Jangan Ganggu Mbah Kung di Bulan Oktober

Ferry Herlambang
Chapter #12

Bab 10: Begal Perbukitan Sleman

Pada gemerlapnya jalan raya, kemewahan dipamerkan oleh pedati berisi hasil bumi dan mewahnya dokar-dokar.


Jalan raya pos Deandels seperti permata putih yang membelah Jawa. Lalu-lalang orang dan barang menjadi lebih cepat sejak jalan itu ada. Sekejap saja kemakmuran membuncah di hulu, tepi-tepi dan hilirnya. Lalu jalan raya berubah menjadi arena pamer kemewahan melalui pepatnya isi pedati, kekarnya kuda-kuda dan gemerlapnya dokar-dokar yang melintas.

Kepedihan dibalik pembuatannya menyisakan banyak hal. Di perbukitan Sleman, sisa muramnya terasa sampai sekarang, berupa kemiskinan yang berubah bentuk menjadi kerumunan begal. Begal-begal meminta balasan dari ramainya jalan raya, lalu membagi hasilnya dengan rakyat lapar.

Di balik tembok pembatas jalan, naik ke atas bukit yang ditutupi pepohonan, Kentrung duduk melingkar bersama lima belas anak buahnya. Tanah kering di bagian tengah mereka penuh dengan coretan membentuk peta kasar dan gambar-gambar. Mereka sedang membuat rencana perampokan.

“Tak ada yang istimewa, sepuluh cikar dan sepuluh pengawal dari kepatihan,” kata Kentrung, ranting pohon di tangannya membuat coretan di tanah kering, menambahkan sebentuk rencana yang akan dijalankan.

“Kita punya lima belas orang, enam orang membawa bedil,” sahut seseorang dari mereka, “pastikan membidik enam orang pengawal, agar berkurang jumlah perlawanan.”

“Sampai mati, Kang?” tanya salah satu dari mereka.

Kentrung memandangnya tajam, “Buat tak berdaya saja.”

“Pastikan dua orang berada di atas bukit, menggelindingkan batu besar penutup jalan,” sambung Kentrung, ”sisanya dibagi dua, tiarap di balik ilalang, mengepung mereka dari sisi kanan dan kiri. kita bergerak bersama-sama setelah cikar-cikar itu berhenti terhalang batu.”

“Nggih, Kang!” jawab semua orang. Serentak. Membegal orang bukanlah hal yang istimewa bagi mereka, seperti hari-hari biasa; bertani, bercocok tanam, mencegat saudagar kaya, pemungut pajak jalan lalu membagikan hasilnya sama rata, antara mereka dan rakyat jelata.


ooOOoo


Wiryo menyimpan semua catatan dari Simoweling di balik bajunya. Cikar dan sapi selesai diperiksa dan sekarang berjajar di depan gudang menunggu perintah jalan. Sepuluh cikar, masing-masingnya ditarik dua sapi besar. Cikar yang dikendarai Wiryo berada di barisan paling depan. Dia menjadi pimpinan rombongan.

“Kau membawa barang berharga. Hati-hati, tapi jangan khawatir, prajurit kepatihan akan siaga mengawal sampai tujuan,” pesan Simoweling pada Wiryo yang sudah berada di atas cikar.

“Nggih, Kang. Jangan khawatir, aku sudah puluhan kali mengirim barang,” balas Wiryo. Kekang sapi dan cambuk siap digenggamannya.

Sepuluh orang pengawal berkuda membentuk formasi. Dua pengawal yang bersenjata bedil berada di depan dan belakang, sisanya berputar-putar bergantian mengelilingi rombongan cikar. Wiryo lega dengan salah hitungnya, hanya ada empat bedil yang dibawa pengawal.

“Ikuti pengawal di depan, dia yang menjadi pemandu,” kata Simoweling pada Wiryo. Rombongan telah siap diberangkatkan, Simoweling berjalan ke arah pengawal di bagian depan.

“Berangkat sekarang, Kang!” teriak Simoweling.

