Jangan Ganggu Mbah Kung di Bulan Oktober

Ferry Herlambang
Chapter #21

Bab 18: Firasat

Karno, Kasdi dan Winarni seperti tiga orang dengan satu kaki. Ke mana-mana selalu bersama, setidaknya begitu yang dilihat orang-orang. Begitu pula hari ini, sejak pagi mereka telah datang di gubuk dan mengatur para buruh untuk menuai padi. Karno sesekali ikut membantu derep[1], mengatur tumpukan padi sebelum dinaikkan ke atas pedati sekaligus mengawasi.

Winarni sibuk ke sana kemari mengerjakan apa saja, mengambil rantang makan siang, menyiapkan peralatan sampai membelikan rokok buruh, dia yang menangani. Kasdi menyebut Winarsih sebagai kepala bagian semua urusan.

Sementara Kasdi lebih suka menghabiskan waktu dengan duduk di dalam gubuk bersama tumpukan buku.

Sesekali Kasdi keluar dari gubuk lalu berteriak pada adiknya, “Beres, Dek?” lalu kembali masuk dan tenggelam dengan bacaannya. Tak menunggu ataupun peduli pada jawaban Karno.

Para buruh mendongak, melihat ke arah Kasdi lalu menggeleng sambil tersenyum, “Anak-anak Mbah Salam memang beda. Satunya hitam legam bau lumpur, satunya seperti priyayi yang hanya tahu cara membaca buku,” bisik salah satu buruh sambil tertawa.

Tapi jangan salah, meski Kasdi hampir tak pernah turun ke sawah, dialah yang mereka tunggu-tunggu kedatangannya. Kalau sekedar ngluku[2], menanam atau menuai padi buruh-buruh itu sudah ahli. Tetapi tak ada satupun dari mereka yang bisa membaca. Dari Kasdi-lah mereka mendengar banyak cerita dari buku-buku yang dia baca. Mereka menantikan Kasdi setiap pagi, siang dan terutama saat istirahat sebelum pulang.

Lagipula, Kasdi bukanlah pemalas seperti yang terlihat. Kemampuan terhebatnya–menghalau burung pipit–banyak membantu semua orang.


ooOOoo


Di kantor PKI cabang desa, Genggong bergaya seperti politikus raksasa. Memasang wajah seperti Aidit dan berkacak pinggang layaknya Mao Tse Tung, tangannya bergerak-gerak seperti sedang berorasi di depan massa.

“Ketuban revolusi akan pecah, kawan-kawan,” ujar Genggong sambil menyalakan rokoknya, “sebentar lagi.”

“Kabar apa yang kau dapatkan?” tanya salah satu temannya.

“Selentingan, tapi mendekati benar,” sambung Genggong mulai menghisap rokoknya dalam-dalam, menghembuskan asapnya pelan membentuk lingkaran yang terbang ke atas wuwungan.

Semua orang diam, menunggu kelanjutan ucapannya. Genggong menekuk mulut, menajamkan pandangan dan mengeraskan gerahamnya seolah sedang menggenggam rahasia dunia.

“Katakan apa yang harus kami lakukan, Kawan.”

“Bersiap, menunggu perintah dan selalu waspada. Kalian tahu musuh-musuh revolusi, tujuh setan desa telah menghisap darah kita seperti lintah. Sepanjang umur kita.”

“Seberapa penting kejadian yang sedang kau bicarakan?” tanya yang lain, dengan rasa penasaran yang sama besar.

“Sangat penting! Kalian harus siaga. Begitu pula keluarga dan istri kalian,” sahut Genggong, “kalau perlu, tunda dulu kalau istri kalian akan melahirkan.”

Genggong bukan siapa-siapa, dia hanya sinder kebun tebu yang senang menirukan gaya dan membayangkan dirinya sebagai tokoh revolusioner besar. Sesekali dia bergaya layaknya Bung Besar, sesekali menirukan Aidit. Tapi dia tak berani bergaya seperti Nyoto, karena Triman telah menirunya.

Seringkali kabar darinya terbukti benar. Genggong mencuri dengar dari Triman lalu menyebarkannya sebelum orang lain tahu. Selain itu, tak ada yang menandingi keberanian Genggong saat bergerak di jalanan.

Genggong mendapatkan reputasinya karena sering mencuri dengar dan tubuh pendeknya yang kekar.


ooOOoo


Lek Ngateno berjalan tergesa di pematang sawah, sesekali terpeleset karena licinnya tanah. Setengah berlari. Winarsih segera menyambutnya, dia merasa sesuatu sedang terjadi.

“Ada apa, Pak?” tanya Winarsih sambil memegangi tangan bapaknya, setengah kakinya kotor belepotan lumpur.

“Mbah Salam menyuruh kalian pulang, sekarang juga,” jawab ayahnya, wajahnya menegang dan napasnya terengah-engah. Winarsih segera berbalik ke arah gubuk tempat Karno dan Kasdi berada.

“Mas, Mbah nyuruh kalian segera pulang. Sekarang juga,” kata Winarsih.

Kasdi dan Karno segera membereskan barang-barang, tak bertanya apa-apa lalu berlari pulang. Mereka khawatir sesuatu terjadi pada bapaknya.

Winarsih bersama bapaknya mengikuti mereka dari belakang.

Lihat selengkapnya