Kantor PKI ramai oleh sumpah serapah dan caci maki. Mereka seperti anjing-anjing yang kalah berebut tulang, kembali ke kantor dengan ekor terselip di kaki belakang. Triman hanya mampir sebentar, mengambil beberapa dokumen lalu pergi ke kantor kecamatan.
“Jangan berbuat macam-macam tanpa perintahku,” pesan Triman sebelum mengayuh sepedanya menuju kantor PKI kecamatan melaporkan kejadian.
Keributan semakin menjadi-jadi setelah Triman pergi, saling menyalahkan. Darman yang tak ikut aksi sekarang muncul untuk menyalakan api.
“Kenapa orang-orangmu mundur, Kang?” tanya Darman pada Genggong. Cangkir-cangkir kopi telah terisi, Darman yang membuatnya. Genggong masih terengah-engah, demikian pula yang lain sementara Darman menunggu kantor sejak pagi.
“Kau tak lihat jumlah santri Kyai Shodiq yang datang melawan, berpuluh kali lipat dari jumlah kami. Kang Triman pintar, kita mundur hari ini tapi akan kembali nanti,” sahut Genggong membesar-besarkan jumlah lawan, “kau sendiri ke mana tadi? Aku tak melihatmu.”
“Kakiku masih sakit, belum bisa bergerak. Andai saja kakiku tak sakit, aku pasti akan bergabung dengan kalian di barisan paling depan.”
Genggong mendengus tak menanggapi. Darman tak putus asa, dia mendesak Genggong untuk berbuat sesuatu.
“Apa rencanamu, Kang?”
“Aku tunggu perintah Mas Triman.”
Darman tahu Triman tak segarang Genggong. Dia lebih suka berhitung untung rugi sementara Genggong lebih memilih bertindak dan menimbang urusan belakangan.
“Hati-hati, Kang. Santri-santri itu sudah menandai kalian. Bisa saja mereka menyimpan dendam, kau tak tahu apa yang akan mereka lakukan,” sambung Darman.
“Maksudmu apa, Man?”
“Jangan kau anggap mereka telah lupa peristiwa Kanigoro. Sugik dan Legiman ikut menjadi korban, mereka masih mengingatnya sampai sekarang,” lanjut Darman, “mereka bisa melampiaskan dendam entah kapan. Entah sore ini atau mungkin nanti malam.”
“Mereka tak akan berani …,” sahut Genggong.
“Kejadian tadi membuktikan kalau mereka berani,” bantah Darman. Genggong terdiam, sadar kalau Darman tak sebodoh pikirannya, “mereka sering membicarakan peristiwa Kanigoro saat aku mencukur rambut Sugik dan Legiman.”
“Kau harus bergerak, Kang. Lakukan sesuatu yang besar agar mereka tak berani macam-macam lagi,” sambung Darman.
“Apa usul-mu?”
“Kau bisa melaksanakan tujuan revolusi dengan caramu sendiri. Lanjutkan sama rasa sama rata yang tadi gagal. Ganyang setan-setan desa,” ucapan Darman membakar semangat orang-orang. Mendadak saja Darman menjadi orator yang omongannya didengarkan.
“Biar Mas Triman nanti yang mengaturnya, Man,” lanjut Genggong.
“Maaf ya, Kang. Mas Triman tak sekeras dirimu untuk mencapai tujuan. Mas Triman tak akan berani mengganyang setan-setan desa,” sergah Darman, suaranya menggebu makin dikeraskan, “apalagi berhadapan dengan Mbah Salam yang dulu menghidupi keluarganya, dia tak akan berani.”
Suara-suara kecewa terdengar. Kini mereka tahu kenapa Triman tak punya nyali saat berhadapan dengan lelaki tua tadi.
“Hanya kau yang sanggup menanggung beban revolusi, Kang. Ganyang setan-setan desa!” teriak Darman sambil mengepalkan tangan. Hidung Genggong mengembang, dadanya membusung lebar. Pujian Darman membuatnya merasa besar.
“Kalian setuju jika Kang Genggong mengambil tindakan?” kali ini mata Darman menatap orang-orang satu persatu.
“Setuju, Kang!” teriak satu orang, lalu bersambungan oleh yang lain. Kepala Genggong semakin besar.
