Potong satu kepala lawan, menambah panjangnya napas perjuangan
Simoweling seperti sedang menyiapkan pesta, kesibukan di rumahnya melebihi hari-hari biasa. Tukang masak dipanggil, semua ruangan dibersihkan dan wangi bunga disebarkan. Meja-meja berisi makanan berderet dari pintu gerbang sampai gudang tembakau di bagian belakang.
Tauke Oei, tauke besar yang menjalankan banyak usaha sekaligus pemungut pajak jalan akan bertamu siang ini. Utusannya mengatakan dia tertarik dengan tembakau srintil Simoweling. Simoweling berharap tauke itu akan memborong isi gudangnya.
Tengah siang ketika tauke itu datang, dikawal ketat oleh pengawal berkuda layaknya bangsawan istana. Simoweling sering mendengar nama lelaki tua itu, perpanjangan tangan Belanda yang usahanya mengular di mana-mana. Simoweling tak pernah menyangka akan bertemu dengannya, dia takzim menyambutnya di gerbang pelataran, berbasa-basi sebentar lalu mengajaknya ke ruang tamu utama. Keberadaan pos jaga prajurit kepatihan tak mengganggu hilir mudik mereka.
“Angin apa yang membawa Tauke datang ke rumah saya?” Simoweling berbasa-basi sebisanya.
“Aku mendengar kau punya tembakau srintil terbaik,” jawab si Tauke. Usia tua menampakkan garis-garis kerja keras di tubuhnya, semacam penanda pada apa-apa yang pernah dilakukannya.
“Jangan khawatir, Tauke. Tembakau-ku kualitas terbaik. Aku memperlakukannya dengan sempurna mulai saat tanam, petik, rajang, pengikatan sampai penyimpanan. Tauke butuh berapa?” Simoweling menjawab girang.
“Orang suruhanku sudah tahu kualitas tembakau-mu. Dia akan memeriksa isi gudangmu, kalau cocok aku akan ambil semua yang kau punya.”
Simoweling membelalak, membayangkan berlipatnya uang dan mudahnya urusan setelah tembakau di gudangnya ditebas habis si tauke.
“Gudangku hampir penuh, Tauke. Kau bisa memeriksanya,” lanjut Simoweling.
“Aku tak bisa berlama-lama bicara denganmu,” lanjut Tauke, “aku akan meninggalkan orang, dia yang akan mengurus semuanya termasuk pembayarannya.”
Simoweling paham, Tauke pasti punya kesibukan yang luar biasa. Berbincang dengan saudagar besar itu telah membuatnya gembira. Tauke segera pamit dan meninggalkan orang kepercayaannya, seorang lelaki peranakan yang masih muda. Simoweling menawarkan salah satu kamarnya untuk menginap, lelaki muda itu menolak.
“Aku akan pulang setelah urusan selesai,” katanya.
ooOOoo
Wiroboyo biasa bertindak sesuka hatinya. Dia dapat menjadi orang yang menjengkelkan atau menyenangkan di waktu bersamaan. Simoweling dan Katemi hapal kebiasaannya, mereka tahu cara menaklukkan perwira kelas tiga itu. Uang!
Dengan imbalan yang menyenangkan, Wiroboyo dapat membereskan banyak kepentingan hanya dengan kedipan waktu. Hari ini Katemi mendapatkan hasilnya.
“Seperti yang aku janjikan kemarin, Yu. Lima judi sainganmu telah aku tutup,” kata Wiroboyo sambil meletakkan tubuhnya di kursi depan Katemi, “kau tak punya saingan lagi.”
Berbinar mata Katemi, dia menyorongkan nampan berisi banyak buah-buahan ke depan Wiroboyo.
“Terimakasih bantuanmu, Ndoro,” sahut Katemi. Tak lama lagi para penjudi itu akan berbondong-bondong memenuhi tempatnya, tak ada tempat lain selain rumah judinya.
