Telah banyak yang berubah di sini. Tidak terasa sudah sebelas tahun sejak Mary pertama kali datang ke tempat itu; diseret oleh ibunya setelah pulang sekolah karena takut dengan rumah sakit.
Dia mengingat dirinya yang masih berusia delapan tahun merengek karena takut disuntik. Ibunya benar-benar kewalahan mengurus Mary, yang sejak kecil sudah mewarisi tenaga kuda dan keperkasaan badak dari ayahnya.
Saat itu, ayah dan kakak laki-laki Mary sedang bertugas keluar kota dan di rumah tidak ada orang yang bisa mengurusnya; jadi, ibu Mary terpaksa membawanya ikut ke tempat kerja. Hanya saja, Mary tidak suka dengan suasana rumah sakit yang sunyi dan suram. Ia lebih suka bermain sepak bola di lapangan kosong depan rumah ketua RT bersama dengan teman-teman sekolah laki-lakinya.
Mary memang dikenal sebagai gadis tomboy. Dia hobi bertengkar, berolahraga, berteman dengan anak laki-laki daripada perempuan, dan menonton pertandingan tinju seperti ayahnya.
Tidak tingkahnya, tidak penampilannya, Mary bisa membuat anak laki-laki sebayanya mengencingi celana. Jika bukan karena sang Ibunda yang merapikan rambut hitam legam itu, banyak orang yang akan salah paham dengan gayanya yang seperti Jack Frost (dari film Rise of Guardians)
Ibunya hanya bisa menggelengkan kepala melihat Mary yang terlihat lebih jantan daripada kakak laki-lakinya.
Tidak kusangka pada akhirnya, aku akan menjadi seorang dokter seperti kakak, ayah dan ibu! Dua tahun melakukan praktikum di sini, dan aku sudah akan dipanggil Dokter Mary! Batin gadis separuh dewasa itu.
Mary memasukkan kedua tangan ke dalam saku jubah putih. Senyum bangga tersimpul di bibirnya. Kenangan-kenangan masa kecil, sedikit demi sedikit, mulai mengalir kembali ke dalam ingatan. Mary pun teringat kalau cita-citanya dulu sebenarnya bukan menjadi seorang dokter, tapi seorang petinju profesional. Rumah sakit inilah yang mengubah impiannya itu.
Sinar mentari sore yang kemerah-merahan memantul dari iris cokelat. Kelopak mata Mary menyipit saat mencoba memandang ke atas, ke arah tulisan yang terpampang di atas pintu masuk. Perpetua-Felicity terukir dari marmer putih tua dengan gaya tulis Ashalina. Sebelas tahun sudah berlalu, dan ukiran itu menjadi salah satu memoir masa kecil Mary yang tidak berubah.
"Permisi..., " kata Mary pada seorang perawat yang sedang lewat di lobi rumahbsakit, "apakah anda tahu di mana ruang kepala rumah sakit?"
"Kepala rumah sakit?" balas si Perawat Tua, "tentu! Naik lift menuju lantai dua, belok kiri, setelah menemukan meja informasi, terus lurus; ruang kepala rumah sakit ada di ujung lorong."
"Meja informasi, terus lurus... Baik, terima kasih atas arahannya."
"Ngomong-ngomong, ada urusan apa dengan Ibu Susan?"
"Ah, bukan apa-apa, bu..., " jawab Mary sembari terkikih "saya hanya seorang kenalan lama. "
"Begitu, ya" Wanita itu mengangguk, "Baiklah, selamat bernostalgia!"
****
Terus lurus setelah meja informasi.
Sesuai dengan arahan sang perawat, Mary berbelok ke kiri setelah menuruni lift, kemudian menyusuri koridor berdinding putih. Dulu ketika ia masih kecil dinding koridor itu masih berwarna krem. Ia sering bermain di koridor ini. Berlari mendorong kursi roda bersama dengan salah seorang pasien yang seumuran dengannya. Ah, andai ia bisa mengulang kenangan itu sekali saja.
Di tengah lamunan, Mary dikagetkan oleh seorang gadis kecil yang berlari dan tidak sengaja menyenggol kakinya. Menyaksikan anak itu bermain-main di koridor, membuat Mary semakin larut dalam kenangan masa kecil.
Anak kecil yang manis ... Persis seperti aku saat masih kecil.