Jangan Ganggu Mbah Kung di Bulan Oktober

Ferry Herlambang
Chapter #19

Bab 16: Tak Ada yang Baik-Baik Saja di Tahun 65

Tak ada yang baik-baik saja di tahun 1965, untuk alasan itulah, pagi di rumah Trimo Salam menjadi waktu yang diinginkan banyak orang. Suara perkutut bersahutan, burung liar dan tupai berloncatan di pohon-pohon besar.

Kursi bambu di samping rumah, secangkir kopi, senampan panganan dan tembang-tembang dari radio transistornya menjadi cara paling sempurna menikmati semua.

Trimo Salam–orang-orang memanggilnya Mbah Salam–berusia senja. Usia tua memaksanya untuk lebih sering di rumah. Sebenarnya bukan usia yang memaksa, Mbah Salam masih bersemangat pergi meladang mengawasi padi, menyiangi rumput atau mengusir burung-burung liar. Namun kedua anaknya, Karno dan Kasdi, yang memintanya untuk sering di rumah dan sesekali saja mengawasi sawah. Kedua anak itu sekarang menggantikan tugasnya bergantian.

Karno lebih sering berada di sawah, sementara Kasdi kakaknya harus bersekolah ke kota. Saat libur seperti sekarang ini, Kasdi akan menghabiskan waktunya menemani adiknya di sawah.

Di mata Karno, Kasdi adalah kakak yang sempurna. Meski pada kenyataannya, Kasdi menggantungkan banyak hal pada dirinya. Kasdi memang pintar, tak ada yang meragukan. Bukan sekedar pintar, tetapi dia terkenal se-kecamatan. Kalau ada tempat paling baik untuk bertanya isi buku, Kasdi-lah orangnya. Kalau ada lawan main catur yang tak tertandingi, semua orang akan menyebut namanya.

Pada jejak Kasdi, Karno ingin mengikuti. Tetapi dia sering lupa, pada dirinyalah Kasdi menyerahkan banyak urusan hidupnya.


ooOOoo


Lapangan desa Gondanglegi, Kediri

Semuanya berawal dari kejadian Kanigoro, ketika Pemuda Rakyat dan BTI menyerang dan menyiksa peserta pelatihan Pelajar Islam Indonesia. Mereka melecehkan pelajar wanita, merampas mushaf Al-Qur’an, bahkan merobek dan menginjak-injaknya. Kejadian di Kediri itu merembet kemana-mana, menjalar sampai ke desa-desa, menjadi pembicaraan di meja makan dan acara pengajian. Pemuda Ansor dan BTI beradu urat di banyak tempat.

Beberapa tahun yang lalu, lapangan desa menjadi tempat yang paling menyenangkan, tempat berkumpulnya banyak jenis kegembiraan. Anak-anak bermain layangan, saling menyambit dan memutuskan benang. Pertempuran hanya ada pada putusnya tali benang lawan, lalu bocah-bocah berlarian mengejar layang-layang pecundang. Yang menang melompat kegirangan, yang kalahpun tetap merasa senang.

Pada hari di bulan yang paling baik–biasanya setelah panen–rombongan pasar malam akan datang membawa kesenangan, tenda-tenda didirikan dan terangnya lampu petromaks akan menarik orang-orang untuk datang.

Tapi sekarang semuanya berubah, anak-anak mudanya terpecah, menjadi kelompok-kelompok yang saling curiga sejak partai-partai dari kota menyebarkan orang-orangnya berebut massa. Orang-orang menjadi mudah marah.

Lapangan desa tak lagi menyenangkan. Perkelahian menjadi hal biasa, caci maki menjadi yel-yel yang selalu terjadi. Lapangan desa berubah menjadi padang Kurusetra.

Pasar malam menghilang, berubah menjadi mimbar-mimbar orasi yang berisi caci maki. Perpanjangan tangan partai bergerilya merayu-rayu siapa saja, mendatangi rumah-rumah dan gubuk sawah, mengubah baju serigala mereka menjadi bulu domba.

Suatu waktu, sinder Genggong pernah berkata, “Enam lima menjadi tahun yang berbahaya.” Saat itu dia sedang berorasi di atas mimbar, mengobarkan semangat pendukungnya sekaligus menebalkan kebencian pada lawan-lawannya. Semua orang tahu, sinder Genggong pentolan BTI.

Sekarang, penduduk desa tak lebih dari sekumpulan hewan buruan yang pantas menjadi korban. Setiap kerumunan akan berujung pada perkelahian. Petani, buruh dan orang-orang yang tak mengerti terjebak di tengah-tengahnya.

PKI dan para pemuda Ansor sama rata di kampung ini. Panasnya peristiwa Kanigoro terbawa sampai ke rumah-rumah, menjadi pembicaraan, menggumpal dan beranak-pinak menjadi kebencian.

Di lapangan desa, genjer-genjer terdengar setiap hari.


ooOOoo


Rumah Darman Dengklang[1] hanya berjarak dua rumah dari Mbah Trimo. Tetapi ketenangannya seperti bumi dan langit. Kediaman Mbah Trimo tenang oleh suara burung perkutut, gemericik air dan gesekan daun, sedangkan rumah Darman Dengklang selalu ribut oleh tingginya suara dan teriakan para penghuninya.

Siang ini Darman Dengklang kedatangan empat orang tamu, berbadan kekar dengan tampilan sangar. Rajah tanpa bentuk menghiasi lengan-lengan hitam mereka.

“Di mana Jimin?” bentak salah satu dari mereka, tangannya berkacak pinggang, ludahnya berhamburan dan perut buncitnya maju ke depan. Siang hari di rumah Darman semakin tak menyenangkan.

“Sudah seminggu dia tak pulang. Kalian siapa?” balas Darman berusaha ramah. Sebetulnya Darman tak perlu bertanya, dia tahu siapa mereka. Siapapun tamu bertubuh sangar yang datang mencari anaknya, urusannya pasti soal utang. Berulang kali terjadi hingga Darman tak kaget lagi.

“Kami tak percaya!” bentak salah satu dari mereka sambil masuk ke dalam rumah. Darman minggir tak menghalangi. Ritual semacam ini biasa dia alami. Selanjutnya mereka akan menggeledah rumah, masuk ke kamar-kamar lalu membawa barang yang bisa mereka sita. Darman sudah hapal semuanya. Dia tenang, tak ada barang berharga di rumahnya yang bisa mereka bawa.

Benar saja, keempat orang itu melakukan semua yang sudah dipikirkan Darman. Tak lama keempatnya keluar sambil membawa bungkusan yang dibuka acak-acakan.

“Aku bawa baju ini!” suara tukang tagih itu masih tinggi, “aku kembalikan kalau Jimin sudah membayar hutang!”

Orang-orang itu keluar sambil menendang pintu, mendorong Darman dan berjalan dengan langkah kasar ke arah jalan.

Darman melongo. Dia tak pernah melihat bungkusan yang mereka sita. Dia ingin bertanya pada Tini istrinya, tetapi dia sedang pergi entah ke mana. Mungkin mencari hutangan atau menggunjing di rumah orang.


ooOOoo


Lihat selengkapnya