Jangan Ganggu Mbah Kung di Bulan Oktober

Ferry Herlambang
Chapter #13

Bab 11: Sisa Pesta dan Sebuah Akal

Aku tak sedang membalas dendam, tindakanku hanya urusan memberi pelajaran.


Sidrap bukanlah orang yang pendendam. Jika itu terjadi, pasti disebabkan oleh urusan besar. Sidrap sendiri tak menyebutnya sebagai pembalasan, tapi cara memberi pelajaran.

Selepas salat maghrib, Sidrap berganti baju dan mengenakan sarung lurik terbaiknya. Semakin rapi dengan udeng sewarna sarung. Dia bermain sebentar dengan Aryo lalu berpamitan pada Lasmi dan Ratri yang masih menyiapkan masakan.

“Aku ke rumah Kang Simoweling, Ni. Ada yang harus aku bicarakan dengannya,” kata Sidrap pada Lasmi. Lasmi mengiyakan, sementara Ratri sibuk membujuk Aryo yang merengek ingin ikut romo-nya.

Sidrap mengatur napas, bersikap tenang lalu melangkah menuju kediaman Simoweling. Di depan gerbang pekarangan Simoweling, sisa-sisa penyambutan tauke masih terasa, berupa meja-meja yang berderet dari gerbang utama sampai ke belakang rumah.

Pintu rumah Simoweling terbuka lebar, lampu-lampu menyala terang. Simoweling duduk di kursi panjang ruang tamu, meja di depannya dipenuhi banyak makanan. Sidrap tak perlu mengetuk pintu, Simoweling memberinya tanda agar masuk dan duduk.

“Syukurlah kau datang malam ini, Kang,” sambut Simoweling senang, “duduklah, masih banyak sisa pesta untuk kita berdua.”

“Kau tampak segar, Kang. Apa yang sedang kau rayakan?” kata Sidrap memulai pembicaraan, “usahamu pasti semakin lancar.”

“Tembakau-ku, Kang. Aku bersyukur menemukan pembeli baru. Tak perlu bersusah payah menjualnya,” sahut Simoweling, “ini bukan pesta atau selamatan, hanya sisa penyambutan untuk Tauke besar yang membeli tembakau-ku.”

“Aku ikut senang, usahamu dan istrimu semakin lancar,” kata Sidrap, “Aku ingin bicara tentang kepindahanku, Kang.”

“Kau sudah dapatkan tempat baru?”

“Belum. Aku minta sedikit waktu tambahan. Aku sudah keliling ke banyak desa tapi belum menemukan tempat yang cocok,” jelas Sidrap.

“Tak apa-apa, Kang,” kata Simoweling.

“Aku tak punya keperluan apa-apa, hanya ingin berbincang. Tak lama lagi aku akan pindah dan mungkin kita tak akan bertemu lagi.”

“Jangan bilang begitu, Kang. Kau bisa mengunjungiku kapan saja, semaumu.”

Malam ini mereka berbicara panjang. Kopi, jajanan dan tembakau tersaji di atas meja. Sidrap dan Simoweling berbicara seolah teman lama yang tak pernah jumpa, suara tawa mereka terdengar sampai pelataran. Pembicaraan seakrab ini pernah mereka lakukan, dulu ketika keduanya masih kanak-kanak dan senang berburu belut di sungai dan lubang-lubang pematang. Juga saat mencuri glagah dan dikejar-kejar sinder tebu. Mereka memang berteman lama, tetapi menjadi berjarak saat dewasa.

Malam belum tinggi ketika terdengar suara lonceng sapi, suaranya semakin keras ketika cikar-cikar memasuki pekarangan Simoweling. Beberapa orang meloncat turun, Simoweling segera mengenalinya sebagai pengawal tembakaunya. Dari tempatnya berada, Simoweling dapat melihat mereka berjalan menuju tempat Wiroboyo.

Simoweling berdiri, begitu pula Sidrap. Naluri Simoweling mengatakan ada hal besar telah terjadi.

