Jangan Ganggu Mbah Kung di Bulan Oktober

Ferry Herlambang
Chapter #27

Bab 24: Sekam yang Menyala dan Berita dari Ibu kota

Selepas subuh, Winarsih membersihkan sisa keributan dan barang-barang yang pecah di teras rumah. Sementara Lek Ngateno menaburkan pasir di atas tetesan dan genangan darah di pekarangan, menyirami lalu menimbunnya dengan tanah. Karno dan Kasdi membereskan barang-barang yang berantakan. Siang nanti Karno berencana menjenguk Sugik.

Setelah kejadian semalam, Mbah Salam mengira firasat buruknya berasal dari sana. Tetapi dia salah, firasat buruk itu belum tenang dan masih datang. Selepas salat malam Mbah Salam merasakan ketenangan tetapi gelisah itu kembali datang. Dia memutuskan beristirahat di kamar, mencoba menenangkan pikiran dan mengurai kejadian-kejadian yang begitu cepat terjadi.

Dinginnya pagi perlahan pergi, sinar matahari mulai masuk melalui ventilasi ketika pintu kamar diketuk pelan. Ketukan Mbok Karsi yang telah dikenalnya selama bertahun-tahun.

“Mbah, kopi dan jajanannya sudah saya taruh di teras samping,” suara Mbok Karsi, “saya tinggal belanja dulu.”

“Nggih, Yu. Matur suwun,” jawab Mbah Salam singkat. Dia segera turun dari peraduan, keluar kamar lalu berjalan ke teras samping sambil membawa radio kesayangannya, memutar-mutar tombol mencari frekuensi berita.

Suara penyiar berita mulai terdengar, bergantian dengan gemerisik gelombang radio yang belum pas. Mbah Salam belum mendengar suara jelas. Pelan-pelan suara gemerisik menghilang, suara radio semakin jelas ketika Mbah Salam duduk di lincak[1] bambunya. Tangannya meraih cangkir kopi ketika suara berita mulai terdengar.

Mbah Salam hendak menyesap kopi ketika tubuhnya tercekat. Cangkir kopi di tangannya jatuh dan pecah, kopi panas menyengat ujung kakinya. Lelaki tua itu terpaku, tak bisa berkata apa-apa.

Sumber firasat burukku sedang terjadi, batin Mbah Salam.


ooOOoo


Luka bacok di perut Sugik membentuk garis melintang dari dada kanan atas ke arah perut bawah. Entah parang atau arit siapa yang melukainya, keadaan semalam demikian kacau dan gelap. Banyak di antara penyerang tidak mereka kenali, sepertinya berasal dari luar desa. Tetapi mereka mengenal Genggong di antara mereka, memberi banyak perintah dan bisa dipastikan dialah yang menjadi pimpinan.

Kyai Shodiq merawatnya di dalam kamar bersama Legiman yang menunggunya sejak semalam. Sementara pemuda Ansor lainnya bersiaga di halaman masjid.

 “Apa yang harus kita lakukan, Mas? Kita sudah tak bisa menahan diri lagi.” tanya Ghofir pada Imron.

“Sebaiknya kita menunggu perintah dari Kyai Shodiq, Fir. Beliau lebih mengerti di kondisi berbahaya seperti ini,” jawab Imron.

Ghofir mendesah, dia sangat menghormati Kyai-nya. Tetapi darah mudanya sudah mendidih, demikian pula anggota Ansor yang lain. Mereka merasa orang-orang PKI itu sudah melanggar banyak batas.

“Aku tahu kalian tak sabar, tapi Kyai Shodiq lebih paham apa yang harus dilakukan,” Imron berusaha menenangkan anggotanya, “beliau lebih paham urusan ke depan.”

Legiman keluar dari rumah Kyai Shodiq dan berjalan menuju halaman masjid, wajahnya campuran antara rasa marah dan khawatir pada kakaknya.

“Gimana kakakmu, Man?” tanya Ghofir.

