Jangan Ganggu Mbah Kung di Bulan Oktober

Ferry Herlambang
Chapter #23

Bab 20: Nanah di Nadi Sejarah

Akhir September 1965

Selain usia tua; medan perang, kehilangan teman dan merasakan dekatnya kematian telah mengajarkan banyak hal pada Mbah Salam. Peristiwa-peristiwa besar selalu terulang dan alam memberikan tanda sebelumnya. Bagi Mbah Salam, firasatnya adalah pemberi tanda.

Sudah dua hari perkutut di rumahnya berhenti berbunyi, datang bersamaan dengan firasat tak menyenangkan yang dirasakannya. Ada lubang kosong di hatinya yang tak jelas penyebabnya. Dia tak tahu apa, Mbah Salam merasa suwung[1], ada rasa sedih yang datang tiba-tiba. Bahkan usia tua tak mampu memberitahu rasa sedih macam apa yang kini ada dirasakannya.

Mbah Salam hanya bisa mengingat, firasat ini pernah dia rasakan beberapa saat sebelum kematian orang tuanya, menjelang kedatangan tentara Jepang.

Lelaki tua itu berusaha mengusir rasa gundahnya dengan tahajud selepas tengah malam lalu membaca Al-Qur’an sampai menjelang azan. Hatinya sedikit tenang, tetapi ruang kosong itu datang lagi setelah shalat subuh. Sekarang Mbah Salam membacanya sebagai tanda yang harus dibaca dengan hati-hati.

Jam lima pagi dia menuju tempat yang paling disenanginya, teras samping rumah sambil menikmati secangkir kopi, senampan penganan dan memutar radio kesayangan, mencari suara apa saja yang disenanginya. Pagi ini hanya ada suara radio, siaran RRI dengan tembang-tembang Jawa yang menghibur hati.

Telah dua hari perkututnya berhenti berbunyi.


                                                                                              ooOOoo                                         


Kaki kiri Darman bengkak, membesar hampir dua kali lipat ukuran normal. Seolah ada balon besar yang dimasukkan ke dalam dagingnya lalu dipompa paksa. Sakitnya luar biasa, berulang kali dia meringis menahan ngilu setiap kali bergerak.

Perlahan Darman meraba bagian yang paling sakit, mencoba memeriksa posisi tulangnya. Baik-baik saja, tak ada yang melesak patah. Hanya ngilu lebam karena luka dalam yang membuat kakinya membesar, warnanya berubah menjadi biru kehitaman.

Darman meringis merogoh saku di celana kumalnya, mengeluarkan beberapa kepeng receh dari Mbah Salam. Dia ingin membuangnya tetapi berpikir dua kali, dia butuh setidaknya untuk membeli sarapan dan secangkir kopi.

Sakit hatinya semakin menjadi-jadi pada Mbah Salam. Seandainya lelaki itu memberinya pinjaman, tentu dia tak akan mencuri, dan kakinya tak akan bengkak sebesar ini. Terpenting, Tini pasti sudah kembali dan membuatkannya kopi.

Sakit hati membawa ingatan Darman pada pidato Triman di lapangan desa. Ganyang tujuh setan desa, begitu teriakan Triman. Saat ini di mata Darman, Mbah Triman telah menjadi bagian dari tujuh setan desa.

Darman berusaha berdiri, dia harus membeli kopi di warung Mbok Rih. Setiap langkahnya adalah perjuangan menahan rasa ngilu. Di setiap langkahnya, dia teringat pada pidato Triman, dan di setiap sakit yang dirasakannya, Darman mengingat wajah Mbah Salam.

Ganyang tujuh setan desa, pekik Darman dalam hati.


ooOOoo


Kantor PKI cabang desa tak pernah sepi. Sejak perintah orang kecamatan datang, mereka berkumpul hampir setiap hari, mengobarkan semangat dan saling menyemangati. Pagi ini menjadi pertemuan yang besar, orang-orang Lekra dan BTI berkumpul. Tak hanya dari desa Gondanglegi, banyak anggota luar desa yang datang. Mereka meluber sampai ke halaman dan jalanan.

“Kawan Triman silahkan berbicara dan membuka pertemuan umum kita,” moderator mempersilakan.

Triman berdiri, merapikan baju lalu membetulkan letak kacamatanya sebelum membuka acara. Pelan mengalun lalu meninggi tak lama kemudian.

“Tak ada lagi yang patut kita takutkan,” seru Triman, “tak ada perlawanan besar bagi setiap pergerakan kita.”

Orang-orang terdiam, takzim mendengarkan.

“Kawan-kawan BTI tak kenal lelah meminta keadilan, berdarah berkeringat tanpa takut,” sambungnya berapi-api, ”begitu pula kawan-kawan Lekra, setiap hari menyajikan ideologi dan tujuan revolusi di jalan-jalan, rumah-rumah dan aku yakin menjadi percakapan di meja makan.”

Tepuk tangan menggema, ruangan dalam sampai jalanan dipenuhi semangat kaum revolusioner. Nyali setiap orang membesar. Pertemuan umum itu tak memiliki tujuan, hanya sekedar berkumpul dan menunjukkan kekuatan. Seperti perintah orang-orang kecamatan.

“Genjer-genjer setiap hari!” teriak Triman membakar semangat.

“Genjer-genjer setiap hari!” sahut semua orang.

“Lanjutkan lagi slogan lama, sama rasa sama rasa,” lanjut Triman semakin berapi-api, “ganyang tujuh setan desa!”

Sambutan menggema. Suara lantang Triman masuk ke relung-relung hati mereka, berubah menjadi sebuah tekad bulat. Setan desa harus binasa.

 

ooOOoo


Pagar kemangi di rumah Mbah Salam telah dipotong rapi. Lek Ngateno membabatnya tadi pagi, juga semak, rumput dan ilalang yang mulai tinggi. Winarsih membantu, dia menyiapkan kopi dan sarapan sambil menunggu bapaknya.

“Buang saja ke belakang, Nduk. Biar jadi pupuk,” kata Ngateno.

Winarsih patuh, mengambil sisa-sisa potongan kemangi, rumput dan ilalang lalu membuangnya ke belakang rumah. Potongan-potongan kecil disapu dan dikumpulkan di cikrak[2] bambu.

Lihat selengkapnya