Setelah pemakaman Kasdi, desa Gondanglegi tak sama lagi. Ketenangan yang datang terasa seperti diamnya orang mati, menenangkan tapi meninggalkan kesedihan.
Rumah Mbah Salam menjadi sunyi dan pintunya ditutup sepanjang hari. Selamatan mendiang Kasdi menjadi penanda bagi tragedi yang sudah terjadi. Selain berdo’a, orang-orang tak berhenti membicarakan kebaikannya.
Truk-truk tentara telah pergi, sesekali saja orang Kodim berkeliling melakukan patroli. Lapangan desa menjadi lebih tenang ditandai oleh anak-anak yang bermain layang-layang. Tetapi pasar malam belum datang, luka akibat tragedi terlalu besar untuk disembuhkan oleh sekedar senang-senang.
Desa Gondanglegi sedang memulihkan diri, sementara keluarga Mbah Salam masih tenggelam pada sisa tragedi.
ooOOoo
Mbah Salam jatuh sakit
Oktober menjadi bulan paling gering bagi keluarga Mbah Salam. Lelaki tua itu tak lagi sanggup berdiri, sepanjang hari beliau terbaring di tempat tidur. Winarsih dengan sabar menunggui, menyediakan dan membereskan semua kebutuhannya.
Sementara Karno sesekali mengurus sawah, bergantian dengan Lek Ngateno. Selebihnya dia akan mengurusi bapaknya. Malam hari Karno menunggu bapaknya, menyuapi bubur beras buatan Mbok Karsi.
“Kapan sekolahmu mulai, Le?” tanya Mbah Salam saat Karno menyuapinya.
“Belum ada pengumuman, Pak,” sahut Karno lembut.
“Sekolah yang baik ya,” lanjut Mbah Salam sambil mengunyah bubur lembut sebisanya, “jadilah guru, ajari orang-orang agar mengerti mana baik mana buruk, mana benar mana salah.”
“Nggih, Pak,” suara Karno sedikit gemetar. Omongan Mbah Salam tentang sekolah biasanya dia lakukan ketika bersama Kasdi. Pada Karno, Mbah Salam lebih sering bicara tentang pertanian dan cara mendapatkan uang.
Mbah Salam menolak suapan Karno, “Sudah, Le. Aku sudah kenyang.”
“Baru tiga sendok, Pak. Satu kali lagi, nggih,” bujuk Karno sambil mendekatkan sendok ke mulut bapaknya.
Mbah Salam tak menolak, membuka mulut dan memaksa dirinya mengunyah bubur yang terasa tawar, “Sudah ya, Le. Aku ingin istirahat dulu.”
Karno keluar kamar dengan perasaan tak enak. Hatinya masih hancur oleh kepergian Kasdi, menyaksikan bapaknya terkulai membuatnya semakin jatuh. Karno menguatkan diri sekuat yang dia bisa.
Karno pergi ke dapur menemui Winarsih, memintanya memanggil Mantri besok pagi.
ooOOoo
Entah sudah berapa lama Darman menggelandang di pasar kota. Mengendap-endap menghindari pertemuan tak sengaja dengan orang-orang desanya. Dia hidup dari sisa uang yang dijarah-nya dari rumah Genggong. Uang itu hampir habis. Darman berencana lari jauh, entah ke mana dan yang pasti butuh banyak biaya untuk pelariannya.
Darman meraba gembolan di saku celananya. Setengah perhiasan hasil jarahan masih tersisa, cukup untuk mendapatkan uang yang dia butuhkan. Darman tahu harus pergi ke mana.
Hanya ada satu dua lapak pedagang yang berani buka, itupun hanya setengah pintu saja. Tak ada yang berani menanggung resiko dan kehilangan nyawa. Apalagi toko emas, pasti telah tutup sejak awal huru-hara. Darman berjalan di selasar pasar membawa gembolan yang terikat di pinggang dan tetutup sempurna di balik lipatan sarungnya.
Dia berjalan ke arah toko emas milik Koh Bien. Dia tahu toko itu tutup sejak berhari-hari yang lalu, tetapi tahu di mana pemiliknya.