Kuda dihela, cambuk dilecutkan. Rombongan mulai berjalan pelan-pelan.


ooOOoo


Seperti perintah Kentrung semalam, Sidrap telah berada di gubuknya setelah subuhan. Rekso datang tak lama kemudian, kudanya ditambatkan di jalan masuk makam, bersebelahan dengan Gagak Carang yang telah datang. Semburat cahaya matahari mulai nampak dan terang mulai datang.

“Kau siap, Kang?” tanya Rekso setelah berada di samping Sidrap.

“Tentu, Kang. Kang Kentrung menyuruhku mengikuti arahanmu,” sahut Sidrap.

Rekso menepuk pundak Sidrap, “Jangan khawatir, Kang. Ikuti saja aku.”

“Aku yakin sebentar lagi mereka akan lewat,” sambung Sidrap. Gubuk Sidrap berada di sebelah makam, dihubungkan dengan jalan kecil yang tertutupi ilalang tinggi, tak terlihat dari jalan utama. Tetapi dari tempatnya berada, dia dapat melihat jalanan dengan leluasa.

“Aku tak terburu-buru, Kang,” sahut Rekso sambil membetulkan letak sarung pedangnya. Sidrap melakukan hal yang sama.

“Kau gugup?” tanya Rekso.

“Sedikit …,” jawab Sidrap, dia tak pernah membayangkan akan ikut perampokan, bahkan bekerja sama dengan begal yang terkenal.

“Seperti kataku, Kang. Jangan khawatir. Kau hanya perlu mengikutiku,” imbuh Rekso.

Sidrap percaya pada Rekso, rasa khawatirnya sedikit mereda.


ooOOoo


Seperti pagi-pagi sebelumnya, perbukitan Sleman terasa tenang. Dingin masih menggigit tulang meski matahari telah terang. Jalan pos Deandels di bawahnya tampak basah oleh sisa embun.

Kentrung berada di atas perbukitan, mengenakan celana gombrong hitam, baju dan sarung yang melingkar di lehernya. Matanya mengawasi titik-titik penyergapan, memastikan rencana berjalan seperti seharusnya. Dari tempatnya berada dia dapat melihat tujuh anak buahnya berada di sisi kiri tembok pembatas jalan, sedangkan sisanya menunggu di sisi kanan. Hampir tak terlihat, merayap dan tertutupi oleh tingginya ilalang.

Di bagian tengah, jalan pos Deandels terlihat seperti ular yang menembus pepohonan, dua tembok panjang mengapit dan menjadi pembatas jalan. Ujung akhir tembok berada di jalan menanjak sekaligus belokan tajam. Di tempat itulah titik penyergapan ditentukan, tempat batu digelindingkan dari atas perbukitan. Rombongan cikar akan terjebak, tak bisa memutar atau bergerak. Prajurit pengawal akan kebingungan menentukan langkah.

Kentrung menghela kudanya ke arah lima batu besar yang siap digelindingkan, dua anak buahnya telah siap di sana. Kentrung berjalan ke arah bawah, memeriksa pohon-pohon yang ditebang telah membentuk jalan bagi gelindingan batu ke arah jalan. Semuanya telah tertata dengan benar. Jalur gelindingan batu seperti yang diinginkan, dan pohon-pohon tebangannya tertata di pinggirnya, memastikan batu akan jatuh pada tempat yang direncanakan.

Kentrung puas, dia tak melihat adanya kesulitan.


ooOOoo


Suara cambuk, lonceng sapi dan teriakan kusir cikar terdengar. Sidrap dan Rekso memasang mata dan sebentar kemudian melihat rombongan cikar berjalan pelan di jalan utama. Wiryo menghela cikar paling depan, suara cambuknya keras dilecutkan berkali-kali. Wiryo sedang memberi tanda akan kehadirannya pada Sidrap dan Rekso yang sedang menunggu di kejauhan.

“Sepuluh orang pengawal, seperti yang dikatakan Wiryo,” bisik Rekso, dia menghitung jumlah pasukan kawal.

“Kita bergerak sekarang?” tanya Sidrap.

Lihat selengkapnya