Jangan Ganggu Mbah Kung di Bulan Oktober

Ferry Herlambang
Chapter #29

Bab 26: Badai Mengetuk Pintu-Pintu

Perut Genggong berbunyi berulang kali sejak semalam, berulang kali pula dia meminta izin pada Triman untuk mencari makanan. Triman tegas-tegas melarang, Genggong tak bisa apa-apa selain menahan perih di perutnya. Pagi tadi dia bangun dengan perih yang semakin menjadi-jadi, badannya gemetar dan keringat dingin bercucuran. Sekali lagi dia meminta ijin tapi Triman masih bersikeras. Pagi itu semua orang sarapan dengan air dari sumur bor, beberapa akar ubi yang belum membesar dan entah daun apa yang mereka rebus sekedarnya.

Sebelum siang, perut-perut yang kelaparan tak tertahankan lagi. Tak ada yang tahan, akhirnya Triman menyerah dan memberi izin pada Genggong untuk mencari makanan.

“Bawa makanan sebanyak yang kau bisa. Jika kau tertangkap, jangan sekali-lagi membocorkan tempat persembunyian ini,” Triman mewanti-wanti.

Genggong mengangguk lalu mengendap-endap pergi, melipir di sepanjang pinggir tegalan yang berbatasan dengan barongan bambu. Dia ingat masih ada sisa beras dan bulgur di gentong rumahnya. Kesanalah tujuannya sekarang.


ooOOoo


Kemarahan penduduk desa tak terbendung lagi. Juragan Mardi dan Kaji Mustori belum ditemukan, berita-berita dari RRI datang simpang siur dan mereka tak menghendaki PKI ada di desa mereka lagi.

Ghofir bersama beberapa pemuda Ansor menyatu dengan massa anti PKI, mendatangi balai kelurahan hendak bertemu tentara. Carik mencegat mereka di pintu gapura, dia melihat Darman berada di antara massa.

“Tenang, Nak Ghofir. Ada apa?” tanya Carik mencoba menenangkan.

“Kami mendengar PKI akan bergerak lagi. Kami tak ingin kecolongan, Pak Carik.”

“Tentara sudah ada di sini, mereka akan membuat pengamanan,” terang Carik.

“Kami tahu. Tapi kami lebih mengenal desa ini daripada tentara-tentara itu.”

“Komandan sedang pergi ke Kodim, kalian bisa menemuinya nanti sore.”

Ghofir diam, memandang pada kerumunan yang menunjukkan wajah tak sabar.

“Tak ada waktu lagi, Kang. Kita tak ingin mereka mendahului kita lagi,” seru beberapa orang mendesak Ghofir.

“Pak Carik, kami akan mengamankan desa ini dari orang-orang PKI. Biarkan kami membantu tugas tentara.”

Ghofir dan orang-orang itu segera beranjak tanpa menunggu omongan Carik lagi. Bergerak menuju ke arah kuburan, Carik segera berlari kembali ke ruang tengah tempat komandan jaga berada.


ooOOoo


Mbah Salam tak mengijinkan Lek Ngateno dan keluarganya pulang ke rumah sejak kejadian pematokan sawah. Mereka berkumpul, berbagi ruang dan obrolan di rumah Mbah Salam.

“Harusnya pagar kemangi itu dirobohkan dan diganti tembok tinggi, Mbah, “ kata Lek Ngateno sambil menunjuk pagar kemangi yang menjadi batas rumah mereka. Mereka menikmati kopi buatan Mbok Karsi di teras samping. Mbah Salam tertawa.

“Tembok tinggi tak menjamin maling tak akan masuk, No. Begitu juga pagar kemangi,” jawab Mbah Salam sambil tertawa, “aku membangun pagar kemangi sebagai batas rumah, bukan untuk menghalangi silaturahmi.”

“Tak semua silaturahmi menyenangkan, Mbah. Contohnya gerombolan semalam,” imbuh Lek Ngateno sambil menyalakan rokok klobotnya.

“Merekalah yang berdosa dan menanggung akibatnya, bukan kita. Biarkan saja,” Mbah Salam tenang sambil mengisap rokok klobotnya. Lek Ngateno mulai menghisap rokoknya, harumnya menguar ke mana-mana.

“Perkutut-mu belum bersuara, Mbah.”

“Aku merasa dia sedang memberikan tanda. Hewan-hewan punya kemampuan yang tak kita sangka.”

“Tentang firasatmu, Mbah ….”

“Masih, No. Itulah kenapa aku melarangmu pulang ke rumah,” sahut Mbah Salam, suaranya menjadi pelan, “aku menganggap kalian keluargaku, jangan sampai terjadi apa-apa.”

Lek Ngateno tak berkata apa-apa lagi, dia percaya Mbah Salam membuat keputusan yang terbaik buat keluarganya.


ooOOoo


Carik menemui seorang tentara yang dianggapnya menjadi komandan tertinggi saat ini. Mayor Maksum sedang berada Kodim.

“Ada apa, Pak Carik?” tanya salah satu penjaga.

“Penduduk tak sabar lagi, mereka mencari anggota-anggota PKI dan akan mengamankan dengan cara mereka sendiri,” kata Carik, “tolong susul dan dampingi mereka. Aku khawatir orang-orang PKI akan menyakiti mereka.”

Sersan Mukti, tentara yangs sedang berjaga segera mengumpulkan anak buahnya. Dia telah mendengar pasokan senjata untuk mempersenjatai angkatan ke lima. Dia khawatir orang-orang PKI di sini telah memegang senjata-senjata itu.

Lima orang anak buahnya berkumpul, bersama Carik mereka segera naik ke atas jip dan menyusul orang-orang yang sedang diamuk amarah.


Lihat selengkapnya