Bagi orang-orang yang sedang menunggu, waktu seolah beku. Itulah yang sekarang dirasakan Simoweling dan Katemi. Mereka menanti kedatangan Sidrap sejak pagi. Sangat pagi, bahkan sisa embun belum benar-benar pergi. Nampan panganan dan cangkir minuman berderet di atas meja mereka.
“Kau yakin janjian jam segini?” tanya Katemi resah, saat itu seperempat kacang garing di piring telah tandas.
“Sebentar lagi dia datang,” balas Simoweling.
Kacang garing di piring tersisa setengahnya, sekarang Simoweling yang mulai gelisah. Badannya bergerak ke sana kemari. Sidrap belum terlihat.
“Ini terlalu pagi, Ni?” pertanyaan Simoweling bukanlah pertanyaan, hanya omongan orang yang tak sabar.
Saat kacang garing di atas piring telah tandas, Simoweling melihat Sidrap melintas di pekarangannya. Dia menarik napas lega, begitu pula istrinya. Tangan mereka beralih ke piring berisi nagasari.
“Masuk, Kang,” teriak Simoweling setelah Sidrap berada di depan pintu.
“Duduklah, Kang,” sambut Katemi. Senyumnya ramah, begitu pula Simoweling.
Sidrap duduk, tak berbasa-basi ketika menyerahkan seikat tembakau srintil yang dibungkus daun pisang, “Periksalah. Apa betul ini tembakau-mu?”
Satu persatu Simoweling membuka lapisan daun pisang yang membungkus tembakau. Mencabut sejumput, mencium aromanya lalu memeriksa cacahan daunnya.
“Tak salah. Ini tembakau-ku!” teriak Simoweling. Dia merasa lega, Katemi hampir berjingkrak gembira.
“Seperti kataku, Kang. Aku berniat membantumu,” lanjut Sidrap.
“Terimakasih. Kau sudah menyelamatkan hidupku,” Simoweling girang. Katemi tak kalah senang, dia yakin tembakau srintilnya tak jadi hilang.
“Sekarang, Kang. Katakan apalagi yang diinginkan saudaramu?” sambung Simoweling.
“Ini bagian terpenting baginya. Aku ingin melihat dan membawa tombak itu padanya sekarang,” sahut Sidrap, ”aku akan meninggalkan tembakau ini sebagai jaminan.”
“Tentu, Kang. Aku berhasil memaksa Wiroboyo agar mengembalikan tombak itu padamu,” Simoweling berbohong, “tunggu sebentar, aku akan mengambilnya sekarang.”
Simoweling masuk ke dalam kamar. Sebentar kemudian dia kembali membawa tombak yang mereka bicarakan. Mata Sidrap berbinar, tombak keluarganya yang hilang kini datang menghampirinya.
“Periksalah. Apa benar ini tombakmu?” kata Simoweling sambil menyerahkan tombak itu pada Sidrap.
Sekilas saja Sidrap dapat mengenali tombak pusaka keluarganya. Dia pura-pura memeriksa detilnya, ukiran berupa padma dan matahari pada pengikat mata tombak masih mencolok mata. Tak ada yang rusak, masih seperti semula.
“Benar, Kang. Ini tombak keluargaku,” lanjut Sidrap.
“Tentang kuda sebagai pembayaran tambahan, kau bisa mengambilnya sekarang,” lanjut Simoweling. Dia tak sabar urusan tembakaunya segera selesai.
“Aku akan mengambilnya sekarang,” kata Sidrap. Sekarang dia mendapatkan tambahan kuda untuk Ratri mengungsi.
“Kapan kau akan menemui saudaramu? Aku ingin mengambil tembakau-ku secepatnya,” sergah Simoweling tak sabar.
“Hari ini aku akan menemuinya, agar urusan tembakau-mu segera selesai. Besok pagi aku akan memberimu kabar. Kau bisa mengambil tembakau-mu sesudahnya,” jawab Sidrap.
Pembicaraan mereka tak lama. Sidrap meninggalkan kediaman Simoweling sambil membawa tombak pusaka keluarga dan tambahan seekor kuda.
ooOOoo
Entah berapa lama Kentrung dan Wiryo berkuda, menembus semak dan dan sesekali melewati jalan setapak yang tiba-tiba hilang berubah menjadi ilalang tinggi. Kentrung menunggang kudanya seolah memiliki patokan pada arah jalan.
