Jangan Ganggu Mbah Kung di Bulan Oktober

Ferry Herlambang
Chapter #18

Bagian II: Masa Gestok

Setelah menikah, aku dan istriku berencana menempati rumah depan. Mbah Kung dan Uti setuju lalu semua barang milik kami dipindahkan dan acara selamatan-pun diadakan. Tetapi pada malam hari–tepat sebelum kami menempati rumah depan–Mbah Kung mendatangi kami sambil berkata, “Kalian tetaplah tinggal di rumah belakang.”

“Aku dan istriku hanya pindah ke rumah depan, Kung,” jawabku sambil tersenyum, "bukan ke lain desa apalagi ke luar kota."

“Aku tahu, tapi rumah belakang akan terasa sepi tanpa kalian. Suara-suara akan berkurang, aku khawatir nyawa rumah perlahan-lahan akan hilang,” jawab Mbah Kung.

Uti memberi isyarat agar aku menuruti. Begitulah, pada akhirnya rumah depan hanya menjadi tempat penyimpanan barang-barang.

Tetapi setiap Oktober, Aku, istri dan putraku akan pindah ke rumah depan. Memberi ruang pada Mbah Kung untuk merenung di rumah utama, menghindari keramaian, menolak kesenangan dan hanya bicara ketika perlu saja.


ooOOoo


Beberapa hari sebelum Oktober, Uti menyiapkan semua keperluan untuk pindah ke rumah depan. Sprei yang lama terpasang diganti baru. Begitu pula sarung bantal, guling, gorden dan taplak meja. Entah dengan apa Uti mencucinya, wanginya melebihi harum melati.

Seharian aku dan Uti membersihkan rumah. Biasanya kami memanggil orang untuk membantu, tapi kali ini Uti melarangku memanggil Lek Ujo–tetangga yang biasa membantu–karena ingin menghabiskan waktu dengan keluarga saja. Lagipula ada istriku yang biasa menyiapkan apapun yang kami perlukan.

Uti ingin bercerita sesuatu padamu, katanya. Pasti Uti ingin membicarakan hal penting yang orang lain tak boleh tahu.


ooOOoo


Entah mulai kapan Uti memasak makanan melebihi kebutuhan. Sepincuk makanan ditaruhnya di ranting sawo kecik. Awalnya aku tak tahu kenapa Uti melakukannya. Saat kecil, diam-diam aku mengawasi makanan itu sampai muncul seorang perempuan gila mengambilnya lalu berlari dan menghilang di balik pagar.

Sekali waktu aku ingin menyapa perempuan itu. Pendengarannya setajam kelinci, dia segera menengok ke arahku begitu mendengar derit pintu. Matanya terbelalak, menyeruak dari wajahnya yang dipenuhi debu.

“K …. Karno ….” teriaknya. Tubuhnya membatu, tetapi sebelum aku sempat mendekat, perempuan itu telah meloncat pergi. Larinya kencang sekali.

Lihat selengkapnya