Tak terhitung berapa banyak kepentingan yang berlalu-lalang di meja Mayor Maksum. Tak tahu pula jumlah berita duka yang melintas di atasnya, mungkin puluhan, ratusan bahkan ribuan. Sampai datang berita pagi ini menjadi berita yang tak akan pernah bisa dilupakan dan paling sulit dihadapinya.
Kasdi meninggal dunia. Berita sampai di meja Mayor Maksum pagi ini, diletakkan sebagai laporan ditumpukan paling atas.
Semasa menjadi tentara muda, Maksum pernah menjelajahi lebatnya hutan-hutan Sumatra dan menerobos rapatnya pepohonan di Irian Jaya. Dia melihat ganasnya malaria dan menjadi saksi teman-temannya yang kehilangan nyawa. Maksum paham cara menghadapi semuanya. Dia mampu bersikap tenang, mencari jalan keluar lalu kembali mendapatkan kemenangan.
Tetapi sekarang dia termenung di meja kerjanya. Maksum tak tahu harus berbuat apa setelah datang laporan dari anak buahnya.
Mayor Maksum berdiri, merapikan baju seragam lalu memasang baretnya. Dia keluar ruangan menuju tempat jenazah Kasdi berada. Langkah Mayor Maksum tak setegap biasanya, tanggung jawab yang dia hadapi melebihi besarnya semua tugas perangnya.
ooOOoo
Dari jauh, pemakaman umum bagi mayat tak dikenali terlihat menyeramkan. Berada di tengah-tengah sawah, seperti sengaja dipisahkan dari keramaian. Pohon-pohon tuanya seperti penanda betapa singup-nya tempat itu. Bagian dalamnya tak terlihat dari luar, tertutupi oleh rapat dan bayangan gelap.
Tini berjalan gontai mengikuti lelaki yang mengantarnya, melewati galengan dan sesekali meloncati sungai kering. Seorang lelaki tua terlihat duduk di pintu masuk makam. Juru kunci makam, bisik lelaki pengantarnya.
“Adakah anakku di sini?” tanya Tini setelah berhadapan dengan juru kunci. Si juru kunci melihat Tini dengan mata iba. Puluhan kali dia berhadapan dengan orang-orang yang mencari keberadaan orang terkasihnya, mencari di tempat ini tak pernah memiliki akhir yang menyenangkan.
“Mbakyu ini mencari jenazah yang datang tadi pagi,” sela lelaki pengantar Tini, “jenazah dengan rajah jangkar dan hati di dada kiri.”
Juru Kunci itu mengangguk, tak berkata apa-apa lalu memberi isyarat pada Tini agar mengikutinya.
Jenazah itu masih disimpan di bangunan tua yang berada di pintu masuk kuburan, menunggu pak Modin datang dan memberikan proses penguburan yang layak baginya. Jenazah diletakkan di dalam keranda, bagian atasnya ditutupi daun talas dan bagian bawahnya diselimuti jarik bekas yang warnanya tak jelas.
Tini melangkah ragu-ragu ke arah keranda, menggigit bibir sambil meletakkan tangannya di depan dada. Berharap orang-orang salah melihat tanda di dada jenazah tanpa kepala. Lelaki yang mengantarnya dan si juru kunci berhenti, memberi ruang pada Tini.
Tini terus melangkah sambil memejamkan mata, menarik napas panjang meneguhkan hati mendekati jenazah. Pelan-pelan menyingkap selimut penutup. Rajah jangkar dan hati terlihat jelas di dada kiri jenazah. Tini semakin yakin itu jenazah Jimin ketika melihat sebentuk luka melintang di dada kanannya.
Jimin mendapatkan luka itu saat masih bayi karena kemarahan Tini. Saat Jimin menangis sepanjang hari dan Tini kehabisan kesabarannya, kuku jarinya membuat sebentuk luka di dada anaknya. Luka itu tak pernah hilang, semakin besar mengikuti tumbuhnya badan Jimin.
Air mata Tini menetes, mengusap luka itu sambil mendesah pelan, “Maafkan aku, Le ….”
Seumur hidup, baru pertama kali Tini memanggil Jimin dengan sebutan Le. Sebutan sayang seorang ibu kepada putranya. Tini masih mengelus-elus luka itu, entah berapa lama sampai tubuhnya merasa lemas. Dunia tiba-tiba gelap dan tubuh ringkih Tini jatuh ke tanah.
