Siapa yang memfitnah Kasdi?
Di Gondanglegi, sebuah rahasia tak akan tersimpan lama. Selalu ada sela baginya untuk keluar dari kurungannya, merembes lalu menjadi omongan banyak orang. Selanjutnya menjadi pembicaraan dari ujung desa ke ujung lainnya.
Tak ada yang lebih mengejutkan dari kabar diambilnya Kasdi oleh tentara. Orang-orang mulai mencari tahu siapa yang menjadi penyebabnya. Siapa yang mula-mula membuat omongan tak benar tentang Kasdi. Kasak-kusuk mulai terdengar, dibicarakan, diambil kesimpulan lalu menjalar liar.
Entah dari mana asalnya, awal gunjingan mengarah pada nama Darman, lalu gunjingan berubah menjadi tatapan tak suka, selanjutnya menjelma menjadi tindakan dalam bentuk kebencian. Bukan hanya pada Darman tetapi juga pada Tini dan Jimin.
Dibanding Jimin yang tak berguna, Kasdi seribu kali lipat lebih berharga, omongan itu tersambung dari mulut ke mulut, berulang-ulang lalu sampai ke telinga Darman dan Tini. Darman sakit hati tapi tak bisa berbuat apa-apa. Tini tak peduli karena dia tahu begitulah kenyataannya.
Yang membuat Darman resah adalah kasak-kusuk pemuda Ansor akan mendatanginya. Sugik dan Legiman pasti tak terima dengan ditangkapnya Kasdi, sepupu mereka. Darman mulai berpikir untuk meninggalkan desa, sebelum semuanya terlambat baginya dan bagi Tini. Nyawa mereka menjadi taruhannya.
“Dek, kita harus segera melarikan diri,” kata Darman pada Tini. Sejak pagi dia termenung di tegalan belakang, memikirkan omongan orang tentang Ansor yang akan membalas dendam. Tak ada kopi hari ini, Mbok Rih menolak menjual bubuk kopinya pada Tini.
“Kang, carilah Jimin,” pinta Tini, dia tak mendengarkan omongan suaminya. Suaranya lembut tak seperti biasanya.
“Ke mana aku harus mencari anak itu, Dek? Rumah judi Marjuki sudah tutup. Marjuki sudah dibawa tentara sejak awal,” bela Darman.
“Ke mana saja, Kang. Kalau kau tak mencarinya, aku yang akan pergi,” ancam Tini.
Darman diam seolah tak mendengarkan. Matanya melihat deretan singkong yang mengering dan sebagian telah mati di tanah tegalnya.
“Bahkan singkong-pun tak mau tumbuh di tanahku …,” desah Darman.
“Kang, Kau tak mendengarkan?” Tini mulai berteriak.
“Carilah sendiri, nanti aku susul,” sahut Darman sekenanya.
Tini melenguh. Dadanya mulai sesak. Dia segera berjalan melintasi tanah tegal, menginjak-injak singkong mati lalu hilang di balik rimbunnya bambu liar.
Darman melihat istrinya pergi tanpa alas kaki. Darman tak peduli, pikirannya dipenuhi oleh rasa takut jika Ansor datang. Semakin ngeri oleh bayangan Sugik dan Legiman.
ooOOoo
Dulu sewaktu simbok-nya masih ada, tak pernah sekalipun Kasdi keluar rumah tanpa memakai baju. Mbok Siti–ibu mereka–akan memarahi siapa saja yang berada di dekatnya jika mendapati Kasdi bertelanjang dada.
“Kau tak ingat jahatnya angin pada dada Kasdi? Kau tak ingat?” protes Mbok Siti pada Mbah Salam ketika melihat Kasdi bertelanjang dada di pekarangan. Mbah Salam hanya tersenyum.
“Hanya di pelataran, Dek,” bela Mbah Salam.
“Tak peduli di pelataran atau di dalam kamar. Sama saja,” seru Mbok Siti tak mau kalah. Untuk urusan Kasdi, tak ada yang berani membantah Mbok Siti.
Mbok Siti tak pernah bersuara keras, untuk urusan apapun. Hanya tentang urusan Kasdi bertelanjang dada saja dia segera berubah menjadi singa betina. Karno-lah yang sering mendapatkan omelannya, bukan Mbok Siti pilih kasih tetapi dia menganggap Karno yang paling sanggup menjaga kakaknya.
Kau hanya telat lahir, Mas, gurau Winarsih setiap kali Karno mengadu padanya.
Sesekali Kasdi bertingkah nakal, melepaskan baju dan berlarian di sepanjang tegalan, lalu berloncatan di galengan sawah sampai di desa sebelah. Karno dan Winarsih mengikuti kemanapun Kasdi berlari sambil bertelanjang dada. Tapi Mbok Siti segera tahu, karena malamnya Kasdi pasti mengerang karena demam.
“Kenapa kau tak pakai bajumu, Le?” begitu tanya Mbok Siti. Dia tak perlu bertanya perihal apa yang sudah dilakukan Kasdi, dia sudah tahu. Kasdi menjawab dengan igauan, badan yang meriang dan panas tinggi. Terkadang sampai beberapa hari.
Sebelum wafatnya, Mbok Siti meninggalkan pesan dalam bentuk tulisan. Jangan keluar rumah tanpa memakai atasan yo, Le, bunyi pesannya.
Setelah kematian ibunya, Kasdi tak pernah lagi keluar rumah tanpa memakai baju. Bahkan sekedar membakar sampah di belakang rumah.
Selain itu, ada Karno yang menggantikan peran simboknya, mengomeli siapa saja jika Kasdi keluar rumah bertelanjang dada.
ooOOoo
Seandainya tak ada undangan untuk datang ke kediaman rumah Mbah Salam tadi malam, Legiman pasti sudah mendatangi Darman. Dia tak membicarakan hasil omongannya dengan Carik pada Sugik, dia tahu kakaknya akan memilih jalan sabar. Tetapi tidak bagi Legiman, kemarahannya berada di ujung ubun-ubun setelah mendengar omongan Carik.
Siang ini dia keluar rumah diam-diam. Di pinggangnya terselip parang tajam yang telah diasahnya semalaman.
Tujuannya ke arah rumah Darman, membuat pembalasan yang setimpal.