Kantor kelurahan berubah menjadi tempat penahanan sementara. Orang-orang PKI yang terikat tali, duduk bersila di halaman balai desa dikelilingi tentara dengan senapan larang panjang dan massa yang menghunus senjata. Suara-suara resah, jerit kebencian dan suara-suara cacian bercampur menjadi satu. Penggerebekan masih terjadi, beberapa orang tahanan datang tanpa henti. Triman terlihat di antara mereka, tangannya terikat tali dan wajahnya memar bekas poporan senjata tentara.
Pak Lurah dan Carik tak menyangka kebencian penduduk pada PKI begitu besarnya. Mereka berdua mengenali semua orang-orang PKI itu, beberapa di antara mereka sepantaran dan pernah menjadi teman sepermainan. Tahun-tahun penuh intimidasi mengubah semuanya menjadi kebencian.
“Apa yang harus kita lakukan dengan orang-orang ini, Pak?” tanya Lurah pada Sersan Mukti.
“Anak buahku sudah melaporkan perkembangan pada Mayor Maksum. Komandan yang akan memutuskan nanti,” jawab Sersan Mukti.
"Sebaiknya Komandan segera datang, sebelum caci-maki berubah menjadi ayunan parang," kata Lurah.
ooOOoo
Mbah Salam semakin gelisah.
Berita tentang penggerebekan orang-orang PKI segera menyebar. Di rumah Mbah Salam, berita itu berubah menjadi gelisah di hati Mbah Salam. Dia paham, kekacauan memiliki arah yang tak bisa diperhitungkan. Berita-berita datang setiap detiknya, tak memberi ruang untuk bernapas dan mencerna.
“Genggong tewas dibunuh massa, Pak,” kata Karno, dia sedang membereskan barang-barang di teras depan bersama Winarsih. Sementara Lek Ngateno dan istrinya membersihkan gandhok dan menata barang-barang lama. Mumpung kami di sini, kata mereka.
Mbah Salam menghisap rokoknya dalam-dalam. Arah sejarah sedang berubah, tapi dia tak tahu ke mana arahnya. Dia hanya paham, kebencian yang bersisian sedang mencari jalan keluarnya.
“Kangmas-mu di mana?” tanya Mbah Salam, klobot ditangannya hanya dimain-mainkan tak dinyalakan.
“Di kamar, Pak. Membaca buku,” sahut Karno.
“Hari ini kalian jangan ke mana-mana,” pesan Mbah Salam. Karno dan Winarsih mengiyakan.
“Mau dibuatkan kopi, Mbah?” tanya Winarsih.
Mbah Salam melihatnya sebentar, “Buatkan yang pahit, ya. Taruh di teras samping.”
“Nggih, Mbah,” Winarsih segera berjalan ke arah dapur.
“Ingat baik-baik, Le. Jangan ke mana-mana hari ini,” ulang Mbah Salam sebelum melangkah ke arah teras samping.
Sekali lagi Karno mengiyakan. Dia paham bapaknya sangat mengkhawatirkan keselamatan mereka.
ooOOoo
Darman memegang rapat-rapat saku celananya, seolah sedang memegang rahasia besar yang tak boleh dilihat oleh dunia. Melewati pematang di sebelah kuburan, matanya dapat melihat sisa-sisa bangunan kantor PKI yang telah berubah menjadi onggokan dan menyisakan bara api.
Tiga sawah lagi dia sampai di rumah Tini. Darman setengah berlari sambil meloncati genangan-genangan air dan sungai kecil. Dia melihat istrinya sedang duduk di lincak bambu depan rumah.
“Mana baju dan kebayaku?” teriak Tini menyambut kedatangan Darman.
Darman tersenyum, duduk di sebelah Tini sambil memainkan wajah-wajah lucu.
“Apa!” Tini berteriak makin kencang.
“Aku bawakan lebih dari baju dan kebaya buatmu,” sahut Darman, wajahnya terlihat gembira.
“Apa!” suara Tini masih melengking.
“Buatkan kopi dulu, nanti aku berikan ini,” kata Darman sambil menunjuk tonjolan di kantong celananya.
