Jangan Ganggu Mbah Kung di Bulan Oktober

Ferry Herlambang
Chapter #25

Bab 22: Patok-Patok Tanah

Matahari belum tinggi, Mbah Salam baru saja mematikan radio ketika Marto, salah satu buruh panennya datang dengan tergesa. Setengah tubuhnya masih berlumur lumpur, wajahnya sepucat mayat dan badannya gemetar hebat.

“Ada apa, To? Wajahmu seperti baru melihat hantu,” tanya Mbah Salam.

“Gawat, Mbah …,” suara Marto terbata-bata, diam sebentar karena tersedak oleh udara yang coba dihirupnya, “orang-orang BTI, Mbah.”

“Kenapa dengan orang BTI?”

“Mereka mematok tanah sawahmu …,” sambung Marto, belum selesai omongannya, Mbah Salam telah memotongnya.

“Kurang ajar!” nyali Mbah Salam membesar melebihi tubuh tuanya, dia tak bertanya apa-apa lagi, segera mengambil sepeda dan mengayuhnya menuju ke arah sawah. Lelaki tua itu tak berpikir apa-apa selain menemui orang-orang yang berani mengusik harta miliknya.

Marto berusaha mencegah tapi sudah terlambat. Tentu saja dia mencemaskan keselamatan Mbah Salam, dia melihat beringasnya massa BTI yang mematoki tanah sawah. Mengusir para buruh dan mengancamnya dengan senjata tajam.

Marto berlari melompati pagar kemangi menuju rumah Lek Ngateno. Tubuhnya terjerembab beberapa kali karena tersandung bonggol-bonggol trembesi.

“Kang, tolong Mbah Salam …,” teriaknya sebelum terjerembab lagi, kali ini kakinya tersangkut akar ubi.


ooOOoo


Kasdi dan Karno berada di rumah Winarsih sejak pagi. Mbah Salam berencana membangun rumah tambahan di halaman depan, dia meminta kedua anaknya membicarakannya dengan Lek Ngateno.

Panen tahun ini kita bangun pondasi, kata Mbah Salam.

“Tolong hitungkan biayanya, Lek. Bapak ingin mbangun pelan-pelan, seadanya uang,” kata Kasdi, dia telah membuat denah rumah yang diinginkan Mbah Salam.

“Aku akan menghitungnya, Le. Bapakmu masih menyimpan banyak kayu di gudang belakang,” kata Lek Ngateno, “bisa kita pakai nanti.”

“Bata dan genteng yang belum punya,” timpal Karno.

“Batu bata nanti aku pesen ke Lek Warno, mumpung dia belum mbakar boto[1],” lanjut Lek Ngateno.

Winarsih datang dari balik pintu, membawa seteko kopi dan setumpuk nagasari. Belum sempat dia duduk, suara gemerasak datang dari arah pagar kemangi. Marto datang seperti orang kesetanan ke arah mereka. Berteriak-teriak dan terjerembab berkali-kali.

“Ada apa, Kang?” teriak Lek Ngateno sambil berdiri.

“Orang BTI, Kang. Mereka matoki sawah Mbah Salam …,” terengah-engah suara Marto.

Kardi dan Karno segera berdiri, “Kau sudah beritahu Bapak?”

“Sudah, Mas. Bapakmu langsung pergi menaiki sepedanya,” jawab Marto, “susullah bapakmu. Orang-orang BTI itu beringas, puluhan jumlahnya.”

Tak menunggu siapapun juga, Karno segera berlari. Ngateno, Kasdi dan Marto mengikuti.

Winarsih masih termangu, nampan belum turun dari tangannya, masih berjajar cangkir kopi dan nagasari di atasnya.


ooOOoo


Mbah Salam menyandarkan sepedanya di pohon turi lalu berjalan ke arah gerombolan yang sedang mematoki sawahnya. Wajahnya memerah karena marah. Di kejauhan dilihatnya orang-orang BTI belum selesai memasang patok di sawahnya. Satu dua orang dilewatinya, mereka hanya melihat Mbah Salam. Di bagian tengah sawah, Mbah Salam melihat Triman sedang berkacak pinggang sedangkan di tempat lainnya, Genggong memberikan perintah pada anak buahnya.

“Triman, kemari kau!” teriak Mbah Salam kencang. Semua orang memandangnya. Triman terkejut melihat Mbah Salam, salah tingkah tak tahu harus berbuat apa.

“Kemari!” ulang Mbah Salam. Suara orang-orang berhenti. Triman mendatangi Mbah Salam.

Lihat selengkapnya