Kediaman Mbah Salam seperti kehilangan nyawa. Ketenangannya berubah menjadi menyedihkan. Pagar kemangi-nya mulai menguning, meranggas seolah hendak mati. Mbah Salam lebih banyak diam tak bicara apa-apa, menolak semua makanan yang disodorkan dan sesekali saja keluar kamar.
Sejak Kasdi diambil tentara, pintu rumah Mbah Salam tak pernah lagi dibuka. Dari pagi sampai malam, rumah sepi seperti tak berpenghuni. Perkutut-perkutut tak lagi berbunyi lalu satu-persatu ditemukan mati. Hanya Winarsih dan simboknya yang terlihat, sesekali keluar rumah membeli keperluan.
“Gimana Mbah-mu, Nduk?” tanya Lek Ngateno.
“Belum mau bicara, Pak. Sama Mas Karno juga baru bicara waktu minum obat,” sahut Winarsih, “aku khawatir, Mbah Salam makin gering.”
Lek Ngateno menghela napas. Kejadian Kasdi tak hanya membuat sedih Mbah Salam dan Karno. Siapapun yang mengenal mereka pasti akan terkejut.
“Bapak ke sana sebentar lagi setelah membereskan rumah,” lanjut Lek Ngateno, “kamu temani mereka ya, Nduk. Pastikan makan dan keperluan mereka siap.”
“Inggih, Pak,” sahut Winarsih. Di balik sikap cerianya, Winarsih memiliki kesedihannya sendiri. Saat tak ada yang melihat, dia akan mengunci diri di ruang gandhok Mbah Salam. Menekuk lutut lalu membenamkan kepalanya dalam-dalam, menangis tersedu-sedu sepuas yang dia bisa.
ooOOoo
Winarsih mengubur bangkai dua perkutut Mbah Salam di samping rumah.
“Win, jaga bapak, ya,” teriak Karno dari teras depan.
“Kau mau kemana, Mas?” tanya Winarsih. Karno tak menjawab, dia mengambil sepeda Gazelle bapaknya lalu memacu kencang selepas keluar dari pekarangan. Sepanjang hari, Karno berusaha memalingkan wajahnya dari Winarti, menutupi genangan air mata yang mati-matian ditahannya.
Winarsih membiarkan Karno pergi tanpa bertanya apa-apa lagi. Dia tahu Karno butuh ruang untuk dirinya sendiri, Winarsih mengunci mulutnya untuk tidak banyak bertanya.
“Ke mana Mas Karno, Nduk?” tanya ibunya yang muncul setelah berbelanja.
“Mas Karno gak bilang, Mbok. Dia hanya ingin menyendiri,” balas Winarsih, “tapi aku tahu ke mana perginya, gubuk sawah.”
“Aku buatkan bubur putih buat Mbah Salam. Bujuklah agar dia mau makan,” sambung simboknya sambil melangkah menuju ke dalam. Winarsih mengikuti. Satu-satunya orang yang bisa menuruti Mbah Salam di saat seperti ini hanya Winarti.
ooOOoo
Legiman dan Sugik datang ketika Lek Ngateno sedang memangkas daun-daun kering di pucuk ranting sawo kecik. Ngateno turun, meletakkan arit-nya lalu mengajak keduanya duduk di badhugan[1] di pintu masuk pekarangan.
“Di mana Dhe Salam dan Karno, Lek?” tanya Sugik.
“Karno keluar, kata Win dia menenangkan diri di gubuk sawah. Pakdhe-mu di kamarnya, biarkan dia istirahat dulu,” jawab Ngateno, “Kalian mau aku ambilkan minum?”
“Tidak usah, Lek. Terimakasih. Ceritakan padaku kejadian semalam, Lek,” suara Sugik setengah mendesak. Legiman membetulkan letak duduknya, menunggu cerita Ngateno.
Ngateno menceritakan semua yang dia lihat saat penangkapan Kasdi, sesekali berhenti pada bagian yang tak mengenakkan hati.