“Aku butuh tambahan lagi untuk menjamu anak buahku, tanpa mereka aku tak bisa berbuat apa-apa,” lanjut Wiroboyo tanpa basa-basi, “panjar yang kau berikan hanya cukup untuk lelah sehari.”
Katemi terbiasa dengan tabiat Wiroboyo. Dia sudah menyiapkan segembol uang sogokan lalu menyerahkannya pada Wiroboyo. Urusan mereka berjalan seperti rencana.
“Kau bebas membabat pohon dan membuat rumah judi baru,” lanjut Wiroboyo sambil memasukkan gembolan uangnya ke balik baju.
“Terimakasih sekali lagi, Ndoro. Tanpamu, usahaku tak bisa sebesar sekarang,” sahut Katemi.
“Aku tak bisa lama-lama, ada kesenangan lain sedang menungguku,” Wiroboyo meninggalkan rumah judi, pergi entah kemana.
Katemi keluar dari rumah judi setelah Wiroboyo pergi, melihat deretan pohon besar lalu mulai menandai. Pohon-pohon itu akan tumbang sebentar lagi, berganti menjadi rumah judi.
ooOOoo
8 Maret 1830
Pagi hari, Pangeran Diponegoro dan rombongan mulai berangkat menuju Matesih, mengendarai kuda dan diiringi delapan puluh pengawal utama dan ratusan pengantar bersenjata. Semua bersorban dan berjubah hitam dengan tombak terhunus layaknya pasukan siap perang. Kirab besar itu berangkat dan bergerak pelan.
Rekso berada di antara rombongan pengantar, menunggangi kudanya diam-diam di tengah kerumunan. Rombongan tiba di perbatasan Magelang ketika Rekso melihat pasukan yang dipimpin Mayor Michiels menyambut Kanjeng Pangeran, mereka menunjukkan rasa hormat yang mendalam. Perwira Belanda itu turun dari kuda, melepaskan topi kebesarannya lalu berbincang sebentar dengan Kanjeng pangeran sebelum rombongan utama melanjutkan perjalanan.
Mayor Michiels dan pasukannya menahan rombongan pengantar. Dia tampak terkejut dengan besarnya jumlah mereka, bersenjata tombak terhunus seolah siap perang.
“Tuan-tuan, siapa yang memimpin rombongan pengantar?” ujarnya.
Tak ada yang menjawab, saling pandang. Rombongan pengantar terbentuk begitu saja di jalanan, tak ada hirarki apalagi pimpinan di antara mereka. Rekso yang sekarang berada di barisan depan mengambil omongan.
“Kami hanya hanya pengantar, Tuan. Tak ada pimpinan. Kami mematuhi perintah Kanjeng Pangeran Diponegoro,” seru Rekso dari atas kudanya.
“Perlu Tuan-Tuan ketahui, perjalanan ini perjalanan damai. Lagi pula ini bulan puasa, Kanjeng Pangeran tak mengijinkan adanya perang,” lanjut Mayor Michiels, “Tuan-Tuan harus menghormati Kanjeng Pangeran, tak boleh ada senjata melewati perbatasan.”
Rombongan pengantar saling pandang. Rekso diam di atas kudanya, memang benar Kanjeng Pangeran tak pernah mengijinkan adanya perang saat bulan puasa. Bukan hanya puasa tahun ini, puasa-puasa sebelumnya adalah bulan tenang. Pantang berperang.
“Tuan-Tuan jangan khawatir, titipkan senjata Tuan pada kami. Lalu silahkan lanjutkan perjalanan,” lanjut Mayor Michiels dengan tenang.
Tak ada yang membantah. Di perbatasan Magelang, Mayor Michiels segera mengambil senjata para rombongan pengantar, 853 buah tombak dan 87 pucuk bedil Prussia. Mereka melanjutkan perjalanan saat panas mulai datang, terpisah semakin jauh dari rombongan Kanjeng Pangeran.
Rekso meneruskan perjalanan bersama rombongan pengantar. Pada sebuah kelokan, dia membelokkan kudanya ke arah pepohonan lalu diam-diam kembali ke Jogja.