Tini pingsan karena penyesalan.
ooOOoo
Di antara semua orang, Winarsih yang paling tekun mendengarkan cerita Mbah Salam tentang sejarah keluarga mereka. Perjuangan Buyut Sidrap lalu perpisahannya dengan Buyut Lasmi dan Buyut Ratri.
“Buyut Lasmi dan putranya–buyutmu Aryo–ikut rombongan Kyai Muhyi tiba di Kediri juga, mendirikan Pesantren Kapurejo, Pagu. Tetapi Buyut Ratri dan Buyut Wiryo memutuskan untuk pindah ke Nganjuk,” kata Mbah Salam, “itulah kenapa keluarga kita terpisah lama.”
“Buyut Aryo menikah dengan orang Nganjuk, Mbah?” tanya Winarsih.
“Iya, Win. Buyut Aryo itu kakekku,” balas Mbah Salam.
Karno lebih banyak diam, dia telah mendengar cerita keluarganya. Pikirannya masih dipenuhi tentang keadaan Kasdi. Satu dua hari ini dia akan mendesak Mayor Maksum untuk memberinya ijin bertemu. Kasdi pergi dalam keadaan sakit, keadaan itu yang membebani pikiran Karno.
“Buatkan kopi lagi, Win. Sudah habis,” pinta Mbah Salam. Kopi di teko tak tersisa lagi.
Winarsih baru berdiri ketika melihat jip Mayor Maksum masuk ke pekarangan. Suaranya menderu pelan meninggalkan jejak debu yang berterbangan di jalan. Semua orang mengalihkan pandangan dan menatap pada jip yang masuk pelan-pelan.
“Sekalian bawakan cangkir untuk Mayor Maksum,” tambah Mbah Salam. Winarsih mengangguk lalu masuk ke dalam.
ooOOoo
Di sepanjang jalan, pikiran Mayor Maksum sibuk menyusun kalimat dan memikirkan cara bersikap yang tepat. Tak ada pelatihan yang dia dapat untuk menghadapi situasi yang sekarang. Kematian Kasdi tidak saja meninggalkan ruang kosong di hatinya sebagai saudara, tetapi ada tanggung jawab besar karena janjinya pada Mbah Salam. Dia gagal melindungi Kasdi.
Sekarang dia mengendarai jipnya menuju ke arah tanggung jawab yang harus dihadapinya.
Mayor Maksum memarkir jip di bawah pohon sawo kecik lalu berjalan ke arah teras depan. Semua orang memandang kedatangannya. Pikiran Mayor Maksum semakin gundah melihat senyum ramah keluarga Mbah Salam.
Mayor Maksum mengucap salam dengan pelan, duduk di depan Mbah Salam dan menunduk dalam-dalam.
“Ada apa, Sum?” tanya Mbah Salam. Semua orang memandangnya.
“Saya mohon maaf sebesarnya, Mbah. Dengan berat hati dan kesedihanku yang paling mendalam, Aku harus sampaikan berita ini …,” jawab Mayor Maksum, dia tak mampu meneruskan ucapannya.
Mbah Salam merasakan adanya kabar besar yang di bawa Mayor Maksum. Usia tuanya memberinya tanda, kabar itu pasti tak menyenangkan. Mbah Salam berusaha tegar.
“Kau mau memberi kabar tentang anakku Kasdi?” tanya Mbah Salam tanpa basa-basi.
Mayor Maksum masih belum berani menatap mata Mbah Salam. Sikap tentara dan pangkat di pundaknya tak berguna di mata lelaki tua ini.
“Katakan, Sum.”
Sebuah tanggung jawab tak mungkin dihindari oleh Mayor Maksum, dia memberanikan diri mengangkat kepala lalu pelan-pelan bicara.
“Mas Kasdi tak mampu menahan sakitnya, Mbah,” ucap Mayor Maksum, menjeda mencari udara lalu melanjutkan pelan, “Mas Kasdi meninggal dunia ….”
Tak suara petir yang mampu mengalahkan kerasnya berita ini. Mbah Salam terkulai di tempat duduknya, Karno membeku tak tahu harus berbuat apa.
Mbok Karsi langsung menggugu di pelukan Ngateno yang tubuhnya juga membeku di pinggir pintu.
“Maafkan aku, Mbah …,” suara Mayor Maksum.
Tak ada suara. Mbah Salam menatap ke arah pekarangan dengan mata yang telah hilang cahaya. Jeda cukup lama ketika Winarsih datang sambil membawa nampan berisi teko kopi dan cangkir-cangkir baru.