Jangan Ganggu Mbah Kung di Bulan Oktober

Ferry Herlambang
Chapter #22

Bab 19: Sepeda Gazelle Mbah Salam

Sebelum Tini minggat, Darman tak suka berlama-lama di tikar tempat tidurnya. Melek mata dia langsung berjalan menuju teras depan sambil membawa secangkir kopi. Hidupnya terasa tenang, burung-burung di dalam kepalanya berbunyi melebihi merdunya tembang-tembang sinden yang terdengar di radio transistor Mbah Salam.

Tetapi sekarang semuanya berbeda. Bangun tidur, dia memilih untuk berlama-lama di tikarnya. Memikirkan cara mencari uang menebus baju Tini. Jimin masih belum nampak batang hidungnya. Kalau bocah itu muncul, Darman tak segan-segan menyambit kepalanya.

Sejak semalam dia belum tidur, kepalanya pusing memikirkan cara mendapatkan uang. Mbah Trimo yang menjadi satu-satunya harapan telah menolak memberi bantuan. Saat datang di acara selamatan Kasdi, mata Darman berputar-putar melihat tumpukan perabotan yang ditumpuk di pinggir halaman. Saat melihat sepeda Gazelle Mbah Salam, tiba-tiba saja pikirannya kembali ke masa lama saat dirinya muda dan segarang singa.

Keberanian dan kenakalan masa mudanya tersulut kembali. Darman tak seperti Jimin, dia berani bertindak berani pula mengambil akibatnya. Dia pernah menjadi pencuri, penipu dan tukang obat di pasar, berkelahi dan mengelabui pikiran banyak orang.

Demi Tini tercintanya, tak ada pilihan selain kembali ke masa lalunya.


ooOOoo


“Kalian sudah salat?” tanya Mbah Salam sambil melongok ke kamar putranya. Karno lebih suka menghabiskan waktu bersama Kasdi sampai tertidur di sana.

“Belum waktunya, Pak. Sebentar lagi,” jawab Karno.

“Hari ini jangan kemana-mana, ya. Kalian tak perlu ke sawah,” sambung Mbah Salam.

“Kalau kami tak ke sawah, siapa yang mengawasi orang-orang, Pak?”

“Biar saja, nanti mereka pasti akan ke sini minta kiriman. Aku beri uang saja untuk membeli rokok dan makanan,” sahut Mbah Salam.

“Inggih, Pak,” jawab Karno, dia merasa sawah menjadi tanggung jawab yang harus dia jalankan.

Mbah Salam berjalan kembali ke kamarnya. Rasa was-was membuatnya bangun sebelum waktunya. Firasat tak enak di hatinya belum juga hilang.


ooOOoo


Sekeliling rumah Mbah Salam masih gelap. Pekat. Pojok rumahnya hanya diterangi ublik-ublik kecil yang cahayanya menari-nari ditiup angin. Pagar rumahnya berupa semak kemangi yang tak terlalu tinggi, Mbah Salam membangunnya hanya sebagai penanda batas tanah, bukan untuk memisahkan rumah dari tetangga sebelah.

Sesosok bayangan mengendap dari bagian belakang rumah, berjalan hati-hati sebelum meloncati pagar kemangi. Arah kakinya tak ragu menuju ke samping rumah tempat sepeda Gazelle Mbah Salam berada. Sosok itu tahu tujuan dan arah jalannya. Benar saja, sekejap kemudian sosok itu melepaskan jagang[1] sepeda lalu menuntunnya pelan-pelan.

Sosok itu tahu apa yang harus dilakukan, dia tak memiliki keraguan memilih arah meski gelap masih menyelimuti pekarangan.

Sepeda Gazelle Mbah Salam dituntunnya pelan.


ooOOoo


Kasdi masih membaca buku sementara Karno memilih merebahkan badan di atas tumpukan bantal. Sesekali saja mereka berbicara sambil menunggu adzan subuh berkumandang. Tiba-tiba Karno mendongakkan kepala, wajahnya memasang sikap waspada. Kasdi menoleh terkejut oleh gerakan Karno yang tiba-tiba.

“Ada apa, Dek?” bisik Kasdi.

Lihat selengkapnya