Ruangan menjadi sunyi setelah Uti selesai bercerita. Kini aku paham penyebab duka yang disangga Mbah Kung.
Uti menarik napas panjang setelah selesai bercerita. Sangat panjang, seolah semua kenangan pahit itu kembali datang. Air mata mengalir dari pipinya, begitu pula istriku yang sedari tadi diam mendengarkan.
“Uti berusaha melupakan mbah-mu Kasdi, Aku selalu bilang pada orang-orang kalau aku hanya mengingatnya lamat-lamat, agar Uti tak perlu banyak bercerita. Tetapi ingatan tentang mbah-mu Kasdi tak bisa hilang,“ Uti menghapus sisa air matanya dengan ujung taplak meja, “Aku mengingatnya seolah dia masih berada di rumah ini, duduk di teras sambil membaca. Aku bahkan masih ingat aroma dan cara dia menumpuk buku-bukunya.”
“Uti kenal dekat dengan Mbah Kasdi?” tanyaku. Aku masih belum mengerti kenapa Uti begitu dekat dengan Mbah Kasdi.
Uti memandangku, senyumnya seperti menertawakan sesuatu.
“Kau sudah tahu nama Mbah Kung-mu, kan?” tanya Uti sambil tertawa, air matanya tak mengalir lagi, menyisakan sebentuk anak sungai di bedak beras yang menempel pipinya.
“Karno, Uti mengatakannya tadi.”
“Kau tahu siapa namaku? Uti-mu?” tawa Uti semakin lebar.
“Uti belum pernah memberitahuku.”
“Namaku Winarsih, Le,” kali ini Uti tertawa lebih lebar, giginya sampai terlihat.
Aku diam sejenak, mencoba mencerna lalu tertawa. Begitu pula istriku. Aku tak menyangka jika Uti menceritakan sejarah keluarga termasuk dirinya sendiri.
"Jadi Winarsih itu Uti?" tanyaku sambil tertawa.
“Selepas kematian Mbah Salam, hanya keluargaku-lah yang menjadi keluarga bagi Mbah Kung-mu.”
Aku diam mendengarkan.
“Jodoh, Le. Setelah Mbah Kung-mu menjadi guru, kami menikah. Semua berjalan begitu saja, gak ada pacaran seperti kalian,” lanjut Uti sambil tertawa, “Mbah Kung-mu melamarku saat aku memberi makan ayam di kandang belakang.”
Kami tertawa, bersamaan dengan suara azan asar dari mushola milik Kaji Bastori, putra almarhum Kyai Shodiq.
Aku semakin paham, betapa dekat dan bahagianya mereka dari dulu sampai sekarang. Susah senang telah mereka jalani berdua.