Setelah menyelesaikan semua urusan, lelaki muda kepercayaan tauke segera pulang. Melalui lelaki itu, Tauke memberikan tiga perempat total pembayaran. Simoweling paham Tauke telah mengawasi mutu tembakaunya hingga menaruh kepercayaan padanya. Simoweling juga percaya, lelaki tua itu memiliki kekuatan besar, memastikan orang-orang yang telah dibayarnya tak berani berbuat curang. Untuk alasan itulah Simoweling tak berani macam-macam, mengurungkan niatnya mengakali timbangan apalagi menyisipkan cacahan rumput liar.
Kesepakatan sudah dilakukan, pagi ini Simoweling mengumpulkan semua buruhnya di gudang belakang. Simoweling telah membuat banyak perhitungan dan hari ini dia berniat menyiapkan semua pengiriman. Tembakau di gudangnya akan habis pada sekali pengiriman.
Sepuluh cikar[1] berjajar di depan gudang, siap mengangkut semua tembakau srintil. Para buruh berjejer siap menunggu perintah. Gudang dibuka, harum tembakau srintil menguar kemana-mana.
“Keluarkan semua tembakau di gudang, naikkan ke atas cikar,” perintah Simoweling, “Wiryo, kau atur baik-baik jangan sampai rusak.”
“Nggih, Kang,” Wiryo segera mengatur orang-orang, menghitung jumlah dan ruang cikar lalu menentukan bagaimana tumpukan ditata.
“Aku ingin sore ini selesai,” lanjut Simoweling.
Satu persatu tumpukan tembakau di gudang dikeluarkan, diperiksa ulang lalu dipindahkan ke atas cikar. Tengah hari, setengah tembakau di gudang telah berpindah ke atas cikar.
“Ashar nanti akan selesai, Kang,” lapor Wiryo pada Simoweling.
“Sapi-sapi dan pedati sudah kau periksa?” tanya Simoweling ingin memastikan.
“Sudah, Kang. Sapi-sapi telah diberi makan dan rumput untuk perjalanan telah disiapkan,” sahut Wiryo, “boleh aku tanya sesuatu, Kang? ada yang menggangguku.”
“Tentang apa?” tanya Simoweling.
“Jalur pengiriman, kita melewati jalan pos Deandels Sleman? Bukankah di sana banyak begal?”
“Jangan khawatir,” sahut Simoweling, “aku telah menyewa prajurit kepatihan untuk mengawal.”
“Berapa orang, Kang?” tanya Wiryo.
“Sepuluh orang berkuda dengan senjata lengkap,” sahut Simoweling.
Wiryo mengangguk, dia hanya memastikan jumlah pengawal rombongan.
Wiryo tahu, Kentrung akan membutuhkannya nanti.
ooOOoo
Menoreh sepi, keramaiannya berpindah di pendopo-pendopo di Matesih yang dibangun De Kock untuk Kanjeng Pangeran. Lima ekor kerbau disembelih setiap hari, dagingnya menjadi santapan semua orang setiap sahur dan buka puasa.
Tersiar kabar De Kock telah mengunjungi pangeran selepas subuh. Mereka berjalan-jalan menikmati udara pagi, entah apa yang mereka bicarakan tetapi dua musuh bebuyutan itu terlihat akrab layaknya dua sahabat.
Rekso berada di kejauhan, tak berbaur dengan keramaian. Dia memasang telinga dan mata, mendengar dan berusaha melihat semua kabar dan selentingan. Orang-orang menganggap perdamaian di pulau Jawa akan tiba, tetapi bagi orang-orang yang awas dan waspada, perdamaian semakin jauh dari mata.
Bagi Rekso–seperti ucapan Panggulu–tingkah laku Belanda jangan sekali-kali dipercaya. Rekso ingin berlama-lama bersama rombongan Kanjeng Pangeran, tapi ada kewajiban yang harus dia laksanakan, mengantarkan Sidrap dan keluarganya menuju pengungsian.
Menjelang siang, Rekso meninggalkan tempatnya lalu memacu kudanya ke arah Jogja.
ooOOoo
Lasmi dan Ratri tak ragu dengan urusan menjual rumah, mengungsi dan mencari tempat baru. Mereka paham gentingnya keadaan dan percaya Sidrap akan mengambil langkah yang terbaik buat mereka. Sejak awal mereka paham pada hal buruk yang menimpa kaum perlawanan. Tak ada ragu dan takut di benak mereka. Ketabahan mereka menenangkan hati Sidrap.