“Aku tahu Mayor Maksum, pernah bertemu sekali di kantor kelurahan,” timpal Legiman setelah Ngateno selesai bercerita.
“Dia membawa tombak pusaka keluargamu, Le,” tambah Ngateno.
Sugik dan Legiman saling berpandangan. “Untuk apa? Pakdhe Salam membiarkannya?”
“Tak ada yang peduli, semua orang hanya memikirkan Kangmas-mu Kasdi.”
“Bagaimana bisa Mas Kasdi masuk daftar tentara?” kata Sugik.
Ngateno menarik napas panjang, “Ini jaman edan. Seseorang, entah kenapa, tak suka pada Kangmas-mu Kasdi ….”
“Kenapa Mas Kasdi?” ulang Sugik, masih tak percaya kejadian buruk itu menimpa sepupunya, "apa yang pernah dilakukannya sampai ada orang yang membencinya?"
“Aku menduga seseorang telah memfitnahnya,” suara Lek Ngateno pelan, terdengar hati-hati, “bukan hanya pada kangmasmu Kasdi, tapi pada keluarga ini.”
Sugik dan Legiman mengernyitkan dahi.
“Dua kali peristiwa buruk menimpa keluarga ini. Bersambungan,” sambung Lek Ngateno, “kamu masih ingat, kan?”
“Keduanya bertolak belakang …,” sambung Sugik, menemukan benang merah omongan Lek Ngateno.
“Mbah Salam hendak diambil orang-orang PKI. Lalu kangmasmu Kasdi dituduh sebagai orang PKI,” sambung Ngateno.
“Seseorang sedang memanfaatkan situasi. Tapi kenapa? Mbah Salam tak pernah menyakiti siapapun?”
“Tak ada orang yang bisa memuaskan semua orang, Le. Percayalah.”
“Aku akan cari orangnya, Mas,” sambung Legiman.
Sugik diam, Legiman tahu kakaknya tak akan menghalangi.
“Aku tahu harus bertanya pada siapa,” Legiman berdiri, dia mengambil sepedanya lalu pergi. Sugik dan Lek Ngateno tak berkata-apa-apa, mereka tahu Legiman akan mencari pelakunya dengan segala cara.
ooOOoo
Tak ada rahasia antara Winarsih, Karno dan Kasdi. Bahkan saat mereka saling menutupi, entah dengan cara apa akhirnya saling mengetahui. Begitupun saat ini, ketika Karno menyendiri, dia pergi ke gubuk tengah sawah tempatnya biasa menghabiskan waktu bersama Kasdi. Persis seperti yang dipikirkan Winarsih.
Dunia Karno luluh lantak. Sepanjang jalan air matanya tumpah, saat sampai di gubuk, Karno menangis sejadi-jadinya, dia tak mampu lagi menahan kesedihannya. Kakinya dilipat dan mukanya tenggelam di antara dua lututnya, tangannya mengunci kuat pada kakinya.
Di gubuk sawah Karno menumpahkan semua kesedihannya.
ooOOoo
Tak ada yang tahu betapa kuatnya Winarsih. Dia menutupi kesedihannya dengan mengurusi Mbah Salam dan Karno bergantian. Tubuh kecilnya tak mengenal letih, berlarian dari rumah ke sawah sambil membawa kesedihan yang tak tergambarkan.
Hampir sore, Karno belum kembali ke rumah. Winarsih khawatir sesuatu terjadi padanya. Setelah menyiapkan semua keperluan Mbah Salam, dia berpamitan pada simboknya.
“Aku mau cari Mas Karno, Mbok.”
“Ajak Mas-mu pulang sebelum maghrib. Kasihan Mbah-mu,” pesan simboknya.
Winarsih pergi dan terlihat tenang. Saat tak ada yang melihat, dia menangis di sepanjang jalan, sesekali berhenti, menggugu melampiaskan semua kesedihan. Batu, debu dan kebun tebu menjadi saksi betapa Winarsih sekarang menjadi sebentuk jiwa ringkih. Tak ada orang yang mampu menahan sedih pada kehilangan yang tiba-tiba.