Saat alam memberi tanda, orang-orang membacanya dengan banyak cara
10 Maret 1830
Kanjeng Pangeran dan rombongan masih berada di Matesih. Mereka menjalankan ibadah puasa seperti tahun-tahun sebelumnya. Khusuk, tenang tanpa adanya perang. Lantunan Al-qur’an terdengar setiap hari, olah kanuragan tetap dilakukan tanpa henti.
Dua kali De Kock datang berkunjung saat pagi, berbincang akrab sambil berjalan-jalan dengan Kanjeng Pangeran. Sikap tubuh keduanya seperti dua sahabat akrab, saling mendekat dan sesekali tertawa tanpa ditutupi. Banyak orang menganggap perdamaian di tanah Jawa segera datang, sebagian besar merasa Kanjeng Pangeran akan mendapatkan tujuan perjuangan.
Tetapi bagi mata yang awas, mereka melihat arah perang sedang menuju arah sebaliknya. Kanjeng Pangeran sedang disiasati.
ooOOoo
Pagi masih gelap, embun dan kabut menggantung di jalanan di halaman panden Panggulu ketika Demang Joyomenggolo mengetuk pintu. Panggulu telah terbiasa dengan nada, jumlah dan kerasnya ketukan. Dia segera mengenali tamunya.
“Monggo, Ndoro,” Panggulu mempersilakan Ki Demang masuk ke ruangannya. Temaram, hanya ublik kecil di meja Panggulu yang menyala. Kedatangan Ki Demang Joyomenggolo selalu mengagetkan Panggulu, menandakan sesuatu yang tak biasa sedang terjadi.
“Kabar apa yang kau dengar tentang Kanjeng Pangeran?” tanya Ki Demang.
“Rekso mengawasi keberadaan beliau di Matesih, Ndoro. Berita-berita yang datang tak membuatku merasa tenang. Perilaku Kompeni membuatku curiga,” jawab Panggulu, “mereka memperlakukan Kanjeng Pangeran melebihi kebiasaan.”
“Kau curiga sesuatu sedang mereka jalankan?” tanya Ki Demang.
“Aku belum tahu itu apa, tapi aku melihat mereka sedang bersiasat. Benang merah di mejaku mengarah ke tujuan yang salah,” jawab Panggulu sambil menunjukkan catatan yang berserakan di atas meja. Coretan Panggulu tentang taktik, keadaan lapangan dan kejadian-kejadian perang.
“Akupun begitu. Aku hapal perilaku Belanda, orang-orang kraton dan kepatihan. Musang-musang yang tingkah lakunya tak bisa dipercaya,” tambah Ki Demang.
“Kanjeng Pangeran berada di posisi yang tak menguntungkan,” lanjut Ki Demang, “begitupun pasokan mesiu dan persenjataan.”
Panggulu tahu, gudangnya sekarang hanya berisi tumpukan arang, tak ada pasokan belerang sejak beberapa bulan. Berdirinya benteng-benteng kecil di banyak tempat telah memotong jalur pasokan, beberapa kali pengiriman belerang terpergok Belanda dan pengiriman belerang menjadi kegiatan yang berbahaya.
“Maaf, Ndoro. Di gudangku hanya ada tumpukan arang tanpa sebutirpun belerang,” ujar Panggulu.
“Bukan salahmu. Kompeni memutus jalur pengiriman,” balas Ki Demang, “jangan khawatir, meski berkurang, aku masih bisa mendapatkan sedikit belerang dari kawan-kawan perlawanan.”
ooOOoo
Lasmi pernah melihat Sidrap melakukan banyak hal, tetapi dia belum pernah melihat suaminya melakukan hal buruk apalagi merampok. Sidrap-pun tak bisa membayangkan betapa kagetnya Lasmi jika mengetahui dia merampok tembakau Simoweling. Untuk alasan itulah Sidrap tak membicarakan tembakau srintil yang disimpannya di atas kandang Gagak Carang.
Lasmi tak akan bertanya tentang sesuatu yang tak diberitahukan suaminya. Lasmi tahu ada bungkusan besar di atas kandang Gagak Carang, tetapi memilih diam. Sebagai orang perlawanan, Sidrap pasti memiliki rahasia yang harus disimpan. Lasmi percaya, ketika Sidrap merahasiakan sesuatu, dia melakukannya untuk kebaikan semua orang.
Tentang tembakau Srintil di atas kandang Gagak Carang, Lasmi mengerti suaminya tak ingin menyimpan rahasia. Semua orang rumah–Lasmi, Ratri bahkan Aryo–dapat melihat bungkusan itu. Sidrap tak merahasiakan keberadaannya, hanya tak ingin membicarakannya saja.
Lasmi paham untuk tetap diam.
ooOOoo
Tak ada urusan remeh temeh yang mampu membawa Ki Demang Joyomenggolo meninggalkan tempatnya. Panggulu tahu ada sesuatu yang ingin dikatakan dan tak bisa menunggu waktu. Mereka masih berbicara, lebih lama dari biasanya, menandakan pentingnya urusan yang sedang mereka bicarakan.
“Aku menimbang dari banyak perhitungan, Ndoro,” Panggulu melanjutkan pembicaraan.
“Apa yang ada di pikiranmu sekarang?” Ki Demang terbiasa memancing omongan, pun ketika berbicara dengan Panggulu.
“Aku berpikir tentang benteng stelsel yang berdiri di mana-mana, beberapa orang dekat Kanjeng Pangeran yang mulai putus asa, juga malaria yang menyerang Kanjeng Pangeran. Hitungan-hitungan itu bergerombol, datang satu persatu, dan di hitunganku, melemahkan tetapi tak mampu memadamkan api perlawanan,” lanjut Panggulu, “semuanya mengganggu, tetapi bukan itu yang menjadi pikiranku sekarang.”
“Katakan, Panggulu,” desak Ki Demang.
“Bersedianya Kanjeng Pangeran memenuhi undangan De Kock, itu yang mengganggukuku. Lalu perlakuan De Kock yang tak biasa, aku tak mencium bau perdamaian pada setiap tindakan Belanda,” lanjut Panggulu, “tak pernah ada niat mereka menjadi sahabat. Belanda-Belanda itu sedang bersiasat.”
Ki Demang menghela napas pelan, berusaha terlihat tenang, “Sejak semula aku telah menduga ini siasat. Aku tidak sedang berfirasat, telik sandiku yang mengatakannya.”
“Apa yang mereka katakan, Ndoro?” tanya Panggulu penasaran.
“Saat kedatangan Kanjeng Pangeran di Matesih, diam-diam De Kock menarik dua pasukan gerak cepatnya dari Bagelen dan Kulon Progo. Dia memindahkannya ke Magelang.”