Kaki pincangnya berbelok melewati jalan kecil di sebelah toko, berhenti di depan pintu besi lalu mulai mengetuknya beberapa kali. Ketukan dengan nada yang hanya diketahui olehnya dan Koh Bien.
ooOOoo
Setiap kali mempunyai kesempatan, Mayor Maksum akan datang menemui Mbah Salam. Dia ingin menebus kesalahannya dengan cara apa saja, meski yang dia lakukan tak bisa dibilang kesalahan. Mayor Maksum hanyalah seorang tentara yang menuruti perintah atasannya. Sugik mengerti, tetapi Karno tak bisa menerimanya. Rasa sakit Karno terlalu besar.
“Mas, antar aku ke rumah Mbah Salam,” katanya membuka omongan, “tak enak aku kalau datang sendirian.”
“Mbah Salam sedang sakit, Dek,” sahut Sugik, “aku khawatir terjadi apa-apa dengannya.”
Mayor Maksum menunduk. Rasa bersalahnya belum selesai, sekarang semakin menjadi-jadi.
“Aku ingin menemuinya sekarang,” sahut Mayor Maksum.
“Aku akan mengantarmu, tapi sebaiknya bukan di jam sekarang. Pak Dhe Salam biasanya sedang tidur,” imbuh Maksum, dia khawatir Mayor Maksum hanya akan bertemu dengan Karno dan rasa canggung di antara keduanya akan membuat persaudaraan semakin renggang.
“Baiklah, Mas. Aku nurut.”
“Keadaan kita sedang tak baik-baik saja, Dek. Harap kau mengerti.”
Mayor Maksum diam, dia tak ingin menyela.
“Aku ingin pindah ke desa ini, adakah rumah atau tanah yang dijual?” tanya Mayor Maksum tiba-tiba.
“Kenapa kau ingin pindah ke desa ini?”
“Sudah waktunya keluarga besar kita bersatu. Aku satu-satunya keturunan Buyut Ratri yang masih ada.”
“Tanah di sebelahku ini milik Kyai Shodiq. Aku akan menanyakannya. Mungkin dia mau menjualnya untukmu. Biar aku yang atur,” sambung Sugik.
“Aturlah, Mas. Aku minta tolong padamu.”
“Pesantren sedang membutuhkan tanah untuk bangunan baru, jika tanah di sebelah rumah ini terjual, bisa untuk biaya tambahan. InshaAlloh Kyai Shodiq tak keberatan,” sambung Sugik, “Aku akan mengabarimu nanti.”
Mayor Maksum pulang sebelum siang. Dia tak punya banyak waktu, tetapi selalu menyempatkan diri untuk datang walau hanya sekedar menanyakan kabar.
ooOOoo
Tini mengenal Darman saat bekerja sebagai babu di rumah Koh Bien. Saat itu usianya belum genap enam belas ketika Darman membantunya mengangkat beras ke atas gledekan.
Tak ada yang istimewa dari pertemuan pertama. Pada pertemuan kedua Tini mulai memperhatikan lelaki itu dan pada pertemuan ketiga, Darman memberikan kejutan yang tak bisa dilupakannya. Lelaki itu menghadiahinya cincin emas, sesuatu yang tak pernah dimilikinya. Hari-hari selanjutnya dunia menyaksikan cinta keduanya mekar di bilik-bilik dan beceknya tanah pasar.
Mudah saja bagi Darman mendekati Tini. Koh Bien ingin mengikat Darman, pemasok emas curian yang tak butuh banyak untung. Koh Bien-lah yang menjadi mak comblang bagi keduanya, membebaskan Tini untuk pergi dan tak pernah menegurnya bahkan ketika Tini pulang pagi.
Tak perlu waktu waktu lama, tiba-tiba Tini datang dan meminta ijin untuk berhenti bekerja.
“Saya hamil, Koh,” kata Tini sambil menunduk malu. Tini berhenti, tetapi Darman tak pernah pergi, dia semakin setia menyetorkan banyak barang curian kepadanya.
Koh Bien masih mengingat semua cerita tentang mereka. Lalu Darman tiba-tiba hilang dan tak pernah muncul apalagi menyetorkan barang curian.
Sekarang, saat huru-hara menghantuinya, Koh Bien mendengar ketukan yang masih diingatnya. Darman!
Koh Bien bergegas mendekat ke arah pintu, menunggu ketukan lagi ingin memastikan itu Darman. Ketukan terdengar lagi, dia yakin Darman yang sedang mengetuk pintu.