Tini mengernyitkan dahi penasaran dengan kejutan yang dibawa Darman. Dia beranjak dengan sebuah kalimat ancaman, “Aku buatkan kopi. Tapi awas kalau kau tak memberiku apa-apa!” kata Tini sambil mengacungkan kepalan tangan.
Darman tertawa lalu menghempaskan tubuhnya ke lincak bambu yang tadi ditempati Tini. Tangannya merogoh saku celana. Setengah barang jarahan yang dia dapat dari rumah Genggong, perhiasan-perhiasan yang pasti disukai Tini.
Badannya terasa remuk, setelah dua hari berlarian kesana-kemari, tetapi Darman merasa puas mendapatkan apa yang dia cari. Tangannya berlumuran Darah Genggong, tapi Darman tak peduli. Ada harga yang harus dibayar oleh sebuah revolusi, begitu kata Triman yang dia dengar berulang kali.
Tini keluar dengan secangkir kopi, harumnya menyebar dan uap panasnya menari-nari. Bagi Darman, kopi buatan Tini adalah kopi terenak. Dia telah merindukannya berhari-hari.
“Sekarang, keluarkan apa yang mau kau berikan,” gertak Tini.
Darman mengambil cangkir kopi, mencium aroma wanginya sambil memejamkan mata. Darman menyesap kopi buat istrinya sambil memejamkan mata.
“Sekarang!” bentak Tini. Darman masih menyesap kopi yang masih panas.
“Nikmat sekali,” ucap Darman.
Tini mendelik, akhirnya Darman merogoh dan mengeluarkan isi sakunya. Bungkusan kain kumal dan diletakkannya di samping Tini.
“Bukalah, untuk istri tercintaku,” sambung Darman.
Tini mengambil dan membuka bungkusan itu. Matanya terbelalak tak percaya dengan isi bungkusan yang sekarang terbuka.
“K … Kang,” suaranya tercekat, “d … dari mana kau dapatkan ini?” suara Tini terbata-bata, tubuhnya bergetar dan matanya membelalak tak percaya.
Darman memasang wajah tak peduli, mulutnya sibuk menyesap kopi.
ooOOoo
Mayor Maksum segera mengumpulkan pejabat desa dan anak buahnya setelah mendapat laporan.
“Perintah tambahan sudah datang, kita akan mengamankan orang-orang ini ke penjara kota,” jelas Mayor Maksum sambil menunjuk ke arah halaman balai desa yang hampir penuh oleh orang-orang PKI. Semua orang diam mendengarkan.
“Tetapi itu belum semua. Ada nama-nama tambahan yang harus kita tangkap nanti,” sambung Mayor Maksum, “tapi aku akan melakukannya sendiri. Aku tak ingin ada orang-orang di luar komandoku ikut serta.”
“Siap, Komandan. Bantuan apapun yang Komandan minta, kami akan siapkan,” timpal Pak Lurah.
“Aku akan bergerak sendiri dengan pasukanku. Hanya satu orang penunjuk jalan yang aku butuhkan,” sambung Mayor Maksum, “orang yang kemarin malam menjadi penunjuk jalanku.”
“Darman Dengklang, aku akan memanggilnya.”
“Bilang padanya agar bersiap nanti malam, pastikan telah berada di sini jam 9 malam.”
“Siap, Komandan,” sahut Lurah.
Beberapa truk tentara datang bersama Mayor Maksum, terparkir di pinggir jalan siap mengangkut para tahanan ke penjara kota.
ooOOoo
Mata Tini masih membulat ketika menarik untaian kalung emas dari dalam bungkusan. Rantainya panjang berkilau, menjuntai di tangannya. Liontinnya berbentuk bulat dan berat, dikelilingi hiasan bunga-bunga yang Tini tak paham jenisnya.
“Pakailah, Dek,” kata Darman bangga.
Tini tak mendengar, matanya masih melotot pada kilauan kalung emasnya yang tertimpa sinar matahari, berkilap-kilap. Matanya kembali melihat ke arah buntelan, masih ada kilauan emas di sana. Tini mengambilnya. Matanya semakin melotot. Setumpuk gelang keroncong yang selama ini hanya ada di mimpinya sekarang berada di tangannya. Tini ingat dia selalu menelan ludah setiap melihat Yu Kesih–istri juragan Mardi–memakai gelang keroncong di pergelangannya.