“Saya enggan menjadi raja di Tanah Jawa atas restu Belanda.” ~ Pangeran Diponegoro
Hari raya tiba, kegembiraan meluap di mana-mana. Di pendopo-pendopo yang ditempati Kanjeng Pangeran, rasa syukur datang dalam bentuk silaturahmi tak berkesudahan. Rakyat, pengawal dan para pembesar saling bersalaman, mengucap permintaan maaf dan berharap kebaikan di bulan setelahnya.
Puasa telah pergi, tetapi ada mata dan telinga yang diam-diam mengawasi. Kebaikan dan keramahan De Kock masih menempel di sudut-sudut pendopo, menyisakan prasangka akan datangnya pertemanan dan persahabatan di masa depan.
Hari ini, Kanjeng Pangeran berniat menemui De Kock untuk bersilaturahmi.
ooOOoo
Hampir setengah bulan Sidrap dan keluarganya berada di tempat persembunyian Kyai Hasan Muhyi. Bulan puasa telah selesai dan sekarang semua orang bersenang-senang merayakan lebaran.
Bagi orang yang waspada, aroma api semakin terasa menguat dari hari ke hari. Di tempat berkumpulnya para pengawal, waspada tertanam dan tak boleh pergi. Di sana, senjata-senjata masih dikeluarkan, diasah dan diusap berulang-ulang. Para petani perlawanan tak mau kalah, memasang keris mereka di ujung bambu menjadi tombak dan lembing panjang. Wajah-wajah tegang berlalu-lalang menunggu datangnya perang. Lebaran di tempat pengungsian berisi campuran antara kegembiraan dan muka tegang.
Di tempat ini, pertama kalinya Lasmi melihat gagahnya laskar putri. Gerak mereka trengginas[1] berhias kilau pedang dan runcingnya anak panah. Berlompatan ke punggung kuda, lincah seolah terbang sambil membidik sasaran. Mata Lasmi membulat, takjub pada apa yang dia lihat.
“Seandainya bisa, aku ingin bergabung dengan mereka,” bisik Lasmi pada Sidrap.
“Kau dibutuhkan di tempat yang berbeda, Ni,” balas Sidrap lalu menunjuk sekumpulan wanita di tenda yang lain, “seperti mereka, dibutuhkan di sini untuk memastikan semua kebutuhan terpenuhi.”
Lasmi melihat ke arah pendopo yang ditunjuk Sidrap. Sekelompok wanita sedang memasak. Kuali-kuali besar menggelegak dan bau masakan menyeruak.
“Aku akan bergabung dengan mereka, Kang. Membantu sebisaku,” kata Lasmi, “bawa tole bermain denganmu.”
Sidrap segera mengambil Aryo dari pangkuan Lasmi, mengangkat tubuhnya lalu mengayunkan-nya sebentar sebelum mendudukannya di atas pundak. Lasmi segera pergi menuju ke arah para perempuan yang sedang memasak.
“Kemana kita, Romo?”
“Berkeliling, biar kau tahu gagahnya prajurit Diponegoro.”
ooOOoo
28 Maret 1830
Lebaran hari kedua. Dari pesanggrahannya di Matesih, Kanjeng Pangeran dikawal pasukan utama menuju residen Kedu. Sebelas orang terdekat dan pengawal utama berjalan rapat sebagai rombongan utama. Para pengawal tambahan dan pengiring lainnya membentuk rombongan berbeda, berjalan rapi di belakangnya.
Tersembunyi di balik pepohonan dan tingginya perbukitan, Rekso mengawasi rombongan Kanjeng Pangeran dan semua pergerakannya. Menjelang tempat pertemuan, Rekso terkesiap ketika melihat sepasukan hussar dari resimen 7 Belanda–Rekso mengenali mereka–tiba-tiba muncul dan mengambil alih pengawalan Kanjeng Pangeran. Dilakukan halus, perlahan dan diam-diam tanpa menarik perhatian.