Perjalanan menuju tempat pengungsian Kyai Arif tak mudah, mereka sampai saat matahari telah tinggi. Seorang prajurit bersenjata pedang melihat ke arah mereka berdua, mengenali Kentrung lalu memberi tanda agar meneruskan laju kuda.
“Di mana komandanmu Ki Murtani berada?” tanya Kentrung.
“Rumah paling depan, Kang,” jawab prajurit itu sambil menunjuk ke sebuah rumah yang tampak sibuk oleh lalu-lalang pengawal.
Kentrung dan Wiryo segera turun dari kuda lalu menambatkannya di pagar bambu. Seorang laki-laki keluar menyambut kedatangannya. Ki Murtani, salah satu pengawal utama Kyai Arief, menjabat hangat tangan Kentrung dan Wiryo.
“Ada kabar apa, Kang?” tanya Ki Murtani.
“Aku mendapatkan barang sitaan, Kang. Milik orang yang terbiasa menggelapkan ijin dagang,” sahut Kentrung, “tembakau srintil, aku akan mengirimkannya nanti.”
“Sumbanganmu akan menghidupkan perlawanan, Kang,“ ucap Ki Murtani sambil mengalihkan pandangan pada Wiryo, “Aku belum pernah melihatmu.”
“Ini Wiryo, mata-mata kita di pos kepatihan,” potong Kentrung, Wiryo merasa tertolong.
Mata Ki Murtani membesar, tangannya membuka menjadi semacam isyarat ucapan terimakasih pada Wiryo.
“Aku mendapatkan perintah dari Kang Panggulu untuk mulai mengumpulkan keluarga para perlawanan di sini,” sambung Kentrung.
“Berapa keluarga yang kau bawa?” tanya Ki Murtani.
“Satu keluarga. Mereka akan datang satu atau dua hari lagi. Wiryo ini menjadi bagian dari keluarga mereka,” tambah Wiryo.
“Tak masalah, kita membutuhkan banyak lelaki. Jalan perang atau pengungsian sama-sama sulitnya,” ujar Ki Murtani sambil menatap Wiryo.
“Aku tak bisa berlama-lama, hanya mengantar Kang Wiryo. Aku pamit, harus menemui Kang Panggulu di Jogja,” sambung Kentrung.
Kentrung berpamitan pada Wiryo dan Ki Murtani, menaiki kudanya lalu beranjak pergi. Kentrung pergi ke Jogja, dia sudah kehilangan minat mengunjungi rumah judi Katemi.
ooOOoo
Ublik dan dimar di rumah Sidrap dinyalakan sebagian. Gelap, tetapi cukup terang untuk melihat barang-barang.
“Lekaslah berkemas, Ni,” kata Sidrap pada istrinya, lalu berpindah pada Ratri yang sedang menyiapkan pakaian putranya, “kau sudah siap, Nduk?”
“Kita mau ke mana, Romo?” tanya Aryo pada romonya.
“kita berkuda malam-malam, Le. Kau pasti senang,” bisik Sidrap pada putranya.
Aryo mengangkat tangan tanda senang, sebelum kembali memainkan kuda dari glagah pemberian Wiryo.
“Sudah siap, Kang,” seru Lasmi, “kapan kita berangkat?”
“Tinggal satu dua hal kecil, Kang. Aku sedang mengumpulkan mainan Aryo,” tambah Ratri.
Emas pembayaran rumah dan barang berharga ditempatkan pada gembolan-gembolan terpisah. Sidrap masih membungkus tombaknya dengan kain mori dan membuat ikatan erat di sepanjang badannya. Tak butuh waktu lama, semua barang telah siap.
“Kita tunggu Kang Rekso. Dia yang akan menunjukkan jalannya,” kata Sidrap.
“Kang, biar aku tunggangi kuda blirik dari Kang Simoweling,” pinta Ratri, dia menyukai kuda itu sejak kedatangannya.
“Kau tunggangilah kuda itu, Nduk. Biar mbakyumu menunggangi kuda putihnya. Aku bersama Aryo akan menunggangi Gagak Carang,” balas Sidrap.