Siang ini Sidrap menemui Simoweling, membawa urusan yang tidak pernah dibayangkannya pada tahun-tahun sebelumnya; menjual tanah, rumah dan isinya. Dia menemui Simoweling di depan gudang, mengajaknya bicara untuk sebuah urusan penting. Wiryo ada di sana, Sidrap pura-pura tak mengenalnya.
“Ada urusan penting apa, Kang?” tanya Simoweling.
“Aku ingin menjual tanah, rumah, tegalan dan sawahku, Kang,” jawab Sidrap tanpa ragu. Simoweling menatapnya lekat, tak percaya dengan apa yang didengarnya.
Simoweling segera menarik tangan Sidrap ke dalam rumah utama, mengajaknya duduk di ruang tamu lalu melanjutkan obrolan.
“Kenapa kau ingin menjual rumahmu, Kang?” tanya Simoweling, hatinya mulai bungah ditandai oleh rokok klobot yang mulai dinyalakannya.
“Kau tahulah keadaan sekarang, Kang. Sawah dan tegalanku tak sesubur biasanya, sementara anakku mulai besar dan butuh banyak pengeluaran,” balas Sidrap.
“Aku paham. Perang Jawa membuat kita celaka,” sambung Simoweling, mengisap rokok klobotnya sebelum melanjutkan, “berapa harga yang kau tawarkan, Kang?”
“Tak berubah dari penawaranmu dulu. Aku tahu harga tanah dan rumah telah naik, tapi aku cukupkan dengan harga lamamu,” jawab Sidrap, “tetapi aku meminta tambahan seekor kuda sebagai ganti isi rumah, pohon-pohon dan tanaman di tegalan dan sawahku.”
Simoweling menarik napas. Pada akhirnya dia tak perlu berusaha apa-apa, tanah yang diinginkannya datang sendiri untuk dibeli. Wiroboyo tak akan melarangnya kali ini. Tanah Sidrap dijual tanpa paksaan.
“Baiklah, Kang. Aku akan membelinya,” lanjut Simoweling, dia merasa beruntung dengan penawaran Sidrap, “aku paham harga tanah sudah berubah. Aku jujur padamu, harga yang kau tawarkan adil untuk kita berdua.”
“Terimakasih, Kang,” kata Sidrap, “kalau boleh, aku ingin uangnya diganti dengan emas saja, biar tak repot-repot menukarnya.”
“Gak masalah, Kang. Siapkan saja surat-suratnya, setelah itu aku akan membayarnya.”
“Satu lagi, Kang. Aku butuh waktu untuk pindah. Aku minta waktu satu atau bulan untuk tetap menempati rumah itu untuk persiapan.”
“Tempati saja sampai kau mendapatkan tempat baru,” Sahut Simoweling sambil mengisap rokok klobotnya kuat-kuat.
Mufakat sudah didapat, Sidrap dan Simoweling telah bersepakat. Sidrap segera kembali ke rumahnya, meninggalkan senyum senang di wajah Simoweling.
Asap rokok klobot memenuhi ruang tamu Simoweling, harumnya menguar ke mana-mana, sebagiannya menempel di kumis tebal Simoweling.
ooOOoo
Gudang milik Panggulu berada di bagian belakang pekarangan, tersembunyi di antara lebatnya pepohonan. Bukan gudang biasa, di sana dia menyimpan belerang dan arang untuk keperluan pembuatan mesiu. Panggulu tak paham cara membuatnya, hanya pernah mendengar Demang Joyomenggolo mencampurnya dengan kotoran kelelawar yang dimurnikan. Panggulu tak paham artinya.
Panggulu memeriksa gudang. Arang masih menumpuk, tetapi belerang tak tersisa banyak. Pasokan tak semudah dulu, benteng-benteng stelsel yang didirikan Belanda di sepanjang telah memutus pasokannya.
Pun bahan pembuat senjata semakin menipis, dana dari Ki Demang Joyomenggolo tak sebanyak biasanya, Panggulu maklum dan berusaha tetap bekerja sebaik yang dia bisa.
Panggulu sadar pada gawatnya keadaan. Kaki penyokong perlawanan pelan-pelan dipatahkan.