“Meski tak ada cap dari kantor pusat, aku tak ragu-ragu mengangkat Kang Genggong jadi pimpinan pergerakan. Dialah revolusioner progresif terbaik di desa ini,” lanjut Darman berapi-api.
Semua orang mengamini. Siang ini Genggong menjadi pimpinan diam-diam, hasil omong kosong Darman.
ooOOoo
Rumah Mbah Salam lebih ramai dari biasanya. Mbah Salam dan para buruh berkumpul di teras samping rumah, mereka bercerita semua kejadian dari awal. Wajah Mbah Salam terlihat biasa, seolah tak terjadi apa-apa.
Para pemuda Ansor berkumpul di sana. Imron sebagai pimpinan menjadi semacam pusat pertemuan. Sementara Winarsih dan simboknya sibuk menyiapkan kopi dan jajanan, berjalan ke sana kemari memastikan semua orang tak kelaparan.
“Untung kau cepat datang, Mas. Mereka tak sempat berbuat macam-macam,” kata Imron pada Sugik dan Legiman, “aku tak menyangka langkah mereka akan senekat ini.”
“Aku sudah mendengar berita, mereka melakukannya di banyak tempat,” potong Kasdi, “korban jiwa juga berjatuhan.”
“Mereka tak akan berhenti,“ sambung Dhofir, salah satu pemuda Ansor yang paling berani, “seharusnya kita memburu mereka sekarang, Mas. Sebelum mereka menyusun kekuatan lalu menyerang lagi.”
“Akupun sempat berpikir begitu, Fir. Tapi kyai Shodiq tak setuju. Lebih baik kalau kita berjaga-jaga saja.”
“Mereka sudah melakukannya berulang kali, tinggal menunggu waktu sebelum mereka mulai membunuh salah satu dari kita,” balas Dhofir.
“Sabarlah, kita bersama-sama saling jaga,” kata Imron mencoba menenangkan.
“Maaf kalau aku kurang setuju denganmu, Kang. Ini urusan nyawa. Mendahului atau didahului,” Dhofir tak mau kalah. Beberapa pemuda Ansor yang lain mengamini. Imron mengerti tapi dia masih memilih patuh pada petunjuk Kyai Shodiq.
“Ingat perbuatan mereka di Kanigoro? Bulan Januari kemarin?” sambung Dhofir. Suara-suara tak suka makin terdengar. Ingatan tentang peristiwa Kanigoro membuat luka mereka semakin menganga.
“Aku tak akan lupa. Beberapa santri kita menjadi korban di sana. Mas Sugik dan Legiman juga,” jawab Imron, dia tahu santri-santri yang bersamanya berusia muda, menggebu-gebu untuk menyingkirkan orang-orang BTI dan Lekra yang tanpa henti melakukan provokasi.
“Mas, aku usul untuk menaruh beberapa orang pemuda Ansor di rumah Mbah Salam malam ini,” sela Sugik, “Untuk berjaga-jaga, aku khawatir mereka menyimpan dendam.”
Tak ada perdebatan lagi, semua setuju. Malam ini beberapa pemuda Ansor akan berjaga-jaga di rumah Mbah Salam, sebagian lainnya berjaga-jaga di pesantren dan mushola.
ooOOoo
Darman bicara diam-diam dengan Genggong. Dia tahu Genggong telah berhutang pada Mbah Salam. Kesempatan untuk membunuhnya. Genggong ingin menculik Mbah Salam karena urusan hutang, dia memanfaatkan suasana dan huru-hara.
Darman mengajak Genggong bicara berdua, di bagian belakang menjauh dari kantor.
“Berapa utangmu ke Mbah Salam, Kang?” tanya Darman tanpa basa-basi.
Genggong mendongak, menatap tajam pada Darman, “Utang apa?”
“Tak usah bohong padaku, Kang. Aku tahu kau berhutang besar pada Mbah Salam,” desak Darman, “aku gak bodoh, Kang.”
Genggong menghela napas panjang, tak bisa berkelit lagi dari desakan Darman.
“Ceritanya panjang,” sahut Genggong, “aku ragu bisa melunasi hutangku.”
“Ceritakan, siapa tahu aku bisa membantumu mencari jalan,” timpal Darman seolah dia tuan tanah yang uangnya menumpuk di gudang. Genggong kembali menarik napas panjang.
“Aku akan bercerita, tapi jangan cerita ke siapa-siapa.”
“Aman, Kang.”