Dan itu pasti tentang tembakau srintilnya!


ooOOoo


Pondok-pondok di atas perbukitan Sleman menjadi lebih hidup malam ini. Rembulan besar terlihat dekat, seperti buah besar yang bisa disentuh tangan. Wiryo dan Kentrung duduk di depan perapian, menghangatkan badan sambil menikmati kopi yang baru dijerang. Sementara begal-begal lain membentuk kerumunan di tempat terpisah.

“Anggap rumah sendiri,” kata Kentrung sambil memberikan secangkir kopi pada Wiryo, “mulai hari ini kau dianggap hilang oleh banyak orang.”

“Sudah lama aku hilang dari pandangan orang-orang,” sahut Wiryo, senyumnya serupa kopi. Pahit.

“Apa rencanamu sekarang?” tanya Kentrung, tangannya memilin rokok klobot lalu mulai menyalakannya.

“Kalau kau mengijinkan, aku ingin bergabung denganmu,” jawab Wiryo.

“Menjadi begal? Kami hanya penduduk desa. Setelah pekerjaan selesai, kami akan kembali ke rumah masing-masing. Bertani, menggarap ladang, lainnya pergi berdagang,” sahut Kentrung, “kecuali aku, menggelandang kesana-kemari, seringnya ke rumah judi Katemi.”

Kentrung terkekeh, begitupun Wiryo. Kentrung menghisap klobotnya dalam-dalam lalu menghembuskannya sekuat yang dia bisa. Harum tembakau menguar bercampur wanginya kopi. Sekarang, Wiryo mengenalinya sebagai Kentrung di rumah judi Katemi. Ramah dan hilang tampang seramnya.

“Aku ingin bergabung dengan perlawanan,” lanjut Wiryo.

“Perlawanan sedang berada di ujung tanduk sekarang. Kanjeng Pangeran mengutus beberapa orang untuk mulai menyiapkan pengungsian,” kata Kentrung.

Wiryo menghela napas panjang, dia tak punya tujuan sekarang.

“Apa yang bisa aku lakukan?” tanya Wiryo setengah putus asa, dia tak melihat ada sesuatu yang bisa dia lakukan.

“Malam ini kau tidur bersama kami, besok aku antar kau bergabung dengan Kyai Arif– cucu Kanjeng Pangeran–beliau sedang menyiapkan pengungsian. Banyak yang bisa kau lakukan di sana,” sambung Kentrung, “sekalian melaporkan tembakau srintil hasil sitaan.”

“Aku ikut rencanamu, Kang,” sahut Wiryo.

“Ambillah salah satu kuda rampasan, kau akan membutuhkannya,” sambung Kentrung.


ooOOoo


Simoweling panik!

Tubuh tambun Simoweling bergerak ke kanan dan kiri ketika kakinya bersusah payah melangkah ke tempat Wiroboyo berada. Sidrap mengikutinya dari belakang. Di pos jaga, Simoweling melihat sepuluh pengawal tembakaunya berada di sana, enam orang diantaranya terbaring di tanah sambil memegangi kakinya yang terluka. Mereka berdarah, darahnya berceceran di mana-mana.

“Ada apa ini? Di mana tembakau-ku?” seru Simoweling. Tak perlu berpikir panjang untuk tahu sesuatu yang buruk telah terjadi. Wiroboyo bangkit dari kursinya lalu menarik tubuh besar Simoweling keluar dari pos penjagaan.

“Sesuatu yang buruk sudah terjadi, di luar kuasa kami,” alih-alih menenangkan Simoweling, Wiroboyo langsung membela diri.

“Apa maksudmu di luar kuasamu?” desak Simoweling.

“Rombongan dibegal di tengah perjalanan. Bukan satu begal begal seperti biasa, tapi oleh penduduk desa, puluhan jumlah mereka,” lanjut Wiroboyo.

Sidrap yang mendengar omongan Wiroboyo berusaha menahan tawa.

“Tembakau-ku bagaimana?” jerit Simoweling.

“Mereka mengambilnya,” jawab Wiroboyo dingin, seolah urusan ini di luar tanggung jawabnya.

“Kau harus bertanggung jawab, Ndoro,” pekik Simoweling.

Wiroboyo menatap tajam pada Simoweling, ”Aku akan berusaha mencari tahu keberadaan tembakau-mu. Tapi nanti, kepatihan sedang membutuhkan pasukanku.”

Lihat selengkapnya