Hampir tengah malam ketika Mbah Kung selesai bercerita. Kopi di cangkir kami telah tandas, demikian pula isi teko. Wajah Mbah Kung terlihat lelah sekaligus sumringah[1]. Uti telah selesai dengan sulamannya, entah kapan aku tak memperhatikan, benang-benang dan semua peralatan telah rapi disimpan.
“Kau ngantuk, Le?” tanya Mbah Kung. Aku menggeleng.
“Sekarang kamu tahu sejarah keluarga kita.”
“Apa yang terjadi dengan buyut Sidrap, Kung?” tanyaku penasaran.
“Oh ya, aku lupa memberitahumu akhir penting sejarah keluarga kita,” seru Mbah Kung. Beliau menyesap kopi yang tak ada airnya lagi, wajah lelahnya mendadak hilang.
“Buyut Sidrap tak ada kabar lagi. Beberapa orang bilang beliau telah syahid, gugur ketika menahan laju Belanda dan prajurit Kepatihan yang memburu para pelarian.”
“Kompeni itu memburu rombongan Buyut Lasmi dan Buyut Ratri yang sedang melarikan diri?” tanyaku.
“Mungkin, tetapi berkat Buyut Sidrap mereka lolos. Meski Buyut Sidrap tak ada kabar lagi sesudahnya.”