Jangan Ganggu Mbah Kung di Bulan Oktober

Ferry Herlambang
Chapter #28

Bab 25: Daftar Nama

Sakit di kaki Darman telah hilang, hanya meninggalkan sebentuk garis panjang berwarna hitam kebiruan. Otaknya bisa berpikir jernih sekarang. Dari Mbok Rih dia tahu tentara akan datang, Darman tahu mereka pasti berkumpul di Kelurahan.

Pagi ini Darman berjalan kaki ke Kelurahan. Dia berniat mencari berita, kesempatan dan peruntungan pada kehadiran tentara. Kelurahan tak jauh dari rumahnya, hanya perlu berjalan melewati jalan setapak, melintasi beberapa tegalan dan tak lama kemudian Darman sampai di bagian belakangnya.

Tak terlihat kesibukan di bagian belakang, tetapi Darman mendengar teriakan-teriakan dari bagian tengah balai kelurahan. Beberapa orang keluar masuk dari bangunan. Darman mengenal mereka; keluarga Juragan Mardi dan Kaji Mustori yang hilang semalam diculik orang-orang BTI.

Salah satu dari mereka duduk termenung di anak tangga. Mustopa–anak Kaji Mustori–melihat kedatangan Darman, tersenyum sebentar lalu kembali menatap tanah. Darman mengenalnya, dia yang memotong rambut anak itu sejak bayi. Muka Mustopa terlihat kuyu dan matanya sayu.

“Ada apa, Pa?” tanya Darman.

“Bapak, Lek. Dia diculik orang-orang BTI tadi malam,” jawab Topa.

“Ke mana mereka membawanya?”

“Kami belum tahu. Pak Lurah menyuruh kami mengungsi ke sini sambil menunggu tentara,” jawab Mustopa, matanya masih sembab dan mukanya semakin kuyu.

“Pak Lurah bilang apa tentang tentara?” pancing Darman.

“Kata pak Lurah, tentara datang untuk mengamankan desa, juga mendata orang-orang PKI di desa kita.”

Darman terus berbicara dengan Topa. Sepertinya dia paham harus berbuat apa dan menemukan peruntungannya di sana.


ooOOoo


Darman duduk di depan lorong menuju kamar mandi, menunggu siapa saja yang lewat dan bisa diajak bicara. Kamar mandi berada di bagian paling belakang balai kelurahan, sedikit tersembunyi di bawah deretan pohon bambu. Sepertinya dibangun untuk menghormati privasi. Darman tak mendengar apa-apa selain gesekan batang-batang bambu. Darman tahu, cepat atau lambat orang-orang akan datang ke tempat ini.

Benar saja, tak lama seseorang datang. Darman dapat mendengar suara langkah kaki, semakin dekat sampai si empunya terlihat.

“Pak Carik,” sapa Darman penuh hormat. Carik desa, sama dengan penduduk lainnya, Darman-lah yang mencukur rambut keluarga mereka.

“Sedang apa kau di sini, Man?” balas Pak Carik.

“Mbok Rih bilang ada kesibukan di balai kelurahan, Pak. Saya sengaja datang kemari, siapa tahu ada yang bisa saya bantu,” sahut Darman.

“Kebetulan kalau begitu. Kau bantulah orang-orang di depan, mereka sedang menata bangku-bangku dan merapikan halaman. Nanti sore tentara datang mengamankan keadaan.”

Darman mengangguk, tapi dia ingin bicara banyak dengan Carik terlebih dahulu.

“Kenapa tentara sampai harus datang, Pak? Bukankah penduduk desa masih sanggup menjaga keamanan?”

“Kejadiannya lebih besar dari perkiraanmu, Man. PKI menyebar ke mana-mana, tentara tak ingin kecolongan lagi, mereka akan tumpas sampai ke akar-akarnya.”

“Inggih, Pak. Saya mengerti. Kalau boleh, saya ingin membantu tentara-tentara itu nanti.”

“Sekarang pergilah ke depan, bantu orang-orang menata keperluan,” perintah Carik.

Darman menuruti, turun dari undakan tetapi sebelum pergi, Carik memanggilnya.

“Man, kau yang biasa mencukur orang-orang desa, kau kenal semua penduduk desa dan kegiatan mereka?” tanya Carik.

“Inggih, Pak.”

“Kami akan membutuhkanmu nanti.”

“Inggih, Pak.”

Carik masuk kamar mandi, Darman melangkah pergi. Darman senang, Carik akan membutuhkan dirinya nanti. Darman melihat peruntungannya sedang mendekat.


ooOOoo


Sudah beberapa hari Triman tak berani pulang ke rumah. Demikian pula Genggong. Mereka tak sendiri, satu persatu orang-orang BTI datang ke bangunan tua peninggalan Belanda, kantor pertama yang sekarang menjadi tempat persembunyian mereka.

Kantor PKI cabang desa yang berada di dekat kuburan telah musnah. Setelah hilangnya dua juragan desa dan penyerangan rumah Mbah Salam, kemarahan penduduk desa tak terbendung lagi. Tadi pagi mereka mendatangi kantor cabang dan tak mendapati siapapun di sana. Kemarahan segera dilampiaskan dalam bentuk lemparan batu ke bangunan kantor, lalu berubah menjadi sulutan api. Sebelum siang datang, kemarahan semakin meninggi lalu bangunan kantor hancur. Rata dengan tanah menyisakan onggokan arang dan, asap dan sisa api.

“Semua kawan sudah berkumpul?” tanya Triman. Genggong melihat satu persatu, hanya ada satu orang yang tak terlihat sejak kemarin.

“Darman tak terlihat,” kata Genggong.

Lihat selengkapnya