Jangan Ganggu Mbah Kung di Bulan Oktober

Ferry Herlambang
Chapter #24

Bab 21: Kabar-Kabar yang Membesar

Genggong dan kawan-kawannya semakin kurang ajar, Legiman membicarakannya setiap saat sejak pulang dari sholat subuh. Sepanjang jalan Sugik sabar mendengar, dia paham darah muda Legiman lebih mudah terbakar daripada dirinya yang terbiasa menahan diri dan berhitung dengan kemungkinan-kemungkinan.

“Aku akan bergabung dengan Mas Imron nanti malam, Mas.”

“Aku lebih suka kalau kau menjaga rumah Mbah Salam, kasihan dia sudah tua. Aku akan nginep di sana nanti malam.”

Legiman terdiam. Dia ingin bergabung dengan Imron dan para pemuda Ansor melawan kekurang-ajaran orang-orang BTI, tetapi omongan Sugik membuatnya berpikir dua kali. Sugik tak melarang, tetapi omongannya seperti perintah. Ada Mbah Salam yang harus dijaga.

“Aku tak melarangmu, Dek,” sambung Sugik.

Legiman ragu, tapi tak bisa mengecewakan kakaknya, “Aku ikut denganmu, Mas.”

“Kita nginep di sana nanti malam.”

Sugik tak keberatan Legiman aktif dengan pemuda Ansor, dia hanya khawatir sifat mudah marah Legiman akan membuatnya bertindak salah dan membuat dirinya sendiri celaka. Sugik sering berkumpul diam-diam dengan mereka tanpa mengajak adiknya.

Mbah Salam–Pak Dhe mereka–selama ini yang menjaga dan membesarkan keduanya sejak kematian kedua orang tuanya. Ayah mereka adalah adik kandung Mbah Salam. Bagi Sugik dan Legiman, Mbah Salam seperti orang tua mereka sendiri.


ooOOoo


Darman tak pernah putus asa, dia mungkin pemalas tetapi untuk urusan tujuan, lelaki ini pantang menyerah dan rela berdarah-darah. Pagi ini bengkak di kaki kirinya mulai mengempis, tetapi nyerinya belum pergi. Semalam Mbok Rih memberinya bobok[1] berupa parutan rempah, Darman mengoleskannya pada bagian kaki yang menggembung lalu membebat dan mengikatnya dengan potongan kain. 

Cangkir kopi telah habis setengah, Darman menyalakan sisa rokok klobotnya. Setandan pisang tergeletak di samping gelas kopinya, tadi pagi dia berhutang pada Mbok Rih. Hari ini dia berniat menemui Tini sambil membawa setandan pisang, siapa tahu Tini luluh hatinya..

Sengaja menunggu Triman, Darman ingin menumpang sekaligus berbincang-bincang dengannya. Dua urusan di satu jalan, katanya dalam hati. Darman ingin memastikan nama Mbah Salam telah masuk di daftar setan desa.

Di kejauhan Triman terlihat, cepat-cepat Darman menyesap sisa kopinya sampai tandas. Dia segera melangkah ke jalan menunggu Triman.

“Gimana kakimu, Kang?” tanya Triman setelah menghentikan sepedanya di depan Darman.

“Sudah kempes, Mas. Mbok Rih memberiku bobok rempah semalam,” sahut Darman.

“Kau mau ke mana? Gak biasanya kau serapi ini,” tanya Triman, matanya melihat setandan pisang di tangan kiri Darman.

“Ke rumah mertuaku. Kau mau ke kantor, Mas? Aku nunut[2] kalau kau tak keberatan. Sekalian ngobrol denganmu di jalan,” rayu Darman.

“Naiklah,” kata Triman bermurah hati.

“Matur suwun, Mas,” sahut Darman, dia segera naik ke boncengan. Setandan pisang untuk Tini dia letakkan hati-hati di atas pangkuannya.

Rumah mertua Darman tak jauh dari kantor PKI, dekat kuburan, hanya dipisahkan beberapa petak sawah. Mereka berboncengan dan mengobrol di sepanjang jalan. Triman senang, dia yakin Darman akan masuk kelompoknya. Darman-pun merasa senang karena mendapat tumpangan. Untuk alasan yang berbeda, kedua orang itu sama-sama senang.

“Bagaimana kabar pergerakan, mas?” Darman memulai omongan.

“Kawan-kawan Jakarta sedang bekerja keras mendapatkan tujuan, Kang,’ jawab Triman, tubuh kecilnya terengah-engah mengayuh sepeda, “tak lama lagi revolusi akan mendapatkan buahnya.”

“Aku mendukungmu, Mas,” timpal Darman.

“Sebentar lagi semuanya tak akan lagi sama. Bergabunglah dengan kami segera sebelum terlambat,”

“Pasti, Mas. Nanti sesudah bertemu Tini, aku akan mampir ke kantor PKI,” lanjut Darman, “tapi aku ingin perjuangan ini benar-benar murni, tidak pilih-pilih.”

“Apa maksudmu pilih-pilih, Kang?” tanya Triman tak mengerti, tak ada manifesto pilih-pilih yang dikenalnya.

Lihat selengkapnya