga gak boleh nakal,” lanjut Ratri.

“Anak kecil boleh ikut puasa?” kejar Aryo sambil menghentikan kegiatannya, lelaki kecil ini mendengar ringkikan Gagak Carang.

“Boleh. Kau boleh puasa mbedug[1],” sahut Ratri, “buka puasa saat zuhur, lalu lanjutkan puasa sampai maghrib …,” kalimat Ratri belum selesai, Aryo melesat ke arah Gagak Carang yang berjalan di tepi tegalan.

“Aku ikut puasa …,” teriak Aryo, meninggalkan Ratri yang ikut berlari mengejarnya.


ooOOoo


Kepercayaan Simoweling pada Wiryo semakin besar. Kunci gudang, catatan barang dan pengiriman tembakau sekarang dipercayakan padanya. Masalah apapun tentang tembakau, Wiryo menjadi orang pertama yang diajaknya bicara. Setelah Wiryo menata ulang cara mengatur tumpukan, tembakaunya menjadi lebih baik dan tak ada lagi jamur dan kutu hitam yang datang.

Pagi setelah Wiryo membuka pintu gudang dan memeriksa barang-barang, Simoweling memanggilnya.

“Seseorang akan datang, besok siang,” kata Simoweling sambil memeriksa rajangan tembakau di depan gudang. Asap rokok klobot keluar mulutnya, harumnya menguar ke mana-mana dan sebagian tertahan di kumis tebalnya.

“Siapa, Kang?” tanya Wiryo.

“Pembeli besar, Tauke besar. Dia akan membeli semua tembakau di gudang,” jelas Simoweling, “tadi pagi makelar dan orang kepercayaannya datang menyampaikan pesan dari Tauke itu.”

“Aku ikut senang, Kang.”

“Hari ini ada barang yang harus kau antar, sebelum pergi pastikan semua tembakau di gudang siap jual,” perintah Simoweling pada Sidrap.

“Inggih, Kang. Aku sudah memeriksanya barusan,” jawab Wiryo.

“Siang nanti kirimkan 5 ikat tembakau ke Jogja,” perintah Simoweling pada Wiryo.

“Inggih, Kang,” sahut Wiryo. Hampir lima tahun menjadi buruh dan Wiryo telah menjadi kepercayaan Simoweling. Hanya beberapa orang terpercaya saja yang diijinkan mengirimkan tembakau berharga mahal tanpa pengawal.

Wiryo tahu apa yang harus dilakukannya. Dia segera menuju gudang, mengambil 5 ikat tembakau dan mengaturnya di bagian belakang dokar. Pengiriman yang tak terlalu banyak, biasa dilakukan dengan dokar.

“Sudah selesai, Kang. Siap berangkat,” kata Wiryo pada Simoweling yang sedang mengawasi.

“Ambilkan catatanku di ruang tamu,” perintah Simoweling.

Wiryo meninggalkan dokarnya, setengah berlari menuju ruang tamu. Ritual seperti ini telah biasa dia jalani.


ooOOoo


Beberapa malam sebelumnya, Rekso menemui Sidrap. Ada pesan dari Panggulu yang harus dia sampaikan.

“Aku baru mendapat kabar dari Ki Demang Joyomenggolo, mereka mulai kehabisan dana dan pasokan bahan untuk membuat mesiu,” kata Rekso membuka omongan, “Kang Panggulu masih berjuang sekuatnya menyediakan senjata. Panden-nya tak lagi menjadi tempat usaha, Kang. Sebagian besar pekerjaannya hanya membuat senjata.”

Sidrap menarik napas. Dia paham semakin hari semakin berbahaya. Para pengkhianat mulai menyusup dan rasa saling curiga perlahan-lahan melemahkan sendi perlawanan.

“Bagaimana kabar Kyai Sentono, Kang?” tanya Sidrap, dia tak terlalu mengenal Kyai itu tetapi pengkhianatannya menyakitkan telinganya.

Rekso menarik napas panjang, “Pengkhianat itu ….“

“Apa saja yang telah dia lakukan, Kang?”

“Dia mengamati sendi-sendi perlawanan. Darinya Belanda tahu cara mematahkan pergerakan dan menutup jalan napas perlawanan. Karena dia, benteng-benteng kecil didirikan.”

Lihat selengkapnya