“Yai bilang tak apa-apa, hanya luka-luka biasa tak sampai kena bagian dalamnya,” sahut Legiman, “kapan kita cari orang-orang BTI itu, Kang?”

“Sabar, Man. Kita tunggu perintah Yai nanti,” jawab Imron. Legiman sudah menyangka, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa.


ooOOoo


Mbah Salam paham, kejadian-kejadian akan berkembang dan berubah dengan cepat. Sangat cepat. Dia membaca tanda dari tingkah laku orang-orang. Pagi ini berita dari RRI membuatnya membeku, tak menyangka kejadiannya akan sebesar yang disampaikan oleh berita RRI.


"Pada pagi hari ini, telah terjadi suatu gerakan di Jakarta oleh Gerakan 30 September yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon I Cakrabirawa. Gerakan ini adalah untuk menyelamatkan Negara Republik Indonesia dari kudeta oleh Dewan Jenderal yang akan mengambil alih kekuasaan negara dari tangan Presiden/Panglima Tertinggi Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Dewan Jenderal berencana melaksanakan kudeta pada tanggal 5 Oktober, yang adalah Hari Angkatan Bersenjata, dengan mengerahkan kekuatan besar. Oleh karena itu, Gerakan 30 September telah mendahului dengan menangkap jenderal-jenderal anggota Dewan Jenderal yang terlibat. Pemerintah yang sah tetap berada di tangan Presiden/Panglima Tertinggi Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno."


Mbah Salam paham perkembangan politik, dia tahu siapa Letnan Kolonel Untung dan posisi tentara saat ini. Sejak lama PKI mendengungkan isu dewan jenderal, Mbah Salam memahami pola. Dia tahu itu fitnah tetapi dia belum tahu tujuannya. Berita dari RRI menegaskan semua kejadian-kejadian yang sekarang terjadi. Pergerakan orang-orang PKI dan provokasi mereka yang tiada henti membuat sebuah benang merah yang tak bisa dibantah. Bau PKI yang bersembunyi di belakang layar menguar dari balik siaran RRI.

Firasat di hati Mbah Salam semakin menjadi-jadi. Dia segera berjalan ke teras depan, mengabarkan perkembangan dan berharap orang-orang waspada pada keadaan.


ooOOoo


Semua orang telah berkumpul di teras depan, kecuali Mbok Karsi yang sedang belanja.

“RRI menyiarkan terjadinya gerakan oleh Letkol Untung, mereka menangkap para jenderal yang mereka cap sebagai dewan jenderal,” kata Mbah Salam.

“PKI memberi cap itu pada jendral-jendral yang menolak angkatan kelima,” sambung Kasdi, mudah saja baginya membuat analisa, “dan sekarang jenderal-jenderal itu mereka tangkap.”

“Letkol Untung tak lebih dari perwakilan PKI. Tindakannya mewakili kepentingan PKI,” lanjut Mbah Salam.

“Aku tak percaya omongan Letkol Untung, Pak,” kata Kasdi tanpa ragu, “provokasi orang-orang PKI jelas-jelas telah mereka rencanakan sejak lama, mereka ingin menjepit negara dari dua arah.”

 Orang-orang diam, Mbah Salam-pun demikian. Mereka tahu Kasdi mengetahui sesuatu.

“Tang menjepit, itu taktik mereka. Meniru revolusi Kuba,” sambung Kasdi. Dia seperti guru yang sedang mengajarkan sejarah pada murid-muridnya.

“Orang-orang PKI di arus bawah membuat huru-hara, sementara para petingginya mengakhiri dengan membuat pergerakan, mematikan para petinggi saingannya,” sambung Kasdi, “aku pernah membacanya tapi lupa entah di mana.”

“Akupun berpikir begitu, Le. Provokasi PKI begitu berani, setiap hari. Kupingku sampai pekak oleh genjer-genjer yang mereka teriak-kan setiap hari. Aku curiga sesuatu sedang terjadi,” imbuh Mbah Salam, “kalau perkataanmu benar, mereka sedang berusaha mengeksekusi gerakan mereka sekarang.”

Lihat selengkapnya