Di usia belia, Mbah Salam telah berpetualang ke mana-mana. Menjadi bocah kecil yang tak takut menelusup ke garis belakang musuh, sampai mencuri berita dari percakapan tentara-tentara Belanda. Dari tangan kecilnya informasi antar gerilyawan berpindah dengan aman.
Di masa mudanya, Mbah Salam dikenal sebagai pemuda yang nyalinya semacam singa. Saat remaja, Mbah Salam memalsukan umur lalu bergabung dengan tentara, mengangkat senjata dan menjelajah ke banyak daerah. Pertempuran menjadi mainan bagi Trimo Salam muda. Dia sering bercerita tentang mengerikannya pertempuran Surabaya.
Mbah Salam tak memiliki masalah di umurnya yang sekarang, kecuali duduk seharian tanpa pekerjaan. Pikirannya memiliki banyak rencana, tetapi tubuh tuanya sering tak menuruti keinginannya. Kasdi dan Karno tahu, sebab itulah kedua anak itu melarang Mbah Salam pergi ke ladang.
Sebentar lagi Karno akan menunaikan tugas belajarnya ke Uni Soviet. Mbah Salam yang bangga berniat mengadakan selamatan bagi lancarnya hajat anaknya, sekaligus berbagi kesenangan dengan banyak orang.
“Le, biar aku saja yang mengundang orang-orang. Sekalian bertemu teman-teman,” kata Mbah Salam pada Kasdi. Karno menoleh pada kakaknya, dia keberatan bapaknya keliling desa, sekaligus kasihan melihatnya seharian berada di rumah tanpa banyak kegiatan.
“Nggih, Pak,” sahut Kasdi, “tetangga yang sederet saja. Undangan jauh biar Dek Karno dan Winarsih saja.”
Mbah Salam senang, dia masuk ke kamar dan segera berganti pakaian. Semangatnya menyala seperti ketika menjalani masa perang. Kasdi tersenyum, senang melihat kilat semangat di mata tua bapaknya.
Mbah Salam pergi dengan pakaian rapi. Mengenakan baju batik dan sarungnya yang wangi, juga sandal lily yang lama tak terpakai.
Karno dan Kasdi tahu, bapaknya akan berlama-lama di rumah para tetangga. Banyak teman seusianya yang masih ada, beberapa di antaranya terbaring sakit karena usia tua. Mbah Salam pasti akan berbincang lama dengan mereka.
“Biarkan saja, Dek. Kasihan kalau bapak terlalu lama di rumah. Bapak perlu bicara dengan teman-temannya,” kata Kasdi memahami kekhawatiran adiknya. Karno memang mengkhawatirkan bapaknya. Sebetulnya, Karno mengkhawatirkan siapa saja termasuk Kasdi.
“Pergilah ke rumah Winarsih, minta tolong padanya mengundang orang-orang,” lanjut Kasdi, “kau hapal orang-orang yang harus diundang?”
“Hapal, Kang. Semua orang,” sahut Karno sambil tertawa. Bapaknya telah berpesan untuk mengundang semua orang. Kabar gembira harus dibagikan, selain itu pantang bagi Mbah Salam menyinggung perasaan jika harus memilah-milah tamu yang diundang.
Karno segera beranjak keluar menuju rumah Winarsih.
Winarsih–gadis kecil yang kakinya seperti melayang ketika berjalan–biasa membantu di rumah Mbah Salam, begitu pula kedua orang tuanya. Rumah mereka bersebelahan. Berbeda dengan gadis di desa itu, Winarsih sudah fasih menulis membaca, Kasdi yang mengajarinya.
Mereka bertiga sangat dekat. Saat Kasdi kembali dari kota, Winarsih dan Karno seperti berebut perhatiannya.
ooOOoo
Darman menemui Tini di rumah mertuanya. Selalu begitu setiap dia minggat. Rumah mertua Darman sepi, di tengah sawah dekat area pekuburan. Anginnya kencang, orang harus berbicara lantang agar saling dengar. Sepertinya dari sinilah sumber teriakan dan suara lantang Tini berasal.
“Aku tak mau pulang sebelum kau belikan baju dan kebaya baru,” rengek Tini, kakinya menghentak-hentak seperti bayi.
“Dari mana aku mendapatkan uang, Dek?” putus asa suara Darman, “bayaran mencukur ala kadarnya, seikhlas yang memberi.”
“Aku tak peduli!” teriak Tini, hampir menjerit, “kalau kau bisa mendidik anak itu, aku tak akan kehilangan baju dan kebaya baruku.”
“Anak itu namanya Jimin, Dek. Dia anak kita,” timpal Darman, entah bermaksud mengingatkan atau melucu, tetapi marah di wajah Tini makin menjadi-jadi.
“Apa aku harus mencuri lagi? Atau mencopet di pasar?” lanjut Darman, “kau mau kakiku bertambah pincang?”
“Aku tak peduli. Pokoknya belikan aku baju baru! Setelah itu aku akan kembali dan membuatkanmu kopi,” teriak Tini, matanya melotot, urat di lehernya membesar seukuran ibu jari.
Darman menunduk lesu. Mertua-nya tak kelihatan, pasti sedang bersembunyi entah di mana. Mungkin meringkuk di balik nisan-nisan kuburan atau naik ke pohon asam di tengah persawahan. Merekapun ngeri dengan jeritan Tini.
Darman mencoba banyak cara tetapi sia-sia. Tini makin mengamuk, merajuk dan menjerit-jerit seperti orang gila. Demit-demit kuburan seperti sedang menempel di pikirannya.
Darman pulang ke rumah, kepalanya menunduk menatap kakinya yang sedang menyepak-nyepak debu. Pikirannya hampir buntu tak tahu bagaimana cara menebus baju Tini.
Saat hampir terjungkal karena tersandung batu, Darman terpikir pada Mbah Trimo. Sudah lama dia tak berhutang padanya. Beberapa waktu yang lalu dia mendengar Sinder Genggong meminjam uang pada lelaki tua itu.
Sinder Genggong pasti meminjam uang dalam jumlah besar. Sedangkan dirinya hanya butuh uang kecil, Mbah Trimo pasti akan memberikannya.