Komandan Belanda berbicara sopan pada Kanjeng Pangeran sebagai pengalih perhatian. Sementara perwira rendahan berbicara dengan pengawal tambahan dan para pengiring. Mereka segera mempersilakan rombongan utama melanjutkan perjalanan tetapi menahan rombongan kedua dan mengalihkan arahnya.
Orang-orang di rombongan utama tak menyadari mereka telah kehilangan para pengawal di rombongan kedua, menyisakan pengawal utama yang tak seberapa jumlahnya.
Memasuki Kedu, Rekso semakin menyadari siasat sedang dijalankan. Dia menghitung jumlah pasukan Belanda yang menunggu di sana. Hampir dua kali lipat dari hari biasa. Tak ada kesempatan bagi Rekso untuk memberi tanda. Dia sendirian dan tak mungkin memberi peringatan pada rombongan.
Rombongan Kanjeng Pangeran telah dilucuti tanpa sadar. Rekso hanya bisa berdoa. Semoga tak terjadi apa-apa.
ooOOoo
Api di panden Panggulu telah dipadamkan sejak lama, tetapi panasnya masih terasa. Perlawanan sedang berada di puncak sulitnya. Panggulu dan Kentrung duduk mengelilingi meja kecil di belakang panden, tersembunyi oleh rapat dan besarnya pohon-pohon.
“Berapa banyak keluargamu yang akan bergabung, Kang?” tanya Kentrung.
“Selain Rekso, lebih dari lima belas orang telah bersiap. Sebagian besarnya keluarga yang ikut denganku menjalankan panden,” jawab Panggulu.
“Setidaknya ada dua puluh lima orang anak buahku yang berbulat tekad bersamaku,” sambung Kentrung.
“Sebaiknya kau siapkan mereka mulai sekarang, Kang,” kata Panggulu.
“Bergabunglah denganku. Kita berjuang bersama-sama di bukit-bukit dan hutan Sleman. Kita saling menguatkan, panden-mu tak aman lagi,” kata Kentrung. Panggulu mengangguk.
“Aku perlu menyiapkan orang-orangku,” sambung Panggulu, “semoga Sidrap dan Rekso sampai di sini sebelum kita pergi.”
“Jangan khawatir, Kang. Mereka tahu kemana mencari kita,” imbuh Kentrung.
ooOOoo
28 Maret 1830, sekitar jam 7.30 pagi
Sambutan telah disiapkan. Residen Kedu, Valch, menyambut kedatangan rombongan Kanjeng Pangeran dengan senyum lebar dan keramahan yang tak biasa.
“Kanjeng Pangeran, tuan De Kock telah menunggumu di ruang baca,” sambut Valch, tangannya membentang lebar memberi isyarat tak ada rahasia yang dia sembunyikan.
Kanjeng Pangeran segera menuju ruang baca, sebelas pengikutnya duduk di ruang tamu dibatasi semacam sekat tembus pandang. Mereka masih bisa mengawasi Kanjeng Pangeran.
Dari ruang tamu, para pengiring dapat melihat dua musuh bebuyutan itu berbincang akrab. Tubuh kurus Kanjeng Pangeran yang terserang malaria sesekali terguncang karena tertawa. Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi silaturahmi di lebaran kedua ini terasa menyenangkan.
Tak lama datang Major Johan Perie, komandan kavaleri yang disegani. Dia mengambil tempat di ruang tamu, mendatangi para pengiring dan menyapa mereka dengan keramahan yang luar biasa.
“Apa kabar tuan-tuan?” Sapanya dengan keramahan serupa Valch. Tangannya terbuka seolah ingin menunjukkan tak ada rahasia yang dia sembunyikan. Para pengiring Kanjeng Pangeran berdiri, sopan membalas dengan keramahan yang serupa. Mereka segera tenggelam pada percakapan yang menyenangkan. Gelak tawa menggema. Berkali-kali Mayor Johan tertawa saat Bantheng Wareng, pembantu Pangeran yang bertubuh cebol mulai bertingkah.
ooOOoo