Jangan Ganggu Mbah Kung di Bulan Oktober

Ferry Herlambang
Chapter #36

Tembang Penutup Cerita

Oktober hari pertama.

Selepas subuh, Uti datang ke rumah depan lalu membersihkan pekarangan, menyiapkan makanan dan mengambil barang-barang kotor yang menumpuk di keranjang. Uti meneruskan kebiasaannya seperti ketika aku belum menikah.

“Jangan, Uti. Biar aku saja,” kata istriku, saat pertama kali kami menempati rumah depan.

Tapi Uti tetaplah Uti, dia tetap melakukan ritualnya seperti biasa. Istriku mengadu, aku malu, begitu katanya. Aku menanggapinya dengan tertawa.

Istriku tak kurang akal. Ketika Uti datang ke rumah depan untuk membereskan semua pekerjaan, diam-diam dia pergi ke rumah belakang, melakukan hal yang sama seperti yang Uti lakukan.

Uti terkejut, mengerutkan dahi lalu tertawa pada akal istriku.

“Ya sudah kalau begitu,” kata Uti. Begitulah, kebiasaan mereka berlanjut dan menjadi semacam ritual pagi sampai hari ini.

Pagi ini Uti memandikan Sikas. Mereka bercanda lama di kamar mandi sampai Uti berteriak.

“Le, angkat anakmu,” seru Uti. Aku segera ke kamar mandi, mengangangkat Sikas yang telah dihanduki dan membopongnya ke dalam rumah. Sikas akan tertawa ketika aku memutar-mutar tubuh atau menggelitik pinggangnya.

Uti akan melanjutkan pekerjaan selanjutnya; memakaikan baju dan celana pada anakku, lalu berlarian ke sana kemari mengejar Sikas yang menolak untuk dibedaki.

Oktober ini menjadi bulan yang tak biasa ketika kami mendengar suara Mbah Kung dari balik pintu kamar.

“Biarkan saja, Dek. Dia gak suka dibedaki, seperti Mas Kasdi dulu,” suara Mbah Kung. Dia berdiri di tengah pintu sambil membuka tangan ke arah Sikas yang segera berlari menghambur ke arahnya. Mbah Kung menyambutnya dengan menciumi pipi dan menggelitik pinggangnya.

Aku dan Uti diam tak percaya melihat kedatangan Mbah Kung. Di bulan-bulan Oktober sebelumnya, Mbah Kung tak pernah keluar dari rumah utama, hanya keluar ke masjid saat sholat Jum’at saja. Sekarang dia muncul di balik pintu, di awal bulan Oktober.

Kami masih berdiri tak percaya ketika Mbah Kung menggendong Sikas, lalu berbalik pergi, kembali ke rumah utama.

"Mbah Kung, Uti ...,"ucapku tak percaya.

“Mbah Kung-mu butuh teman, Le,” kata Uti. Suaranya-pun terdengar tak pasti, “Sikas menjadi penghibur buatnya.”

Aku berjalan menuju jendela samping, mengintip Sikas yang masih tertawa-tawa di gendongan Mbah Kung. Menatap keduanya setengah tak percaya.


ooOOoo


“Dek Yut!” suara Sikas. Keras. Bersambungan dengan suara tawa Mbah Kung.

Aku hampir tak mempercayai telingaku. Diam-diam aku mengintip mereka dari balik jendela, begitu pula Uti. Mbah Kung tertawa lepas seperti hari-hari biasanya.

Dulu–saat Oktober–Mbah Kung hanya termenung di teras rumah utama. Duduk diam sambil memandangi pekarangan, seolah menunggu kedatangan Mbah Yut Kasdi. Sesekali memanggil Uti saat meminta kopi. Wajah Mbah Kung muram, jarang bicara apalagi tertawa.

“Dek Yut!” Suara Sikas lagi, semakin keras di antara tawanya yang semakin menjadi-jadi.

 “Apa artinya Dek Yut?” tanya Mbah Kung.

Sikas menggelayut di kaki Mbah Kung, naik ke paha lalu duduk di pundak sambil memeluk kepalanya.

“Adik Buyut!” jawab Sikap sambil tertawa. Mbah Kung tertawa, menarik tubuh Sikas ke pelukannya lalu menciumi Sikas tak henti-henti.

“Mbah Yut sekarang jadi adikku,” tawa mereka semakin keras. Oktober ini menjadi bulan yang berbeda.


ooOOoo


Aku senang Mbah Kung berubah, Oktober tak lagi muram baginya. Juga bagi keluarga kami, setidaknya sudah banyak berkurang.

Tengah siang, istriku telah menyiapkan dan menata penganan di atas meja makan. Aku duduk menunggu Uti membereskan peralatan sulamnya.

“Sudah kau siapkan makan siang untuk Mbah Kung, Dek?” tanyaku pada istriku.

“Sudah, Mas,” jawabnya sambil menunjuk tumpukan rantang dan termos berisi kopi panas.

“Aku antar sekarang,” kata istriku sambil menenteng rantang. “Makanlah dulu bareng Uti kalau aku belum kembali.”

Aku mengangguk. Tentu saja Uti tak akan makan sebelum istriku kembali. Benar saja, Uti datang, duduk di sampingku lalu bilang, “Tunggu dulu sampai istrimu pulang.”

Belum lama kami berbincang ketika istriku muncul dengan tergopoh, wajahnya pucat, campuran antara rasa takut dan cemas.

“Ada apa, Dek?” tanyaku.

“Aku tak menemukan Mbah Kung di rumah …,” jawab istriku, “begitu pula Sikas.”

“Kau sudah mencarinya di kebun belakang dan teras samping rumah?” tanyaku.

“Sudah, mas …,” wajah istriku semakin cemas. Aku hendak pergi ketika Uti menahanku.

Lihat selengkapnya